Anak gemuk memang menggemaskan, tapi kondisi ini bukan berarti tidak bisa menimbulkan risiko kesehatan, seperti obesitas. Bila si Kecil sudah mengalami obesitas, ia berisiko mengalami berbagai penyakit kronis. Apa saja hal mengenai obesitas pada anak yang perlu Anda perhatikan?
Kriteria yang menentukan penyakit obesitas pada anak
Fakta Obesitas Anak
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan RI, 41 juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami kelebihan berat badan dan obesitas.
Obesitas adalah penumpukan lemak esktra di tubuh yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, diabetes, dan stroke di masa depan.
Seorang anak dikatakan memiliki kondisi ini jika memenuhi beberapa kriteria berikut.
Berat badannya dalam kategori obesitas
Tidak semua anak yang kelebihan berat badan disebut obesitas. Lemak yang mengumpul di tubuh anak tetap memengaruhi baik dan buruknya proses tumbuh kembang si kecil.
Bagi anak yang berusia kurang dari 5 tahun, berat badan ideal diukur lewat kurva yang dirancang oleh Kementerian Kesehatan Indonesia seperti tabel di bawah ini.
Berat badan si kecil yang lebih dari rentang tersebut menandakan anak kelebihan berat badan atau obesitas.
Kemudian, melansir dari situs resmi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), anak bisa disebut obesitas ketika berat badannya lebih dari +3 SD grafik pertumbuhan.
Sementara itu, anak dikatakan kelebihan berat badan atau overweight adalah ketika berat badan anak lebih dari +2 SD grafik pertumbuhan yang dibuat oleh WHO.
Untuk anak di atas 5 tahun, tanda ia mengalami obesitas bisa dilihat pada tabel di bawah ini, berdasarkan tolok ukur Center for Disease Control and Prevention (CDC).
Hasil BMI diperoleh dengan membandingkan berat dengan tinggi badan anak. Rumusnya, membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam meter kuadrat.
Untuk lebih memudahkan mencari tahu angka BMI anak, Hello Sehat menyediakan Kalkulator BMI yang hanya berlaku untuk anak-anak berusia di atas 5 tahun.
Namun hasil perhitungan IMT anak berbeda dengan orang dewasa karena persentase lemak tubuh anak-anak berubah seiring waktu dengan pertumbuhannya.
Oleh sebab itu, BMI mereka akan bervariasi berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Pada anak, angka-angka dalam perhitungan IMT disebut dengan persentil. Hasil perhitungan akan dibandingkan dengan klasifikasi pertumbuhan sebagai berikut.
Kurang: di bawah persentil ke-5
Normal: persentil ke-5 sampai ke-85
Kegemukan: persentil ke-85 hingga ke-95
Obesitas: 95 persen atau lebih tinggi
[embed-health-tool-bmi]
Penyebab dan faktor risiko obesitas pada anak
Gaya hidup seperti asupan kalori anak yang melebihi Angka Kecukupan Gizi dan malas bergerak adalah penyebab utama obesitas pada si kecil.
Akan tetapi, beberapa faktor berikut ini turut meningkatkan risiko kenaikan berat badan.
Kondisi ini menyebabkan tubuh anak tidak dapat mencerna glukosa secara optimal dan meningkatkan kadar glukosa di dalam darah.
Jika kondisi ini terus berlangsung maka pada saat usia remaja, anak tersebut dapat menderita diabetes mellitus di usia dewasa nantinya.
Sindrom metabolik
Sindrom metabolik merupakan kumpulan gejala perkembangan penyakit degeneratif.
Sebagai contoh, tingginya tekanan darah, tingginya kadar kolesterol “jahat” atau LDL (low density lipoprotein) dan rendahnya kolesterol “baik” atau HDL (high density lipoprotein), serta penumpukan lemak di sekitar perut anak.
Gejala asma
Obesitas dapat menyebabkan inflamasi pada sistem kardiovaskular di mana jaringan lemak di sekitar pembuluh darah paru-paru.
Ini membuat paru-paru lebih sensitif terhadap rangsangan udara dari luar dan menyebabkan gejala asma.
Gangguan tidur
Salah satu gangguan tidur yang rentan terjadi pada anak dengan obesitas adalah sleep apnea.
Kondisi ini ditandai dengan berhentinya pernapasan dala beberapa detik saat tidur, karena penimbunan lemak pada tubuh si kecil.
Meskipun tidak menimbulkan gejala yang serius di waktu muda, tapi dapat menimbulkan kerusakan hati.
Pubertas dini
Obesitas bisa menjadi penyebab pubertas dini pada anak. Ini merupakan gejala yang lebih banyak dialami oleh perempuan karena ditandai dengan menstruasi dini.
Pubertas dini merupakan tanda ketidakseimbangan hormonal yang nantinya dapat menimbulkan masalah kesehatan perempuan setelah dewasa.
2. Gangguan pertumbuhan muskuloskeletal
Berat badan yang berlebihan akan mengganggu pertumbuhan tulang, sendi, dan otot pada anak.
Berikut beberapa gangguan kesehatan tulang yang berisiko dialami oleh anak dengan penumpukan lemak di tubuhnya.
Slipped capital femoral epiphysis (SCFE)
SCFE merupakan kondisi tulang paha (femur) yang mundur ke belakang akibat area pertumbuhan tulang tidak dapat menahan berat badan.
Pada kasus yang serius kaki yang mengalami gangguan ini tidak dapat menahan berat badan sedikit pun. Ini membuat tulang pinggul anak bergeser dan tidak dalam posisi benar.
Penyakit Blount
Obesitas memiliki bahaya komplikasi pada kaki yang bengkok akibat perubahan hormon dan tekanan yang terlalu berat pada kaki anak sedang mengalami pertumbuhan, sehingga mengalami kecacatan.
Pada kasus yang belum terlalu parah, anak yang mengalami penyakit blount bisa diperbaiki dengan memakai penyangga kaki atau orthotic.
Patah tulang
Obesitas pada anak membuat si kecil berisiko tinggi mengalami patah tulang. Bobot tubuh yang terlalu berat bisa membuat tulang stres dan melemahkan kekuatan tulang itu sendiri.
Selain itu, anak yang mengalami obesitas berisiko mengalami patah tulang akibat berat badan berlebih karena tulang yang tidak terlalu kuat akibat jarang beraktivitas fisik.
Flat feet
Anak yang mengalami obesitas atau kelebihan pada berat badannya, sering mengalami sakit saat berjalan.
Tidak hanya itu, flat feet atau telapak kaki rata juga termasuk kondisi yang menyebabkan kaki anak sakit dan membuatnya mudah lelah ketika berjalan.
Gangguan koordinasi
Anak yang mengalami obesitas cenderung sulit untuk menggerakan anggota tubuh dan memiliki kemampuan keseimbangan tubuh yang buruk.
Masalah koordinasi motorik kasar pun bisa terjadi, seperti sulit untuk berdiri dengan satu kaki, melompat.
Selain itu, obesitas pada anak bisa sebabkan masalah koordinasi motorik halus, seperti menulis, menggunting, mengikat tali sepatu, atau mengetuk dengan satu jari.
3. Masalah dalam interaksi sosial
Anak yang mengalami obesitas cenderung mendapat stigma dan kurang diterima di lingkungan sosial seusianya.
Mereka juga cenderung mengalami pandangan negatif, diskriminasi, hingga perilaku bully oleh teman-temannya karena kondisi badan mereka.
Dampak bullying berpotensi mendorong mereka untuk menarik diri dari lingkungan sehingga enggan berinteraksi dengan orang lain.
Selain itu, depresi pada anak bisa terjadi karena akumulasi dari masalah psikologis di atas sekaligus masalah interaksi sosial.
Cara mengatasi obesitas pada anak
Obesitas terjadi ketika energi yang dikonsumsi jauh lebih banyak dibanding energi atau kalori yang dikeluarkan oleh tubuh.
Berikut beberapa cara untuk mencegah dan mengatasi obesitas pada anak.
1. Mengembalikan kebiasaan makan sesuai usia
Jika saat ini Anda memiliki balita atau anak usia sekolah yang mengalami obesitas, penting untuk segera mengatasi kondisi obesitas ini.
Terlebih balita dan anak usia sekolah masih dalam masa pertumbuhan sehingga status gizinya perlu diperhatikan.
Ini karena status gizi anak di masa depan atau saat ia dewasa akan sangat ditentukan oleh kondisinya saat ini.
Jadi, yang bisa Anda lakukan saat ini untuk mengatasi obesitas pada anak yakni dengan cara mengembalikan kebiasaan makannya setiap hari sesuai dengan usianya saat ini.
Berikan frekuensi serta porsi makan anak yang tepat sesuai dengan usianya. Jika nantinya asupan kalori harian anak perlu dikurangi, biasanya dokter atau ahli gizi akan membantu merencanakannya dengan baik.
Hal ini bertujuan agar si Kecil tidak mengalami kekurangan zat gizi yang dapat menghambat tumbuh kembangnya.
Namun, pastikan perubahan pola makan tersebut tidak membuat anak susah makan.
2. Memberikan makanan dengan diet seimbang
Tetap berikan anak berbagai makanan dengan zat gizi seimbang. Berikut adalah deretan jenis makanan yang direkomendasikan.
Sayuran dan buah-buahan.
Sumber karbohidrat, seperti nasi merah, gandum atau makanan dari gandum utuh (roti gandum dan sereal)
Susu dan produk susu.
Daging, ikan, kacang-kacangan, dan sumber protein tinggi lainnya.
Anak-anak membutuhkan setidaknya 5 porsi sayuran dan buah-buahan setiap hari. Hal ini untuk mencukupi kebutuhan vitamin dan mineral anak.
Hal tersebut juga untuk mencukupi kebutuhan serat anak agar terhindar darikonstipasi.
Makanan sumber protein diperlukan anak untuk membangun sel-sel dalam tubuh, sedangkan karbohidrat diperlukan sebagai sumber energi.
3. Konsumsi susu rendah gula
Untuk mengatasi sekaligus mencegah obesitas pada anak adalah membatasi pemberian gula pada makanan dan minuman si kecil.
Sebagai contoh, memberikan susu rendah gula yang memiliki kandungan gizi yang lengkap. Susu rendah gula kaya akan kandungan asam lemak omega 3 dan 6 yang mendukung perkembangan otak dan kecerdasan anak.
Memilih susu rendah gula dan kaya nutrisi, mampu memenuhi kebutuhan gizi anak, termasuk untuk tumbuh kembang otak.
Risiko obesitas karena asupan gula berlebih juga bisa dihindari dengan memberikan si kecil susu rendah gula.
4. Olahraga bersama
Konsumsi kalori yang terlalu banyak dan tubuh yang tidak bergerak, bisa memicu obesitas pada si kecil.
Anda bisa mengatasinya dengan melakukan olahraga atau aktivitas fisik bersama anak.
Aktivitas fisik bisa membuat anak bergerak lebih aktif dan membakar kalori yang sudah dikonsumsi dalam sehari.
Kegiatan fisik yang bisa dilakukan bersama anak seperti joging santai, berenang, bersepeda, atau berjalan santai saat pagi atau sore hari.
5. Mengurangi asupan gula dalam sehari
Konsumsi gula yang terlalu banyak bisa memicu obesitas pada anak. Kurangi asupan gula dengan mengganti camilan yang biasanya terlalu banyak gula, seperti cokelat atau es krim, lalu diganti dengan buah.
Anda juga bisa mengurangi porsi nasi putih di waktu anak makan. Nasi putih mengandung kalori tinggi, 100 gram atau satu centong nasi mengandung 100 kalori.
Ketika masuk ke dalam tubuh, kalori diubah menjadi gula. Bila tidak dikurangi, obesitas anak bisa semakin parah.
6. Kurangi waktu menonton TV
Menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar dapat membuat anak menjadi malas untuk bergerak. Hal ini dapat membuat anak lebih mungkin untuk mengalami kenaikan berat badan.
Oleh karena itu, Anda perlu membatasi waktuanak menonton tv, bermain video game, dan kegiatan lainnya. Sebaiknya waktu anak menonton tv tidak lebih dari dua jam dan tidak menaruh tv di kamar tidur anak.
Obesitas pada anak adalah hal penting yang perlu dipahami orangtua, sehingga tidak lagi menganggap bahwa anak gemuk itu sehat.
Selalu cek kesehatan si kecil termasuk mengawasi berat badannya agar tetap sesuai dengan kriteria sehat anak seusianya.
Catatan
Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.
Centers for Disease Control and Prevention. (2021, March 17). About child & teen BMI. Centers for Disease Control and Prevention. Retrieved June 2, 2022, from https://www.cdc.gov/healthyweight/assessing/bmi/childrens_bmi/about_childrens_bmi.html
How Childhood Obesity Impacts Bone and Muscle Health – OrthoInfo – AAOS. (2020). Retrieved June 2, 2022, from https://orthoinfo.aaos.org/en/staying-healthy/the-impact-of-childhood-obesity-on-bone-joint-and-muscle-health
Childhood obesity – Symptoms and causes. (2020). Retrieved June 2, 2022, from https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/childhood-obesity/symptoms-causes/syc-20354827
Child obesity | Obesity at an Early Age and Its Impact on Child Development | Encyclopedia on Early Childhood Development. (2020). Retrieved June 2, 2022, from http://www.child-encyclopedia.com/child-obesity/according-experts/obesity-early-age-and-its-impact-child-development
Television Watching and “Sit Time”. (2012). Retrieved June 2, 2022, from https://www.hsph.harvard.edu/obesity-prevention-source/obesity-causes/television-and-sedentary-behavior-and-obesity/
Childhood overweight and obesity. (2020). Retrieved June 2, 2022, from https://www.who.int/dietphysicalactivity/childhood/en/
Kurva Pertumbuhan WHO. (2020). Retrieved June 2, 2022, from https://www.idai.or.id/professional-resources/growth-chart/kurva-pertumbuhan-who
Causes and Consequences of Childhood Obesity. (2020). Retrieved June 2, 2022, from https://www.cdc.gov/obesity/childhood/causes.html
Obesity . (2020). Retrieved June 2, 2022, from https://www.cdc.gov/healthyschools/obesity/index.htm?CDC_AA_refVal=https%3A%2F%2Fwww.cdc.gov%2Fhealthyschools%2Fobesity%2Ffacts.htm
What can I do if my child is overweight?. (2018). Retrieved June 2, 2022, from https://www.nhs.uk/live-well/healthy-weight/overweight-children-advice-for-parents/
Lang, J., 2012. Obesity, Nutrition, and Asthma in Children. Pediatric Allergy, Immunology, and Pulmonology, 25, pp.64-75.
Sekilas tentang Obesitas pada Buah Hati. (2016). Retrieved June 2, 2022, from http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/sekilas-tentang-obesitas-pada-buah-hati
Dietisien Indonesia (AsDI), A., Dokter Anak Indonesia (IDAI), I., & Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), P. (2015). Penuntun Diet Anak (3rd ed.). Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2020. (2020). Retrieved June 2, 2022, from https://paralegal.id/peraturan/peraturan-menteri-kesehatan-nomor-2-tahun-2020/
How Can I Tell If My Baby’s Weight Is Cause for Concern?. (2018). Retrieved June 2, 2022, from https://www.mayoclinic.org/healthy-lifestyle/infant-and-toddler-health/expert-answers/baby-fat/faq-20058296
Obesitas Pada Anak. (2014). Retrieved June 2, 2022, from http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/obesitas-pada-anak
Versi Terbaru
30/03/2023
Ditulis oleh Aprinda Puji
Ditinjau secara medis olehdr. Patricia Lukas Goentoro