backup og meta
Kategori
Cek Kondisi

1

Tanya Dokter
Simpan
Konten

Seputar Obesitas Anak yang Perlu Orangtua Ketahui

Ditinjau secara medis oleh dr. Patricia Lukas Goentoro · General Practitioner · Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI)


Ditulis oleh Aprinda Puji · Tanggal diperbarui 30/03/2023

Seputar Obesitas Anak yang Perlu Orangtua Ketahui

Anak gemuk memang menggemaskan, tapi kondisi ini bukan berarti tidak bisa menimbulkan risiko kesehatan, seperti obesitas. Bila si Kecil sudah mengalami obesitas, ia berisiko mengalami berbagai penyakit kronis. Apa saja hal mengenai obesitas pada anak yang perlu Anda perhatikan? 

Kriteria yang menentukan penyakit obesitas pada anak

Fakta Obesitas Anak

Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan RI, 41 juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami kelebihan berat badan dan obesitas.

Obesitas adalah penumpukan lemak esktra di tubuh yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, diabetes, dan stroke di masa depan.

Seorang anak dikatakan memiliki kondisi ini jika memenuhi beberapa kriteria berikut.

Berat badannya dalam kategori obesitas

Tidak semua anak yang kelebihan berat badan disebut obesitas. Lemak yang mengumpul di tubuh anak tetap memengaruhi baik dan buruknya proses tumbuh kembang si kecil. 

Bagi anak yang berusia kurang dari 5 tahun, berat badan ideal diukur lewat kurva yang dirancang oleh Kementerian Kesehatan Indonesia seperti tabel di bawah ini.

Berat badan si kecil yang lebih dari rentang tersebut menandakan anak kelebihan berat badan atau obesitas.

Sumber: Kemenkes RI

Kemudian, melansir dari situs resmi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), anak bisa disebut obesitas ketika berat badannya lebih dari +3 SD grafik pertumbuhan.

Sementara itu, anak dikatakan kelebihan berat badan atau overweight adalah ketika berat badan anak lebih dari +2 SD grafik pertumbuhan yang dibuat oleh WHO.

SD adalah satuan internasional untuk standar deviasi dalam pengukuran status gizi anak.

Untuk anak di atas 5 tahun, tanda ia mengalami obesitas bisa dilihat pada tabel di bawah ini, berdasarkan tolok ukur Center for Disease Control and Prevention (CDC).

Hasil IMT masuk dalam kategori obesitas

Selanjutnya, menentukan siapa saja yang masuk dalam golongan berat badan sehat dan tidak sehat, diperlukan perhitungan BMI (indeks massa tubuh/IMT).

Hasil BMI diperoleh dengan membandingkan berat dengan tinggi badan anak. Rumusnya, membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam meter kuadrat.

Untuk lebih memudahkan mencari tahu angka BMI anak, Hello Sehat menyediakan Kalkulator BMI yang hanya berlaku untuk anak-anak berusia di atas 5 tahun.

Namun hasil perhitungan IMT anak berbeda dengan orang dewasa karena persentase lemak tubuh anak-anak berubah seiring waktu dengan pertumbuhannya.

Oleh sebab itu, BMI mereka akan bervariasi berdasarkan usia dan jenis kelamin.

Pada anak, angka-angka dalam perhitungan IMT disebut dengan persentil.  Hasil perhitungan akan dibandingkan dengan klasifikasi pertumbuhan sebagai berikut.

  • Kurang: di bawah persentil ke-5
  • Normal: persentil ke-5 sampai ke-85
  • Kegemukan: persentil ke-85 hingga ke-95
  • Obesitas: 95 persen atau lebih tinggi

Penyebab dan faktor risiko obesitas pada anak

Gaya hidup seperti asupan kalori anak yang melebihi Angka Kecukupan Gizi dan malas bergerak adalah penyebab utama obesitas pada si kecil.

Akan tetapi, beberapa faktor berikut ini turut meningkatkan risiko kenaikan berat badan.

1. Pola makan yang buruk

Konsumsi makanan tinggi kalori, seperti makanan cepat saji, minuman manis, atau makanan kemasan dapat menyebabkan kenaikan berat badan pada anak.

Pasalnya, jenis makanan dan minuman ini cenderung tinggi gula.

2. Kurang gerak

Anak yang jarang bergerak lebih mungkin mengalami kenaikan berat badan karena mereka tidak membakar banyak kalori.

Si kecil mungkin lebih memilih menghabiskan waktunya untuk nonton televisi atau bermain game.

3. Genetika

Anak yang memiliki anggota keluarga dengan kondisi obesitas, lebih mungkin mengembangkannya di kemudian hari.

Risiko obesitas akan semakin bertambah besar jika memang gaya hidup anak juga tidak sehat. Jadi, anak lebih mungkin mengalami kenaikan berat badan.

4. Faktor psikologi

Stres pribadi, orang tua, dan keluarga dapat meningkatkan risiko obesitas pada anak.

Beberapa anak makan berlebihan untuk mengatasi masalah atau untuk mengatasi emosi, seperti stres atau untuk melawan kebosanan.

5. Faktor sosial ekonomi

Anak-anak dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah lebih mungkin mengonsumsi makanan tidak sehat, contohnya makanan siap saji.

Orangtua mereka cenderung sibuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi, sehingga tidak punya cukup waktu untuk menyiapkan makanan bergizi seimbang.

Kesibukan orangtua juga bisa membuat asupan kalori anak tidak diawasi dengan baik.

6. Penggunaan obat tertentu

Beberapa obat resep dapat meningkatkan risiko mengembangkan obesitas.

Obat-obatan tersebut termasuk prednison, lithium, amitriptyline, paroxetine (Paxil), gabapentin (Neurontin, Gralise, Horizant) dan propranolol (Inderal, Hemangeol).

Hal ini bisa saja terjadi pada anak jika ia memang memiliki masalah kesehatan tertentu yang mengharuskan konsumsi obat-obatan.

Bahaya obesitas pada anak

obesitas pada anak

Pola asupan yang memenuhi kebutuhan zat gizi harian, tapi tidak diimbangi dengan kegiatan fisik, bisa menyebabkan obesitas.

Jika dibiarkan, obesitas pada anak bisa memengaruhi pertumbuhan anak-anak dan remaja, bahkan menyebabkan komplikasi serius. 

1. Komplikasi kesehatan

Pada umumnya komplikasi akibat obesitas pada anak erat kaitannya dengan perkembangan penyakit degeneratif sebagai berikut.

Gejala pradiabetes

Kondisi ini menyebabkan tubuh anak tidak dapat mencerna glukosa secara optimal dan meningkatkan kadar glukosa di dalam darah.

Jika kondisi ini terus berlangsung maka pada saat usia remaja, anak tersebut dapat menderita diabetes mellitus di usia dewasa nantinya.

Sindrom metabolik

Sindrom metabolik merupakan kumpulan gejala perkembangan penyakit degeneratif.

Sebagai contoh, tingginya tekanan darah, tingginya kadar kolesterol “jahat” atau LDL (low density lipoprotein) dan rendahnya kolesterol “baik” atau HDL (high density lipoprotein), serta penumpukan lemak di sekitar perut anak.

Gejala asma

Obesitas dapat menyebabkan inflamasi pada sistem kardiovaskular di mana jaringan lemak di sekitar pembuluh darah paru-paru.

Ini membuat paru-paru lebih sensitif terhadap rangsangan udara dari luar dan menyebabkan gejala asma.

Gangguan tidur

Salah satu gangguan tidur yang rentan terjadi pada anak dengan obesitas adalah sleep apnea.

Kondisi ini ditandai dengan berhentinya pernapasan dala beberapa detik saat tidur, karena penimbunan lemak pada tubuh si kecil.

Hepatic steatosis

Kondisi yang dikenal juga sebagai fatty liver disease merupakan penyebab penumpukan lemak di bagian tubuh bawah dan di dalam pembuluh darah.

Meskipun tidak menimbulkan gejala yang serius di waktu muda, tapi dapat menimbulkan kerusakan hati. 

Pubertas dini

Obesitas bisa menjadi penyebab pubertas dini pada anak. Ini merupakan gejala yang lebih banyak dialami oleh perempuan karena ditandai dengan menstruasi dini.

Pubertas dini merupakan tanda ketidakseimbangan hormonal yang nantinya dapat menimbulkan masalah kesehatan perempuan setelah dewasa.

2. Gangguan pertumbuhan muskuloskeletal

Berat badan yang berlebihan akan mengganggu pertumbuhan tulang, sendi, dan otot pada anak. 

Berikut beberapa gangguan kesehatan tulang yang berisiko dialami oleh anak dengan penumpukan lemak di tubuhnya.

Slipped capital femoral epiphysis (SCFE)

SCFE merupakan kondisi tulang paha (femur) yang mundur ke belakang akibat area pertumbuhan tulang tidak dapat menahan berat badan.

Pada kasus yang serius kaki yang mengalami gangguan ini tidak dapat menahan berat badan sedikit pun. Ini membuat tulang pinggul anak bergeser dan tidak dalam posisi benar.

Penyakit Blount

Obesitas memiliki bahaya komplikasi pada kaki yang bengkok akibat perubahan hormon dan tekanan yang terlalu berat pada kaki anak sedang mengalami pertumbuhan, sehingga mengalami kecacatan.

Pada kasus yang belum terlalu parah, anak yang mengalami penyakit blount bisa diperbaiki dengan memakai penyangga kaki atau orthotic.

Patah tulang

Obesitas pada anak membuat si kecil berisiko tinggi mengalami patah tulang. Bobot tubuh yang terlalu berat bisa membuat tulang stres dan melemahkan kekuatan tulang itu sendiri.

Selain itu, anak yang mengalami obesitas berisiko mengalami patah tulang akibat berat badan berlebih karena tulang yang tidak terlalu kuat akibat jarang beraktivitas fisik.

Flat feet

Anak yang mengalami obesitas atau kelebihan pada berat badannya, sering mengalami sakit saat berjalan.

Tidak hanya itu, flat feet atau telapak kaki rata juga termasuk kondisi yang menyebabkan kaki anak sakit dan membuatnya mudah lelah ketika berjalan.

Gangguan koordinasi

Anak yang mengalami obesitas cenderung sulit untuk menggerakan anggota tubuh dan memiliki kemampuan keseimbangan tubuh yang buruk.

Masalah koordinasi motorik kasar pun bisa terjadi, seperti sulit untuk berdiri dengan satu kaki, melompat.

Selain itu, obesitas pada anak bisa sebabkan masalah koordinasi motorik halus, seperti menulis, menggunting, mengikat tali sepatu, atau mengetuk dengan satu jari.

3. Masalah dalam interaksi sosial

Anak yang mengalami obesitas cenderung mendapat stigma dan kurang diterima di lingkungan sosial seusianya.

Mereka juga cenderung mengalami pandangan negatif, diskriminasi, hingga perilaku bully oleh teman-temannya karena kondisi badan mereka.

Dampak bullying  berpotensi mendorong mereka untuk menarik diri dari lingkungan sehingga enggan berinteraksi dengan orang lain. 

4. Gangguan psikologis pada anak obesitas

Dampak obesitas pada kesehatan mental anak sebagai berikut.

  • Minder (kurang percaya diri).
  • Masalah perilaku dan gangguan belajar.
  • Kehilangan semangat dalam beraktivitas.

Selain itu, depresi pada anak bisa terjadi karena akumulasi dari masalah psikologis di atas sekaligus masalah interaksi sosial.

Cara mengatasi obesitas pada anak

anak obesitas minum susu

Obesitas terjadi ketika energi yang dikonsumsi jauh lebih banyak dibanding energi atau kalori yang dikeluarkan oleh tubuh.

Berikut beberapa cara untuk mencegah dan mengatasi obesitas pada anak.

1. Mengembalikan kebiasaan makan sesuai usia

Jika saat ini Anda memiliki balita atau anak usia sekolah yang mengalami obesitas, penting untuk segera mengatasi kondisi obesitas ini.

Terlebih balita dan anak usia sekolah masih dalam masa pertumbuhan sehingga status gizinya perlu diperhatikan.

Ini karena status gizi anak di masa depan atau saat ia dewasa akan sangat ditentukan oleh kondisinya saat ini.

Jadi, yang bisa Anda lakukan saat ini untuk mengatasi obesitas pada anak yakni dengan cara mengembalikan kebiasaan makannya setiap hari sesuai dengan usianya saat ini.

Berikan frekuensi serta porsi makan anak yang tepat sesuai dengan usianya. Jika nantinya asupan kalori harian anak perlu dikurangi, biasanya dokter atau ahli gizi akan membantu merencanakannya dengan baik.

Hal ini bertujuan agar si Kecil tidak mengalami kekurangan zat gizi yang dapat menghambat tumbuh kembangnya.

Namun, pastikan perubahan pola makan tersebut tidak membuat anak susah makan.

2. Memberikan makanan dengan diet seimbang

Tetap berikan anak berbagai makanan dengan zat gizi seimbang. Berikut adalah deretan jenis makanan yang direkomendasikan.

  • Sayuran dan buah-buahan.
  • Sumber karbohidrat, seperti nasi merah, gandum atau makanan dari gandum utuh (roti gandum dan sereal)
  • Susu dan produk susu.
  • Daging, ikan, kacang-kacangan, dan sumber protein tinggi lainnya.

Anak-anak membutuhkan setidaknya 5 porsi sayuran dan buah-buahan setiap hari. Hal ini untuk mencukupi kebutuhan vitamin dan mineral anak. 

Hal tersebut juga untuk mencukupi kebutuhan serat anak agar terhindar dari konstipasi.

Makanan sumber protein diperlukan anak untuk membangun sel-sel dalam tubuh, sedangkan karbohidrat diperlukan sebagai sumber energi.

3. Konsumsi susu rendah gula

Untuk mengatasi sekaligus mencegah obesitas pada anak adalah membatasi pemberian gula pada makanan dan minuman si kecil.

Sebagai contoh, memberikan susu rendah gula yang memiliki kandungan gizi yang lengkap. Susu rendah gula kaya akan kandungan asam lemak omega 3 dan 6 yang mendukung perkembangan otak dan kecerdasan anak.

Memilih susu rendah gula dan kaya nutrisi, mampu memenuhi kebutuhan gizi anak, termasuk untuk tumbuh kembang otak.

Risiko obesitas karena asupan gula berlebih juga bisa dihindari dengan memberikan si kecil susu rendah gula.

4. Olahraga bersama

Konsumsi kalori yang terlalu banyak dan tubuh yang tidak bergerak, bisa memicu obesitas pada si kecil.

Anda bisa mengatasinya dengan melakukan olahraga atau aktivitas fisik bersama anak.

Aktivitas fisik bisa membuat anak bergerak lebih aktif dan membakar kalori yang sudah dikonsumsi dalam sehari.

Kegiatan fisik yang bisa dilakukan bersama anak seperti joging santai, berenang, bersepeda, atau berjalan santai saat pagi atau sore hari.

5. Mengurangi asupan gula dalam sehari

Konsumsi gula yang terlalu banyak bisa memicu obesitas pada anak. Kurangi asupan gula dengan mengganti camilan yang biasanya terlalu banyak gula, seperti cokelat atau es krim, lalu diganti dengan buah.

Anda juga bisa mengurangi porsi nasi putih di waktu anak makan. Nasi putih mengandung kalori tinggi, 100 gram atau satu centong nasi mengandung 100 kalori.

Ketika masuk ke dalam tubuh, kalori diubah menjadi gula. Bila tidak dikurangi, obesitas anak bisa semakin parah.

6. Kurangi waktu menonton TV

Menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar dapat membuat anak menjadi malas untuk bergerak. Hal ini dapat membuat anak lebih mungkin untuk mengalami kenaikan berat badan.

Oleh karena itu, Anda perlu membatasi waktu anak menonton tv, bermain video game, dan kegiatan lainnya. Sebaiknya waktu anak menonton tv tidak lebih dari dua jam dan tidak menaruh tv di kamar tidur anak.

Obesitas pada anak adalah hal penting yang perlu dipahami orangtua, sehingga tidak lagi menganggap bahwa anak gemuk itu sehat.

Selalu cek kesehatan si kecil termasuk mengawasi berat badannya agar tetap sesuai dengan kriteria sehat anak seusianya.

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

Ditinjau secara medis oleh

dr. Patricia Lukas Goentoro

General Practitioner · Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI)


Ditulis oleh Aprinda Puji · Tanggal diperbarui 30/03/2023

advertisement iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

advertisement iconIklan
advertisement iconIklan