Herpes merupakan salah satu penyakit menular seksual yang disebabkan oleh virus. Virus herpes ini bisa menyerang siapa saja, termasuk pada ibu hamil. Lantas, apakah herpes saat hamil ini berbahaya bagi ibu dan janin di dalam kandungan?
Mungkinkan herpes terjadi pada ibu hamil?
Herpes adalah penyakit yang terjadi karena infeksi virus herpes simplex (HSV). Ada dua jenis HSV yang dapat menyebabkan herpes, yaitu HSV tipe 1 dan HSV tipe 2.
Virus herpes simplex tipe 1 adalah herpes oral yang menyebabkan luka atau lenting (luka yang melepuh) pada wajah dan bibir.
Sementara HSV tipe 2 adalah herpes genital (kelamin) yang menyebabkan luka atau lenting pada alat kelamin.
Adapun kedua jenis herpes ini bisa menyebar melalui kontak kulit, air liur, atau alat kelamin.
Ambil contoh, saat berciuman atau melakukan hubungan seksual dengan orang yang terkena herpes, termasuk seks oral.
Nah, herpes adalah salah satu penyakit infeksi pada ibu hamil yang mungkin terjadi.
Melansir dari UT Southwestern Medical Center, penyakit ini terjadi pada kurang dari satu persen kelahiran.
Sama seperti orang lain, ibu hamil juga bisa terkena herpes karena terinfeksi virus HSV tipe 1 atau HSV tipe 2.
Wanita yang pernah terkena herpes sebelum hamil pun mungkin saja mengalami hal yang sama saat kehamilan.
Sebab, sekali Anda terkena herpes, virusnya akan menetap di tubuh Anda seumur hidup.
Lantas, apakah herpes saat hamil berbahaya? Umumnya, herpes tidak membahayakan kondisi ibu hamil.
Kondisi ini pun sangat jarang menimbulkan keguguran. Namun, herpes saat hamil berisiko membahayakan bayi Anda.
Apa saja gejala herpes saat hamil?
Gejala herpes yang dialami ibu saat hamil sebenarnya tak jauh berbeda ketika tidak sedang hamil.
Selain luka pada wajah atau sekitar alat kelamin, beberapa gejala pun bisa muncul bila ibu hamil mengalami herpes, seperti:
- kesemutan, gatal, atau sensasi seperti terbakar di area luka,
- demam,
- sakit kepala,
- nyeri otot
- gusi sakit,
- sakit tenggorokan,
- kelenjar getah bening yang bengkak,
- sakit saat buang air kecil, hingga
- keputihan yang tidak normal.
Meski demikian, virus ini tidak selalu menimbulkan gejala. Beberapa penderitanya pun mungkin tidak menyadari telah membawa virus ini.
Apakah herpes pada ibu hamil bisa menular ke janin?
Penularan virus herpes umumnya terjadi saat proses persalinan.
Tepatnya, risiko penularan herpes paling besar terjadi saat proses melahirkan normal, yaitu ketika melewati vagina ibu hamil yang sudah terkena virus herpes.
Adapun risiko penularan tersebut lebih besar bila ibu hamil terinfeksi virus herpes pada trimester tiga kehamilan.
Pasalnya, semakin mendekati waktu kelahiran, semakin kecil produksi antibodi yang dihasilkan tubuh ibu untuk melindungi bayi dari virus.
Pada kondisi ini, dokter mungkin akan menganjurkan persalinan melalui operasi caesar agar bayi tidak terpapar virus herpes di sekitar vagina.
Tak hanya itu, penularan herpes juga bisa terjadi pada minggu pertama kehidupan bayi.
Biasanya, penularan terjadi jika ada penderita herpes yang mencium bayi Anda. Pada kasus yang jarang, sentuhan dari penderita herpes juga bisa menginfeksi bayi.
Namun, jika infeksi herpes terjadi sebelum hamil atau saat hamil muda, kemungkinan penularan ke bayi sangat kecil.
Ini karena tubuh ibu sudah membentuk antibodi dari virus herpes. Antibodi ini kemudian diteruskan ke bayi melalui plasenta.
Bahkan, jika virus masih aktif di vagina selama persalinan, antibodi yang telah terbentuk dapat melindungi bayi dari infeksi virus tersebut.
Dokter pun mungkin dapat memberi pengobatan pada ibu hamil untuk meredakan penyakit serta mengurangi kemungkinan penularan, seperti obat acyclovir.
Apa yang terjadi jika bayi tertular herpes dari ibu hamil?
Infeksi virus herpes pada bayi yang baru lahir disebut juga dengan herpes neonatal. Kondisi ini sebenarnya sangat jarang terjadi.
Namun, herpes neonatal termasuk kondisi yang serius dan bisa membahayakan nyawa bayi.
Herpes neonatal bisa menimbulkan infeksi di kulit, mata, dan/atau mulut, memengaruhi sistem saraf pusat, atau infeksi yang menyebar dan melibatkan banyak organ.
Pada kondisi yang parah, kondisi tersebut bisa menyebabkan beberapa masalah pada bayi, seperti:
- kebutaan,
- tuli,
- kejang,
- infeksi serius, seperti meningitis,
- luka berulang pada kulit, mata, alat kelamin, atau mulut,
- kerusakan organ, termasuk hati, paru-paru, dan jantung,
- kerusakan permanen pada sistem saraf,
- keterbelakangan mental, bahkan
- kematian.
Adapun permasalahan tersebut sering ditandai dengan beberapa gejala, seperti luka pada kulit, demam, kelelahan, dan kurang nafsu makan.
Jika bayi Anda mengalami gejala tersebut, sebaiknya segera pergi ke rumah sakit.