Baca semua artikel berita seputar coronavirus (COVID-19) di sini.
Anda yakin mau keluar?
Virus COVID-19 yang hingga kini masih merebak tentunya memberikan pengaruh besar pada kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Dengan digencarkannya gerakan physical distancing, masyarakat kini jadi lebih waspada akan lingkungan di sekitarnya.
Namun, beberapa orang malah membawa kewaspadaan ini sebagai ajang untuk mendiskriminasi suatu golongan tertentu. Disebut dengan xenophobia, fenomena ini kembali ramai terjadi di tengah pandemi COVID-19.
Xenofobia (xenophobia dalam bahasa Inggris) adalah sebuah istilah yang merujuk pada ketakutan akan orang-orang atau sesuatu yang dianggap asing. Istilah ini berasal dari kata Yunani, “xenos” yang berarti orang asing dan “phobos” yang berarti ketakutan.
Keberadaan xenophobia sebagai fobia yang sesungguhnya masih menjadi perdebatan, sebagian berpendapat bahwa xenophobia bisa menjadi ketakutan yang sama seperti fobia pada umumnya.
Namun, istilah ini lebih sering dimaknai dan digunakan dengan cara yang mirip seperti orang menggunakan homophobia, istilah yang ditujukan pada pembenci kaum homoseksual.
Xenophobia biasanya dipicu oleh ketidaksukaan kebencian terhadap individu dan suatu kelompok yang dianggap sebagai sesuatu dari luar atau yang tak biasa dilihatnya. Penyebabnya bisa bermacam-macam, mulai dari ras, garis keturunan, etnis, warna kulit, sampai agama.
Xenophobia disalurkan melalui tindakan diskriminasi langsung, hasutan untuk permusuhan, dan kekerasan. Tindakan ini dilakukan dengan tujuan untuk mempermalukan, merendahkan, atau melukai kelompok orang-orang yang terkait.
Terkadang, hal ini juga dilakukan dengan tujuan untuk memusnahkan suatu kelompok dari lingkungan sekitar orang-orang xenophobic.
Ternyata, pandemi COVID-19 bukanlah yang pertama kali menimbulkan reaksi ini. Berkaca dari peristiwa sebelumnya, epidemi dan pandemi mau tak mau cenderung dapat memicu xenophobia dan stigma, terutama pada individu yang berkaitan dengan wilayah asal penyebaran penyakit.
Pandemi telah memunculkan stigma sosial, yang dalam konteks kesehatan diartikan sebagai hubungan negatif antara individu atau kelompok orang yang berbagi karakteristik tertentu terkait dengan penyakitnya.
Fenomena ini telah terjadi saat penyakit virus Ebola dan MERS merebak. Salah satu contohnya, anak-anak keturunan Afrika yang tinggal di luar negeri kerap menerima ejekan dan panggilan “Ebola” di sekolahnya pada masa puncak penyebaran penyakit tersebut.
Perilaku xenophobia kembali meningkat di tengah pandemi COVID-19. Mengingat penyebaran virus penyebab COVID-19 diawali dari kota Wuhan di Tiongkok, kali ini masyarakat dengan keturunan Asia yang terkena imbasnya.
Tak hanya pada pasien dan tenaga kesehatan yang ikut merawat, orang-orang yang tidak terjangkit pun turut terkena dampak negatif karena stigma ini.
Hal tersebut terlihat pada sebuah video yang sempat ramai beberapa waktu lalu, di mana dua perempuan keturunan Asia tiba-tiba diserang dan dicaci-maki sebagai penyebab penularan penyakit COVID-19.
Situasi semakin diperburuk ketika Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, menyebut COVID-19 sebagai “chinese virus” dengan dalih bahwa virus berasal dari Wuhan di Tiongkok.
Memang, wajar jika pandemi yang telah merenggut ratusan jiwa ini membuat masyarakat menjadi kebingungan, panik, dan bahkan marah. Apalagi COVID-19 merupakan penyakit baru yang masih harus dipelajari lebih dalam. Ketidaktahuan akan penyakit inilah yang memicu ketakutan dan paranoid.
Namun, bukan berarti orang-orang bisa meluapkannya dengan membenci sebuah kelompok hanya karena stereotip yang tidak benar.
Beberapa Ahli Memprediksi Berakhirnya Pandemi COVID-19, Mana yang Akurat?
Jika terus dibiarkan, xenophobia tentunya dapat memberikan dampak yang buruk bagi kelompok yang terkena diskriminasi. Perilaku ini juga dapat berujung pada kesulitan untuk mengendalikan penularan penyakit.
Adanya stigma ini membuat individu yang terkena imbasnya jadi enggan memeriksakan keadaan tubuhnya. Bahkan ia mungkin akan berusaha untuk menyembunyikan gejala yang telah dirasakan karena takut akan mendapatkan perlakuan yang tak menyenangkan di rumah sakit.
Selain itu, kelompok yang distigmatisasi cenderung mengalami kesulitan saat mengakses perawatan, belum lagi mereka juga harus menghadapi kemungkinan adanya bias dalam sistem layanan kesehatan.
Xenophobia bisa terjadi di mana-mana tak terkecuali di Indonesia sendiri. Maka itu, semua orang harus membangunkan kesadaran agar tak terjerumus ke dalam kebencian di tengah berlangsungnya pandemi COVID-19.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan kepada masyarakat untuk ikut seta dalam langkah-langkah untuk menghentikan stigma, beberapanya seperti berikut ini.
Penyakit COVID-19 dapat menyerang siapa saja tanpa pandang usia, ras, dan negara. Alih-alih menuding siapa yang lebih dulu menularkan virusnya, akan lebih baik jika Anda tetap fokus untuk melakukan berbagai pencegahan guna terhindar dari infeksi virusnya.
Hello Health Group tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.
Combating Bias and Stigma Related to COVID-19. (2020). Retrieved 14 May 2020, from https://www.apa.org/news/press/statements/combating-covid-19-bias.pdf
Social Stigma associated with COVID-19. (2020). Retrieved 14 May 2020, from https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/covid19-stigma-guide.pdf
Xenophobia. (2013). Retrieved 14 May 2020, from https://nhri.ohchr.org/EN/Themes/Racial/Documents/Xenophobia.pdf
Komentar
Sampaikan komentar Anda
Ayo jadi yang pertama komentar!
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar