backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan
Konten

Premium

Riset COVID-19: 5 Wilayah di Indonesia dengan Angka Kematian Tertinggi

Ditinjau secara medis oleh dr. Nurul Fajriah Afiatunnisa · General Practitioner · Universitas La Tansa Mashiro


Ditulis oleh Satria Aji Purwoko · Tanggal diperbarui 22/05/2023

Riset COVID-19: 5 Wilayah di Indonesia dengan Angka Kematian Tertinggi

Senin, 20 Maret 2020. Kala itu, Presiden Joko Widodo mengumumkan secara langsung perihal temuan dua kasus pertama COVID-19 di Indonesia.

Menuju ke akhir artikel

Artikel ini hanya tersedia untuk member Hello Sehat. Silakan masuk atau daftar untuk melanjutkan baca.

Banyak masyarakat yang masih bingung dengan penyebaran virus ini. Ada yang terkesan cuek dan tidak terlalu peduli, tetapi ada pula yang merasa khawatir dan cemas dengannya.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah penyebaran virus SARS-CoV-2 ini, mulai dari penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga program vaksinasi COVID-19.

Tiga tahun pandemi COVID-19 di Indonesia

Memasuki tahun ketiga, pandemi COVID-19 di Indonesia bisa dibilang sudah cukup terkendali. Akan tetapi, dampak dari virus mematikan ini sungguh sangat terasa.

Menurut data Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 per 2 Mei 2023, Indonesia telah melaporkan lebih dari 6 juta kasus dan lebih dari 160 ribu kematian akibat COVID-19.

Tercatat ada tiga kali gelombang COVID-19 yang menerjang Indonesia sepanjang tahun 2021 hingga 2022 silam. Hal inilah yang berkontribusi pada tingginya angka kematian.

Salah satu dampak kematian yang cukup terasa terjadi selama gelombang kedua COVID-19 pada bulan Juni–Agustus 2021 yang didominasi oleh varian Delta.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rekor tertinggi angka kematian harian akibat COVID-19 mencapai 2.069 kasus pada 27 Juli 2021.

Angka kematian harian ini terus bertahan di atas 1.400 kasus per hari hingga mulai melandai memasuki pertengahan Agustus 2021 silam.

Penelitian terkait kematian akibat COVID-19

tata laksana covid 19

Tingginya angka kematian akibat COVID-19 tentu membuat kita bertanya-tanya, sebenarnya apa saja yang menjadi “dalang” utama di balik fenomena memilukan ini?

Studi terbaru yang dilakukan oleh Henry Surendra, MPH, PhD, FRSPH, dan tim peneliti dari Monash University membahas mengenai tingginya angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia.

Penelitian tersebut berjudul “Geographical variations and district-level factors associated with COVID-19 mortality in Indonesia: a nationwide ecological study“.

Dalam penelitian tersebut, Henry menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kematian akibat COVID-19 terkait kondisi geografis wilayah pada 514 kabupaten kota di Indonesia.

Mengapa kita hendak mengetahui faktor yang memengaruhi mortalitas (kematian) COVID-19, jelas karena kita (Indonesia) termasuk yang paling tinggi tingkat kematiannya dibandingkan negara-negara lain, termasuk di regional Asia Tenggara.

Henry Surendra

Kajian dalam ruang lingkup nasional ini mencakup data kasus konfirmasi dan kematian akibat COVID-19 dari 514 kabupaten kota di Indonesia yang tercatat oleh Satgas COVID-19 selama dua tahun, yakni dari 1 Maret 2020 hingga 27 Februari 2022.

Data tingkat kejadian COVID-19 pada tingkat kabupaten kota, kesehatan penduduk, kapasitas layanan kesehatan, dan kondisi sosio-ekonomi didapatkan dari sumber resmi pemerintah.

Menurut data tersebut, diketahui bahwa dari total 5.539.333 kasus COVID-19 yang dilaporkan, ada 148.034 orang (2,7%) meninggal dunia dan 5.391.299 orang (97,4%) sembuh.

Angka kematian akibat COVID-19 yang tercatat pada 514 kabupaten kota di Indonesia berkisar antara 0 hingga 284 kematian per 100.000 penduduk.

Adapun, lima kabupaten kota dengan angka kematian tertinggi yakni Balikpapan (284 kematian per 100.000 penduduk), Semarang (263), Madiun (254), Magelang (250), dan Yogyakarta (247).

Perbedaan angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia juga terkait dengan kasus COVID-19 yang lebih tinggi, prevalensi komorbiditas, kapasitas layanan kesehatan, dan karakteristik sosio-ekonomi yang berbeda.

“Ide besarnya (dari penelitian ini) untuk menunjukkan bahwa kita (Indonesia) masih mengalami ketimpangan pelayanan kesehatan dan sosio-ekonomi. Hal ini yang perlu ditanggulangi sebab berakibat pada angka kematian yang berbeda antarwilayah,” tambah Henry.

Ragam faktor yang meningkatkan kematian COVID-19

lansia covid-19

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal BMC Public Health (2023) ini menyebutkan beberapa faktor yang dapat meningkatkan angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia.

“Tingkat kematian ini dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk angka kejadian COVID-19 yang lebih tinggi, proporsi lansia dan pengidap diabetes, serta kualitas dan kuantitas layanan kesehatan,” ujar Henry.

1. Angka kejadian COVID-19

Secara umum, wilayah kabupaten kota dengan tingkat kejadian COVID-19 yang lebih tinggi cenderung memiliki tingkat kematian akibat COVID-19 yang tinggi pula.

Wilayah kabupaten kota dengan angka kematian tertinggi, seperti Yogyakarta, Balikpapan, dan Magelang, masuk ke dalam 20 besar kabupaten kota dengan kejadian COVID-19 tertinggi.

Sepanjang 1 Maret 2020 hingga 27 Februari 2022, tercatat 7.806 kasus per 100.000 penduduk di Yogyakarta, 7.333 kasus di Balikpapan, dan 6.390 kasus di Magelang.

Meskipun demikian, wilayah kotamadya di DKI Jakarta dengan angka kejadian COVID-19 yang tinggi, seperti Jakarta Pusat (10.626) dan Jakarta Selatan (10.308), memiliki tingkat kematian yang lebih rendah.

Menurut Henry, ada faktor-faktor yang membuat Jakarta tidak masuk ke dalam daftar kabupaten kota dengan tingkat kematian COVID-19 tertinggi di Indonesia.

“Mungkin secara kapasitas dan kualitas layanan kesehatan lebih bagus dan prevalensi penyakit yang memperparah COVID-19 lebih rendah. Meski kepadatannya tinggi, mereka punya tingkat tes COVID-19 yang tinggi (sehingga angka kejadian COVID-19 jadi lebih tinggi juga),” jelas Henry.

2. Proporsi penduduk lansia

Jumlah penduduk lansia (berusia 60 tahun ke atas) dalam masyarakat yang lebih tinggi secara signifikan terkait dengan tingkat kematian COVID-19 yang lebih tinggi.

Penelitian sebelumnya di DKI Jakarta pada 2022 menunjukkan adanya peningkatan risiko kematian akibat COVID-19 pada lansia, terutama pada fase awal pandemi di Indonesia.

Pada dasarnya, lansia lebih rentan terhadap COVID-19, baik secara fisik atau sosial. Secara fisik, daya tahan tubuh lansia lebih lemah dan rentan terhadap penyakit infeksi. 

Mereka cenderung mengidap penyakit bawaan (komorbid), seperti penyakit jantung, diabetes, atau gagal ginjal, yang melemahkan tubuh untuk melawan infeksi COVID-19.

Sementara secara sosial, banyak lansia di daerah di Indonesia hidup dalam situasi yang agak terkucilkan sehingga kondisi kesehatannya mungkin kurang diperhatikan.

3. Jumlah pengidap diabetes melitus

Jumlah pengidap diabetes melitus yang lebih tinggi juga berkaitan dengan peningkatan angka kematian akibat COVID-19 di beberapa wilayah di Indonesia.

Pengidap diabetes lebih mungkin terinfeksi dan punya risiko tinggi untuk meninggal dunia akibat COVID-19.

Kadar gula darah yang tidak terkendali dan komplikasi diabetes dapat menurunkan kekebalan tubuh. Infeksi COVID-19 juga menyebabkan peradangan berat dalam tubuh pasien.

Imunitas yang menurun akan membuat tubuh kesulitan melawan infeksi. COVID-19 yang bisa bertahan lama dalam tubuh meningkatkan risiko komplikasi hingga kematian.

Diagnosis dan manajemen diabetes yang baik serta jaringan jaminan sosial yang berkelanjutan dapat mengurangi kerentanan pengidap diabetes terhadap COVID-19.

4. Jumlah perawat per populasi

Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kematian COVID-19 yang lebih tinggi berkaitan dengan jumlah perawat per populasi yang lebih rendah.

Tingginya kejadian infeksi dan kematian di antara tenaga kesehatan (nakes), termasuk perawat selama fase awal epidemi, telah melemahkan ketahanan sistem kesehatan.

Selain itu, tinjauan terbaru juga menunjukkan bahwa nakes yang tersedia saat ini memang tidak mencukupi untuk menangani pandemi di Indonesia.

“Sebenarnya basic health care (pelayanan kesehatan dasar) itu asalnya dari perawat. Mereka yang jadi ujung tombak dalam melakukan anamnesa (wawancara pasien) hingga perawatan pasien (saat pandemi COVID-19),” jelas Henry.

Maka dari itu, Henry menjelaskan bahwa jumlah perawat per populasi di kabupaten kota perlu diredistribusi atau ditambah sesuai dengan kebutuhannya.

Keterbatasan dalam penelitian

Dalam wawancara, Henry tidak menampik bila penelitiannya ini memiliki sejumlah keterbatasan. 

Salah satunya terkait rendahnya tingkat obesitas, banyaknya jumlah bidan, dan besarnya angka pengeluaran per kapita yang meningkatkan angka kematian COVID-19 di Indonesia.

Henry menjelaskan bahwa hubungan kematian COVID-19 dan obesitas yang rendah bisa tidak menunjukkan yang sebenarnya karena tidak memasukan variabel lain, seperti hipertensi.

“Bisa saja wilayah dengan tingkat obesitas yang lebih rendah ini jangan-jangan memiliki tingkat hipertensi yang tinggi. Jadi, yang berperan dalam memperparah COVID-19 bukan obesitas, melainkan hipertensinya,” ungkap Henry.

Kegiatan pelacakan, pengujian, dan pelaporan kejadian hingga kematian COVID-19 umumnya juga terpusat pada kota-kota besar dengan angka pengeluaran per kapita yang lebih tinggi.

Ada juga fenomena lain yang belum dapat dijelaskan, seperti daerah dengan jumlah bidan yang tinggi ternyata memiliki angka kematian COVID-19 yang tinggi pula.

Henry berpendapat bahwa bidan tidak terlibat langsung pada penanganan COVID-19, sebab yang lebih banyak berperan adalah perawat di puskesmas maupun rumah sakit.

“Bidan mungkin lebih kaitannya dengan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) sehingga tidak langsung merawat pasien COVID-19. Jadi kita bisa argue (berpendapat) begitu karena temuan penelitian ini justru menunjukkan kurangnya perawat yang meningkatkan risiko kematian,” tambahnya.

Ketahanan sistem pelayanan kesehatan dalam menghadapi pandemi

pandemi covid-19

Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tingginya tingkat kematian akibat COVID-19 tidak hanya mencakup faktor penduduk usia lanjut dan pengidap komorbid.

Hal ini juga banyak dipengaruhi oleh masyarakat yang tinggal di daerah dengan kasus COVID-19 yang lebih tinggi dan kapasitas pelayanan kesehatan yang lebih rendah.

Henry Surendra dan tim menjelaskan setidaknya terdapat dua hal yang perlu diupayakan untuk menghadapi COVID-19 dan pandemi lainnya di masa mendatang.

Pertama, terkait dengan distribusi serta prioritas nakes untuk masyarakat yang paling berisiko. 

Strategi jangka pendek, seperti dengan melibatkan mahasiswa kedokteran tahun terakhir dan dokter residen, juga perlu dipertimbangkan untuk membantu mengatasi kurangnya nakes.

Kemudian kedua, ke depannya pencegahan terhadap penyakit infeksi, termasuk COVID-19 ini, memang perlu digalakkan untuk mencegah angka kasus dan kematian yang tinggi. 

Diagnosis dan manajemen penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes melitus juga perlu ditingkatkan, sebab komorbiditas ikut berperan dalam meningkatkan angka kematian akibat COVID-19.

Di luar hal tersebut, Henry juga menambahkan perlu adanya koordinasi yang lebih awal antara pemerintah dan akademisi, termasuk di antara para akademisi lintas keilmuan.

“Dengan hubungan ini (pemerintah dan akademisi), ke depannya bila ada pandemi kita dapat keroyok bareng. Kita diskusi mengenai pemodelan dan skenario apa yang perlu diambil guna menghadapi pandemi,” pungkas Henry.

Artikel ini adalah hasil kerja sama antara Hello Sehat dan Monash University.

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

Ditinjau secara medis oleh

dr. Nurul Fajriah Afiatunnisa

General Practitioner · Universitas La Tansa Mashiro


Ditulis oleh Satria Aji Purwoko · Tanggal diperbarui 22/05/2023

advertisement iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

advertisement iconIklan
advertisement iconIklan