backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Premium

Peran Ilmuwan di Tengah Pandemi: Garda Depan di Balik Layar

Fakta medis diperiksa oleh Hello Sehat Medical Review Team


Ditulis oleh Satria Aji Purwoko · Tanggal diperbarui 22/05/2023

    Peran Ilmuwan di Tengah Pandemi: Garda Depan di Balik Layar

    “Salah satu hal yang saya ingat dari almarhum bapak itu, beliau sangat menekankan disiplin tinggi. Beliau sangat tidak suka dengan orang yang telat. Saya juga begitu sampai sekarang, selalu usahakan untuk disiplin dan tidak telat.”

    Menuju ke akhir artikel

    Artikel ini hanya tersedia untuk member Hello Sehat. Silakan masuk atau daftar untuk melanjutkan baca.

    Ada benarnya kalimat yang diucapkan Henry Surendra, MPH, PhD, FRSPH–atau kerap disapa Mas Henry–seorang ilmuwan muda dan Master of Public Health Epidemiology di Indonesia.

    Seperti telah dijadwalkan sebelumnya, tepat pukul dua siang pada Rabu (12/4), Mas Henry hadir di Student Hub, Monash University Indonesia, untuk melakukan rekaman siniar (podcast) bersama tim Hello Sehat.

    Dalam wawancara yang berdurasi kurang-lebih satu jam tersebut, Mas Henry menceritakan mengenai alasannya terjun dalam riset terkait dengan kesehatan masyarakat.

    Mas Henry juga menjelaskan rekam jejaknya dalam meneliti penyakit tropis yang terdapat di Indonesia, termasuk malaria dan terbaru mengenai COVID-19.

    Perlu diketahui juga, Mas Henry bersama timnya baru-baru ini menerbitkan studi terkait COVID-19 yang berjudul “Geographical variations and district-level factors associated with COVID-19 mortality in Indonesia: a nationwide ecological study“.

    Berikut penggalan wawancara untuk mengenal lebih dalam tentang profil Mas Henry dan perannya sebagai ilmuwan selama pandemi COVID-19.

    peran ilmuwan muda
    Sumber: Dokumentasi Hello Sehat

    Terkait dengan profil Mas Henry, mengapa mengambil fokus ke kesehatan masyarakat hingga bisa meraih Fellow of Royal Society for Public Health?

    Biasanya itu, pertanyaannya kenapa nggak kedokteran, kan?

    Iya, sebenarnya itu kelanjutannya. Mengapa nggak kedokteran dan lebih memilih kesehatan masyarakat? 

    Mimpi semua calon mertua itu adalah kedokteran. Sebenarnya dulu saya itu termasuk orang yang tidak suka sekolah. Saya dulu SMA IPA dan saya agak tertarik dengan kimia aslinya.

    Jadi, dulu saya sempat daftar di zaman saya itu PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Daftar ke beberapa dengan interest [ketertarikan] utama sebenarnya adalah kimia dan farmasi.

    Lumayan agak jauh, ya?

    Iya, berbeda jauh sebenarnya. Seharusnya dulu keterima di farmasi, kemudian ada kejadian yang cukup personal yang kemudian membuat saya berpikir untuk tidak mungkin melanjutkan kuliah farmasi seperti itu. 

    Boleh tahu nggak [apa alasan personal tersebut]?

    Biaya, misalnya saat itu ya. Yang personal saat itu, kebetulan saya punya adik yang sakit dan saat itu membutuhkan biaya yang sangat besar untuk pengobatan karena dia ternyata later on [kemudian] ketahuan punya tumor di otak, begitu. 

    Jadi, saya dihadapkan dan cuma punya waktu lima menit pada saat itu. Saya sudah diterima di farmasi dan alternatif yang ditawarkan oleh kampus saat itu adalah ini ada program relatif baru, [yakni] kesehatan masyarakat.

    [Program ini] yang juga akan naik daun ke depannya karena paradigma kesehatan seharusnya berfokus pada pencegahan kesehatan populasi bukan lagi pengobatan. 

    Dalam 5–10 menit saya berpikir banyak pertimbangan hingga akhirnya saya ambil kesehatan masyarakat. Yang ternyata sekarang saya sangat nikmati, sih. 

    Menyenangkan dan tidak ada penyesalan?

    Alhamdulillah. Sangat menyenangkan dan sangat bermanfaat menurut saya, karena bisa langsung berinteraksi dengan masyarakat seperti itu.

    Tahun 2020 lalu, Mas Henry telah menyelesaikan Ph.D. di London School of Hygiene & Tropical Medicine. Mengapa mengambil fokus pada penyakit tropis? Karena melihat kondisi di Indonesia atau seperti apa?

    Alasan ideal dan alasan personal, ya. Mungkin idealnya, Indonesia memang negara yang penuh dengan penyakit tropis. Kalau saya boleh bilang dan mungkin salah satu pesan di buku ALMI (Akademi Ilmuwan Muda Indonesia), saya menuliskan Indonesia ini seperti laboratorium riset untuk penyakit tropis sebenarnya. 

    [Hal ini] karena kebanyakan penyakit tropis ada di Indonesia. Kita mau mempelajari malaria, demam berdarah, kecacingan, filariasis, dan banyak sekali. 

    Itu mungkin jawaban idealnya, [di mana] tentu kita ingin meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dengan cara mempelajari dan kemudian membantu pemerintah mencari cara bagaimana menanggulangi penyakit tropis di Indonesia.

    Tetapi, mungkin jawaban secara personal karena memang kebetulan pekerjaan pertama saya pada 2013 adalah sebagai peneliti di pusat kedokteran tropis di Universitas Gadjah Mada. 

    Saya pernah bekerja di situ, di mana banyak bekerja pada penelitian penyakit tropis, antara lain TBC (tuberkulosis), malaria, dan penyakit-penyakit yang sebelumnya saya katakan.

    Mas Henry saat ini punya kesibukan sebagai Associate Professor di Monash University Indonesia sekaligus peneliti di Oxford University Clinical Research Unit Indonesia. Nah, kalau boleh diceritakan penelitian yang sedang diikuti sekarang apa saja, Mas?

    Jadi, kalau terkait riset yang sedang berjalan, ada beberapa riset. Yang pertama, masih terkait COVID-19. Saya kebetulan saat ini juga memimpin riset untuk mengevaluasi efektivitas dari vaksin COVID-19 bekerja sama dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta. 

    [Saya juga] masih bekerja sama dengan teman-teman di KPCPEN (Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional) untuk melihat cakupan vaksinasi COVID-19 di seluruh Indonesia. Seperti apa dan kira-kira apa faktor yang berhubungan dengan rendahnya cakupan vaksinasi di suatu daerah dibandingkan dengan daerah lain.

    Kemudian, fokus saya yang lain terkait malaria sebenarnya. Saat ini saya juga terlibat dengan penelitian malaria yang spesiesnya baru di Indonesia, yakni zoonosis malaria.

    Pandemi COVID-19 membuat penelitian makin banyak dan kepercayaan masyarakat pada ilmuwan meningkat, dari sebelumnya hanya 20% kini menjadi 35%, Mas. Kalau dari Mas Henry sebagai epidemiolog, bagaimana respons awal saat COVID-19 pada 2020 lalu?

    Sebenarnya, terus terang saat COVID-19 di Indonesia ada banyak kolega dari luar negeri justru menawarkan untuk kerja sama riset. Tetapi, saya dan tim termasuk yang menolak untuk ikut campur dalam riset saat itu karena banyak kesimpangsiuran di awal. 

    Pada saat itu, situasi juga masih genting, kritis, dan sangat sensitif. Kami awalnya berpikir biar orang lain saja. Kemudian, setelah memantau media [massa] dan perkembangan nasional ternyata sepertinya kita harus turun gunung. 

    [Hal ini] karena memang banyak sekali misinformasi. Orang yang seharusnya tidak berbicara itu [COVID-19] tetapi berbicara itu, misalnya. Hal ini tidak bisa dipungkiri terjadi saat itu.

    Kemudian, hal ini membuat saya pribadi dan tim berpikir, “Oke, kita akan masuk nih. Kayaknya kita perlu deh turun membantu meneliti COVID-19, membantu dinas kesehatan mencari tahu bagaimana merumuskan siapa sih, yang prioritas dan paling rentan untuk parah atau meninggal karena COVID-19.” Itu mungkin yang membuat saya harus turun melakukan riset COVID-19.

    Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap ilmuwan meningkat, tetapi apakah Mas Henry merasakannya? Apakah di masa pandemi [COVID-19] peran ilmuwan jadi sangat penting dan lebih didengar oleh pemerintah saat merumuskan kebijakan?

    Perlu diketahui bahwasanya Kementerian Kesehatan memiliki kapasitas yang cukup. Mereka punya epidemiolog yang ahli dan yang saya justru sangat hormati, ada di sana.

    Saya pun sempat terlibat enam bulan ketika kondisi agak genting, tepatnya sebelum vaksinasi. Itu saya pernah terlibat dengan KPCPEN dan UNDP (United Nations Development Programme) Indonesia. Jadi, saya sedikit banyak-tahu apa yang terjadi di dalam.

    Ketika itu kita mendiskusikan bagaimana kombinasi [vaksin] booster COVID-19 yang paling bagus dan prioritasnya seperti apa. Banyak ahli terlibat di situ, mulai dari ahli imunisasi, ahli kampanye publik, termasuk juga dari beberapa kementerian lain.

    Saya baru merasa hal tersebut [peran ilmuwan] mungkin pada tahun kedua [pandemi]. Makin terasa diskusi ilmiah antara akademisi dengan teman-teman di Kemenkes dan kementerian lainnya. Itu pengalaman pribadi saya, di mana [ilmuwan] sudah lebih banyak didengarkan. 

    pandemi di indonesia

    Selama melakukan riset terkait COVID-19, apakah ada pesan atau langkah antisipasi yang bisa dilakukan bila terjadi pandemi berikutnya?

    Saya kira sangat luar biasa effort [usaha] selama COVID-19 itu. Kita bisa lihat bagaimana mobilisasi sumber daya kesehatan dilakukan dengan sangat masif. 

    Kita bisa lihat residen itu bisa dilibatkan dan banyak volunteer [sukarelawan] direkrut, seperti persiapan perang, kan? Tentara, polisi, dan mahasiswa juga ikut bantu. Dan itu sesuatu yang hanya bisa kita dapatkan karena secara langsung mengalaminya. Menurut saya itu sesuatu yang perlu dijaga juga. 

    Ke depannya tentu kita butuh sesuatu yang sifatnya seperti itu, ya. Koordinasi yang luar biasa antarkementerian dan antartenaga kesehatan juga, itu yang menurut saya tetap harus dibina. 

    Dan kalau bisa apa yang sudah ada saat ini perlu di-improve [ditingkatkan] sebenarnya. Karena kunci utama dari menghadapi pandemi itu adalah cepat-cepat mencari orang yang membawa penyakitnya dan mengarantinanya agar tidak menyebar, itu kalau terkait penyakit menular.

    Nah, salah satu kuncinya kita harus kuat di point of entry [pintu masuk]. Pintu masuk negara juga kita harus sangat kuat, sih. Karena sekalinya kita kecolongan di pintu masuk, artinya bila ada orang dari luar negeri datang membawa penyakit dan kita loss [kelewatan] di situ, ya sudah agak sulit kita untuk mencegah penularan penyakit itu. 

    Koordinasi yang luar biasa dan menurut saya peningkatan terus-menerus di point of entry [pintu masuk], sih. 

    Jadi, yang sudah ada sekarang, misalnya scanner untuk mengukur suhu badan, jangan setelah COVID-19 terus kemudian ditiadakan. Itu tetap perlu ada. Dan sistem-sistem yang baik, seperti SatuSehat, itu kiranya tetap perlu dipelihara. 

    Jadi, ke depannya tetap perlu lapor bila mereka merasakan gejala penyakit tertentu. Tapi tidak cukup sampai di situ. 

    Datanya juga perlu terus dipantau dan dikelola secara real-time [langsung] sehingga bisa dilihat kalau bulan ini kok ada peningkatan orang masuk dari luar Indonesia yang demam. 

    Kan, itu bisa men-trigger [memicu] dan memberi early warning [peringatan dini] kalau itu adalah penyakit baru sehingga kita bisa lebih cepat untuk mencegah penyebarannya.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Fakta medis diperiksa oleh

    Hello Sehat Medical Review Team


    Ditulis oleh Satria Aji Purwoko · Tanggal diperbarui 22/05/2023

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan