Varian Omicron menjadi penyumbang naiknya kasus positif COVID-19 di Indonesia. Bahkan, jumlah kasusnya diperkirakan dapat melebihi varian Delta. Maka dari itu, masyarakat diimbau untuk lebih waspada terhadap gejala-gejalanya. Seperti apa gejala yang ditimbulkan oleh virus COVID-19 varian Omicron?
Perbedaan gejala varian Omicron dari varian lainnya
Kasus Omicron di Indonesia semakin meningkat setiap harinya. Lonjakan kasus tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lainnya.
Bahkan, data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit milik Amerika Serikat menunjukkan bahwa Omicron sekarang telah menjadi varian COVID-19 yang mendominasi di negara tersebut.
Para pakar kesehatan pun harus segera mempelajari karakteristik dari varian Omicron, termasuk mengenai berbagai gejala yang ditimbulkan virus ini. Informasi ini nantinya akan sangat berguna untuk memberikan kewaspadaan pada masyarakat.
Dari penelitian dan pengamatan terhadap pasien, ternyata gejala-gejala yang timbul akibat varian Omicron sebenarnya mirip dengan gejala COVID-19 dari varian virus sebelumnya. Gejalanya dapat termasuk:
- batuk,
- sesak napas,
- hidung tersumbat,
- pilek,
- sakit kepala,
- sakit tenggorokan,
- kelelahan,
- nyeri otot,
- meriang,
- demam, dan
- gangguan pencernaan seperti mual atau diare.
Bedanya, varian Omicron dilaporkan cenderung menimbulkan gejala yang lebih ringan daripada varian lain, seperti Delta.
Menurut data dari ZOE COVID Study, sebuah aplikasi yang dibuat untuk melacak kasus dan gejala COVID-19, ada 5 gejala varian virus Omicron yang paling umum dikeluhkan pasien.
Berbagai gejala tersebut meliputi hidung berair, sakit kepala, kelelahan, bersin-bersin, dan sakit tenggorokan.
Kebanyakan pasien melaporkan keluhan gejala yang terkait dengan gangguan saluran pernapasan atas, termasuk sakit tenggorokan dan hidung tersumbat.
Varian Omicron tidak terlalu banyak menyerang paru-paru bila dibandingkan dengan varian sebelumnya. Bisa dibilang, varian Omicron lebih kecil kemungkinannya untuk berkembang menjadi penyakit parah seperti pneumonia.
Selain itu, gejala berupa anosmia (hilang penciuman) dan ageusia (hilang perasa) juga dilaporkan lebih jarang terjadi pada varian ini.
Perbedaan selanjutnya yaitu seberapa cepat gejalanya menyerang. Gejala varian Omicron mungkin muncul sekitar tiga hari setelah seseorang terinfeksi.
Sementara itu, gejala Delta, Alfa, dan varian lainnya baru muncul sekitar lima atau enam hari setelah infeksi.
Jangan anggap remeh Omicron
Meski dikatakan lebih ringan, risiko untuk mengalami gejala parah, membutuhkan rawat inap, atau meninggal akibat COVID-19 varian Omicron tetaplah ada.
Risiko-risiko tersebut lebih tinggi pada orang-orang yang berusia di atas 65 tahun, memiliki masalah kekebalan tubuh, mengalami obesitas, atau memiliki penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi.
Bahkan jika sudah mendapatkan vaksinasi sekalipun, orang-orang yang termasuk dalam golongan berisiko masih bisa mengalami penurunan kondisi yang buruk ketika terkena varian Omicron.
Gejala ringan juga bukan berarti bisa dianggap sepele. Dalam ranah penyakit menular dan epidemiologi, gejala ringan tidak selalu berupa pilek. Penanda penyakit ringan yakni apakah kondisinya mengharuskan pasien dirawat di rumah sakit atau tidak.
Infeksi yang ringan tetap bisa membuat Anda merasakan demam tinggi, nyeri otot, dan lemas beberapa hari. Gejala tersebut memang menimbulkan ketidaknyamanan, tetapi belum tentu memerlukan perawatan di rumah sakit.
Perlu Anda ketahui, varian Omicron juga lebih mudah menyebar daripada varian COVID-19 lainnya. Menurut WHO, Omicron menyebar lebih cepat secara signifikan dibandingkan varian Delta dengan kasusnya yang dapat berlipat ganda setiap 1,5 hingga 3 hari.
Masalahnya, lonjakan kasus Omicron terjadi saat musim hujan, yakni ketika penularan penyakit lain seperti flu dan demam berdarah biasanya meningkat.
Karena gejala awalnya yang serupa, cukup sulit untuk membedakan apakah kondisi yang Anda alami merupakan tanda COVID-19 varian Omicron atau penyakit infeksi lain.
Jadi, sebaiknya lakukan pemeriksaan agar Anda bisa memastikan diagnosis penyakit dan mendapatkan penanganan COVID-19 yang tepat.
Lindungi diri dari varian Omicron dengan melakukan vaksinasi
Vaksinasi COVID-19 tetap menjadi langkah terbaik untuk melindungi masyarakat dari penyakit ini dan mengurangi potensi kemunculan varian baru.
Selain mendapatkan dua dosis utama, pemerintah mengimbau masyarakat untuk segera melakukan vaksinasi booster.
Para ilmuwan masih mempelajari seberapa efektif vaksin COVID-19 yang ada dalam mencegah infeksi varian Omicron.
Sejauh ini, data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa vaksin booster COVID-19 efektif untuk mencegah gejala parah akibat penyakit ini.
CDC menggunakan data dari sekitar 93.000 kasus rawat inap dan 241.000 kunjungan ke instalasi gawat darurat di 10 negara bagian selama berlangsungnya gelombang Delta dan Omicron.
Data tersebut mengungkapkan, efektivitas vaksin untuk mencegah rawat inap mencapai 91% pada dua bulan pertama setelah mendapatkan vaksin ketiga. Kemudian, efikasinya menurun menjadi 78% setelah empat bulan atau lebih.
Meski demikian, vaksin booster tetap dapat memberikan perlindungan ekstra bila dibandingkan dengan hanya mendapatkan dua dosis utama.
Anda juga tidak perlu khawatir dengan efek samping vaksin ketiga. Pasalnya, dari penelitian yang juga dilakukan oleh CDC, kebanyakan orang yang telah menerima vaksin booster mengalami lebih sedikit reaksi daripada setelah dosis kedua vaksin mRNA.
Ingat, tidak ada vaksin yang bisa melindungi Anda 100 persen. Anda masih bisa tertular atau mengalami infeksi ulang walau telah mendapatkan vaksin.
Siapa pun yang terkena infeksi Omicron juga dapat menularkan virus ini ke orang lain, bahkan bila telah divaksin atau tidak mengalami gejala.
Oleh karena itu, masyarakat harus senantiasa menjalankan protokol kesehatan dengan menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas.