Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan kondisi kesehatan yang umum terjadi. Berdasarkan data riskesdas 2018, sebesar 34,1 persen masyarakat Indonesia menderita tekanan darah yang tinggi. Sebagian besar hipertensi yang terjadi karena penyebab yang tidak pasti, disebut dengan hipertensi esensial atau hipertensi primer. Namun, tekanan darah tinggi juga bisa terjadi karena faktor lain, disebut dengan hipertensi sekunder. Apa saja yang menjadi penyebab hipertensi jenis ini dan bagaimana pengobatannya?
Apa itu hipertensi sekunder?
Hipertensi sekunder adalah jenis darah tinggi yang disebabkan oleh penyakit atau kondisi kesehatan tertentu. Kondisi ini biasanya terjadi karena beberapa penyakit yang menyerang ginjal, arteri, atau sistem endokrin. Hipertensi sekunder juga bisa terjadi selama kehamilan.
Hipertensi jenis ini memang jarang terjadi, bila dibandingkan dengan hipertensi primer. Hipertensi sekunder hanya terjadi pada 5-10 persen dari penderita tekanan darah tinggi. Sementara itu, kasus hipertensi primer bisa mencapai 90 persen penderitanya.
Tekanan darah tinggi karena hipertensi sekunder dapat diatasi dengan mengobati faktor penyebabnya. Pengobatan ini juga sekaligus untuk menurunkan risiko terjadinya komplikasi hipertensi.
Apa saja penyebab hipertensi sekunder?
Hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit atau kondisi kesehatan tertentu. Berikut adalah beberapa di antaranya:
1. Penyakit ginjal
Penyakit ginjal merupakan gangguan fungsi pada organ ginjal. Kondisi ini bisa menyebabkan tekanan darah tinggi bila terjadi penyempitan satu atau dua pembuluh arteri yang mengarah ke ginjal atau yang disebut dengan stenosis. Hal tersebut dapat menyebabkan suplai darah menuju ginjal berkurang dan kondisi ini memicu peningkatan produksi hormon yang disebut dengan renin.
Kadar renin yang berlebih dapat merangsang produksi senyawa tertentu, seperti molekul protein angiotensin II. Adapun senyawa tersebut dapat meningkatkan tekanan darah.
Selain itu, beberapa masalah pada ginjal lain yang dapat menyebabkan hipertensi, yaitu:
- Penyakit ginjal polikistik, atau adanya kista di ginjal yang mencegah ginjal bekerja secara normal sehingga dapat meningkatkan tekanan darah.
- Glomerulonefritis, yaitu peradangan pada glomeruli yang dapat mengganggu proses penyaringan limbah dari natrium di dalam tubuh, yang dapat menyebabkan tekanan darah tinggi.
2. Penyakit pada kelenjar adrenal
Kelenjar adrenal adalah organ yang terletak di atas ginjal dan berperan dalam produksi hormon dalam tubuh. Jika terjadi masalah pada kelenjar tersebut, hormon di dalam tubuh menjadi tidak seimbang dan memicu masalah-masalah kesehatan, seperti:
- Pheochromocytoma: tumor di kelenjar adrenal yang memproduksi hormon epinefrin dan norepinefrin secara berlebihan, sehingga tekanan darah pun naik
- Sindrom Conn atau aldosteronisme: kondisi ketika tubuh memproduksi terlalu banyak hormon aldosteron, sehingga tubuh tidak dapat membuang garam dengan baik dan tekanan darah menjadi tinggi.
- Sindrom Cushing: mengakibatkan produksi hormon kortisol secara berlebihan, sehingga tekanan darah dan metabolisme karbohidrat dalam tubuh terganggu.
3. Hiperparatiroidisme
Hiperparatioridisme juga bisa menyebabkan hipertensi sekunder. Pada kondisi ini, kelenjar paratiroid, yang berada di leher, memproduksi hormon parathormone secara berlebihan. Hormon ini berpotensi memicu kenaikan kadar kalsium di dalam darah. Adapun hal ini dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah.
4. Gangguan pada tiroid
Gangguan yang terjadi pada kelenjar tiroid, seperti hipotiroidisme atau hipertiroidisme, juga dapat menyebabkan tekanan darah tinggi akibat ketidakseimbangan hormon di dalam tubuh.
5. Koarktasio aorta
Koarktasio aorta merupakan penyempitan yang terjadi di pembuluh aorta. Jika kondisi ini terjadi, aliran darah dapat terganggu dan tekanannya pun naik.
6. Sleep apnea obstruktif
Sleep apnea adalah kondisi ketika napas Anda berhenti sebentar saat tidur. Kondisi ini dapat menyebabkan Anda kekurangan oksigen yang mana dapat merusak pembuluh darah. Adapun bila hal itu terus terjadi, tekanan darah Anda dapat naik.
7. Konsumsi obat-obatan tertentu
Beberapa jenis obat juga dapat memicu terjadinya hipertensi sekunder, seperti:
- Obat kontrasepsi.
- Obat non-steroidal anti-inflammatory agent (NSAID).
- Pil diet.
- Obat antidepresan.
- Obat penekan sistem imun.
- Obat dekongestan.
- Obat-obatan kemoterapi.
Selain beberapa kondisi di atas, hipertensi sekunder juga dapat dipicu oleh beberapa kondisi kesehatan lain yang meliputi:
- Berat badan berlebih (obesitas).
- Resistensi insulin dalam tubuh, yang merupakan salah satu penyebab diabetes.
- Kadar lemak dalam darah meningkat (dislipidemia).
Apa saja tanda-tanda dan gejala dari hipertensi sekunder?
Sama seperti hipertensi primer, hipertensi sekunder tidak memiliki gejala tertentu. Bila ada gejala atau tanda yang dirasakan, umumnya itu terjadi karena tekanan darah Anda naik sangat tinggi atau karena penyakit lain yang Anda derita, yang menyebabkan darah tinggi. Oleh karena itu, gejala hipertensi sekunder umumnya bervariasi, tergantung pada penyakit atau kondisi kesehatan yang menjadi penyebab utama hipertensi.
Beberapa tanda dan gejala yang paling umum adalah:
- Sakit kepala.
- Berkeringat berlebihan.
- Jantung berdetak lebih cepat.
- Kenaikan berat badan yang tidak wajar, atau justru turun drastis.
- Tubuh terasa lemas.
- Kecemasan.
Dalam beberapa kasus, penderita mungkin juga akan mengalami nyeri dada, sesak napas, atau mimisan. Namun, umumnya gejala-gejala tersebut baru muncul ketika kondisi ini sudah memasuki tahap yang lebih parah. Segera periksakan ke dokter bila hal ini terjadi Anda.
Selain yang disebutkan di atas, kemungkinan ada tanda-tanda dan gejala lain yang Anda alami. Apabila Anda memiliki kekhawatiran akan gejala-gejala tertentu segera periksakan diri ke dokter.
Bagaimana dokter mendiagnosis hipertensi sekunder?
Tekanan darah dapat dikatakan tinggi apabila berada di angka sistolik dan diastolik tertentu, yaitu mencapai 140/90 mmHg. Adapun tekanan darah normal berada di bawah 120/80 mmHg. Bila berada di antara kedua angka tersebut, Anda tergolong mengalami prehipertensi.
Untuk dapat mendiagnosis hipertensi, dokter akan mengukur tekanan darah Anda dengan alat ukur tekanan darah. Dokter mungkin akan melakukan pengecekan tekanan darah beberapa kali, termasuk dengan alat ukur tekanan darah ambulatory, untuk memastikan diagnosanya.
Namun, sebelum mendiagnosis apakah Anda menderita hipertensi sekunder atau tidak, dokter biasanya akan mencari tahu apakah Anda memiliki faktor-faktor tertentu, seperti:
- Usia di bawah 30 tahun dengan hipertensi.
- Terdapat riwayat hipertensi resisten (hipertensi tidak membaik walau sudah ditangani dengan obat-obatan antihipertensi).
- Tidak menderita obesitas.
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita hipertensi.
- Adanya tanda-tanda dan gejala dari penyakit lain.
Selain itu, dokter juga mungkin akan merekomendasikan tes lainnya. Beberapa tes yang mungkin akan dilakukan, yaitu:
- Tes darah.
- Tes kadar urea dalam darah (Tes BUN).
- Tes urine.
- USG ginjal.
- CT atau MRI scan.
- EKG atau rekam jantung.
Bagaimana pengobatan hipertensi sekunder?
Hipertensi sekunder bisa diatasi dengan mengobati penyakit atau kondisi kesehatan tertentu yang menjadi penyebabnya. Begitu penyakit tersebut dapat diatasi dengan baik, tekanan darah Anda pun dapat menurun dan bahkan kembali ke normal.
Pengobatan untuk hipertensi sekunder bervariasi, tergantung pada penyakit yang Anda derita. Bila tumor ditemukan, tindakan pembedahan atau operasi mungkin saja dilakukan. Oleh karena itu, konsultasikan selalu dengan dokter Anda mengenai pengobatan yang tepat sesuai dengan kondisi Anda.
Selain pengobatan tersebut, perubahan gaya hidup pun dibutuhkan untuk mengendalikan tekanan darah, seperti olahraga rutin, berhenti merokok, membatasi alkohol, diet hipertensi, menjaga berat badan, dan mengelola stres. Hal ini juga diperlukan untuk mencegah hipertensi Anda semakin parah.
Obat yang dapat direkomendasikan untuk hipertensi sekunder
Apabila perubahan gaya hidup tidak cukup membantu, dokter mungkin akan meresepkan obat antihipertensi. Beberapa di antaranya adalah:
- beta-blocker, seperti metoprolol (Lopressor).
- calcium channel blocker, seperti amlodipine (Norvasc).
- diuretik, seperti hydrochlorothiazide/HCTZ (Microzide).
- angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor, seperti captopril (Capoten).
- angiotensin II receptor blocker (ARB), seperti losartan (Cozaar).
- renin inhibitor, seperti aliskiren (Tekturna).
Bila ada pertanyaan, konsultasikanlah dengan dokter untuk solusi terbaik masalah Anda.
[embed-health-tool-heart-rate]