4. Etambutol
Etambutol adalah antituberkulosis yang bisa menghambat kemampuan bakteri menginfeksi, tapi tidak dapat membunuh bakteri secara langsung. Obat ini diberikan khusus untuk pasien dengan risiko terjadinya resistansi (kebal) obat TBC. Namun, jika risiko resistansi obat termasuk rendah, pengobatan TBC dengan etambutol dapat dihentikan.
Cara kerja etambutol bersifat bakteriostatik, artinya menghambat pertumbuhan bakteri M. tuberculosis yang kebal terhadap obat isoniazid dan streptomisin. Obat TBC ini juga menghalangi pembentukan dinding sel oleh mycolic acid.
Penggunaan etambutol tidak direkomendasikan untuk TBC pada anak di bawah 8 tahun karena dapat menyebabkan gangguan penglihatan dan efek sampingnya sangat sulit dikendalikan. Efek samping dari ethambutol yang mungkin akan timbul adalah:
- Gangguan penglihatan
- Buta warna
- Penyempitan jarak pandang
- Sakit kepala
- Mual dan muntah
- Sakit perut
5. Streptomisin
Streptomisin adalah antibiotik pertama yang dibuat khusus untuk melawan bakteri penyebab tuberkulosis. Pada pengobatan tuberkulosis sekarang ini, streptomisin digunakan untuk mencegah terjadinya efek resistansi antituberkulosis.
Cara kerja obat TBC ini adalah dengan membunuh bakteri yang sedang membelah diri, yaitu dengan menghambat proses pembuatan protein bakteri.
Obat TBC streptomisin ini diberikan lewat suntikan ke jaringan otot (intramuskular/IM). Biasanya obat TBC jenis suntik ini diberikan jika Anda sudah mengalami penyakit TB untuk kedua kali atau konsumsi obat minum streptomisin tidak efektif lagi.
Pemberian obat TBC ini harus memperhatikan apakah pasien memiliki gangguan ginjal, sedang hamil, atau gangguan pendengaran. Obat ini memiliki efek samping yang mengganggu keseimbangan pendengaran jika dikonsumsi lebih dari 3 bulan.
Regimen pengobatan TBC berdasarkan kategori pasien
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, terdapat 3 kategori pasien TBC yang ditentukan berdasarkan hasil BTA dan riwayat pengobatan. Kategori ini selanjutnya menentukan jenis regimen pengobatan seperti apa yang tepat.
Mengutip laman TB Facts, regimen pengobatan merupakan kesatuan kombinasi obat-obatan yang digunakan untuk penderita TB dengan kode standar tertentu, biasanya berupa angka dan huruf kapital yang menentukan tahap, lama pengobatan, dan jenis obat.
Di Indonesia kombinasi obat antituberkulosis bisa disediakan dalam bentuk paket obat lepas kombipak ataupun bentuk obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Paket kombipak inilah yang menunjukan regimen pengobatan TBC di Indonesia. Satu paket kombipak ditujukan untuk satu kategori pasien dalam satu masa pengobatan.
Dilansir dari dokumen Departemen Kesehatan RI, kode-kode yang digunakan dalam regimen pengobatan tuberkulosis adalah:
Kombipak kategori I
(Tahap intensif/tahap lanjutan)
• 2HRZE/4H3R3
• 2HRZE/4HR
• 2HRZE/6HE
Kombipak kategori II
(Tahap intensif/ tahap lanjutan)
• 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
• 2HRZES/HRZE/5HRE
Kombipak kategori III
(Tahap intensif/ tahap lanjutan)
• 2HRZ/4H3R3
• 2HRZ/4HR
• 2HRZ/6HE
Dengan keterangan yang menunjukan:
H = Isoniazid, R = Rifampisin, Z = Pirazinamid, E = Etambutol, S = Streptomisin
Sementara angka dalam kode menunjukkan waktu dan frekuensi. Angka yang terdapat di depan menunjukan durasi konsumsi, misalnya pada 2HRZES, artinya digunakan selama 2 bulan setiap hari. Sementara itu, angka di belakang huruf menandakan berapa kali pemakaian obat, seperti dalam 4H3R3 berarti 3 kali pemakaian dalam seminggu selama 4 bulan.
Saat berkonsultasi, dokter biasanya akan memberikan panduan mengenai aturan penggunaan kombipak ini.
OAT-KDT
Sementara itu, OAT-KDT atau dalam istilah umumnya adalah Fix Dose Combination (FDC) merupakan campuran 2-4 obat anti-TBC yang telah dimasukkan ke dalam satu tablet.
Penggunaan obat ini sangat menguntungkan karena bisa menghindari risiko kesalahan peresepan dosis dan memudahkan pasien mematuhi aturan pengobatan. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit, pasien pun jadi lebih mudah mengelola dan mengingat pemakaian obat.
Terdapat juga jenis obat tuberkulosis sisipan yang diberikan setiap hari selama satu bulan jika pada akhir tahap intensif pasien kategori I dan pasien pengobatan ulang (kategori II) menunjukan BTA positif.
Jika Anda memiliki TBC laten yaitu kondisi di mana tubuh Anda telah terinfeksi bakteri M. tuberculosis, tapi bakteri tidak aktif memperbanyak diri, Anda juga perlu mendapatkan obat TBC meskipun tidak menunjukkan gejala TB paru aktif. Biasanya, TBC laten akan ditangani dengan kombinasi obat rifampicin dan isoniazid selama 3 bulan.
Obat lini kedua untuk TB resistan obat
Saat ini, semakin banyak bakteri yang kebal terhadap obat TBC lini pertama. Resistansi bisa disebabkan oleh pengobatan yang terputus, jadwal minum obat yang tidak teratur, atau sifat bakteri yang resistan terhadap jenis antibiotik tertentu.
Kondisi tersebut dikenal dengan TB MDR (Multidrug Resistance). Biasanya, bakteri penyebab TBC resisten terhadap dua jenis obat TB, yaitu rifampicin dan isoniazid.
Orang dengan TB MDR akan menjalani pengobatan TBC menggunakan obat lini kedua. Pada studi berjudul Tuberculosis Treatment and Drug Regimens, penggunaan obat yang dianjurkan WHO untuk pasien tuberkulosis resistan obat, yakni:
- Pyrazinamide
- Amikacin bisa diganti dengan kanamycin
- Ethionamide atau prothionamide
- Cycloserine atau PAS
Beberapa obat TB lini kedua lainnya yang juga diperbolehkan oleh WHO adalah:
- Capreomycin
- Para-aminosalicylic acid (PAS)
- Ciprofloxacin
- Ofloxacin
- Levofloxacin
Pasien TB resistan obat juga harus mengulang kembali tahap pengobatan TBC dari awal sehingga secara total memerlukan lebih panjang, yaitu minimal 8-12 bulan, kemungkinan buruknya bisa sampai 24 bulan. Efek samping pengobatan pun bisa lebih berat.
Mengapa pengobatan TBC memerlukan waktu lama?
Bakteri penyebab TBC, Mycobacterium tuberculosis (MTB), adalah jenis bakteri yang tahan terhadap kondisi lingkungan yang asam. Begitu masuk ke dalam tubuh, bakteri ini bisa “tertidur” lama alias berada di fase dorman. Artinya, berada di tubuh, tapi tidak berkembang biak.
Kebanyakan jenis antibiotik, termasuk yang digunakan sebagai obat TBC, hanya berfungsi membunuh bakteri saat berada di fase aktif. Padahal, pada kasus penyakit tuberkulosis aktif, terdapat juga bakteri yang berada dalam fase dorman (nonaktif).
Dalam studi berjudul Why Is Long-Term Therapy Required to Cure Tuberculosis? juga disebutkan terdapat dua tipe resistansi yang bisa dimiliki MTB ini, yaitu fenotipe (dipengaruhi lingkungan) dan genotipe (faktor genetik).
Studi tersebut menyebutkan bahwa jumlah bakteri yang berlimpah akan meningkatkan peluang tejadinya resistansi obat secara fenotipe. Alhasil, beberapa bakteri bisa resistan terhadap beberapa jenis antibiotik dalam satu periode pengobatan yang sama. Hal itu membuat bakteri yang mungkin resistan harus tetap diobati. Itulah yang menyebabkan durasi pengobatan TBC memakan waktu yang lebih lama.
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar