backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Mengenal Bronkodilator, Obat Sesak Napas untuk PPOK dan Asma

Ditinjau secara medis oleh dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H. · General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Aprinda Puji · Tanggal diperbarui 04/08/2021

    Mengenal Bronkodilator, Obat Sesak Napas untuk PPOK dan Asma

    Asma dan PPOK (penyakit paru obstruktif kronis) menyerang kesehatan paru. Keduanya menyebabkan penyempitan saluran pernapasan di paru-paru sehingga mengakibatkan terjadinya kondisi sesak napas. Salah satu pengobatan yang digunakan untuk sesak napas adalah bronkodilator. Simak tentang obat ini lebih dalam ulasan berikut.

    Apa itu bronkodilator?

    Bronkodilator adalah jenis obat yang membuat pernapasan lebih mudah dengan cara melebarkan saluran pernapasan dan melemaskan otot-otot pada paru. Obat ini termasuk ke dalam golongan obat nonsteroid.

    Jika Anda memiliki asma atau PPOK, dokter biasanya akan meresepkan obat bronkodilator agar pernapasan jadi lebih lega. Menurut situs University of Virginia, cara kerja bronkodilator adalah melemaskan otot-otot di sekitar saluran pernapasan menuju paru-paru sehingga memperlebar saluran napas dan tabung bronkial.

    Obat ini sebenarnya sebenarnya bukan pengobatan utama untuk pasien asma yang mengalami sesak napas. Orang asma lebih diutamakan menggunakan kortikosteroid inhalasi untuk mengurangi peradangan dan mencegah gejala kembali kambuh.

    Namun, beberapa pasien bisa menggunakan obat jenis ini agar saluran udara tetap terbebas dari penyempitan dan meningkatkan keampuhan kortikosteroid yang digunakan.

    Sementara itu, untuk pengobatan PPOK, obat ini dapat digunakan secara tunggal. Penambahan obat kortikosteroid biasanya hanya diberikan kepada pasien yang gejalanya lebih parah.

    Tipe bronkodilator berdasarkan efek kerjanya

    Berdasarkan cara kerjanya, obat ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu efek cepat dan efek lama. Agar lebih jelas, mari bahas satu per satu.

    1. Bronkodilator efek cepat

    Bronkodilator efek cepat adalah bronkodilator yang bekerja lebih cepat, tapi hanya bertahan selama 4-5 jam. Biasanya tipe ini digunakan untuk mengobati gejala sesak napas yang muncul tiba-tiba, seperti mengi, sesak napas, dan nyeri di dada.

    Saat gejala tidak muncul, pasien mungkin tidak membutuhkan obat ini. Beberapa contoh dari obat bronkodilator kerja cepat, antara lain:

    • albuterol (ProAir HFA, Ventolin HFA, Proventil HFA)
    • levalbuterol (Xopenex HFA)
    • pirbuterol (Maxair)

    2. Bronkodilator efek lama

    Jenis ini merupakan kebalikan dari yang sebelumnya. Obat ini bekerja lebih lama dan bertahan selama 12 jam hingga satu hari penuh.

    Jenis ini biasanya diperuntukkan untuk penggunaan harian, bukan untuk meredakan gejala yang muncul mendadak. Beberapa bronkodilator kerja lambat, meliputi:

    • salmeterol (Serevent)
    • formoterol (Perforomist)
    • aclidinium (Tudorza)
    • tiotropium (Spiriva)
    • umeclidinium (Incruse)

    Tipe bronkodilator berdasarkan komponennya

    nebulizer dan inhaler

    Selain efek kerja obat, bronkodilator juga dikategorikan berdasarkan komponen obatnya, yakni:

    1. Agonis beta-2

    Bronkodilator agonis beta-2 terdiri atas:

    Obat ini dapat digunakan pada efek cepat dan lama. Biasanya, digunakan dengan cara dihirup dengan inhaler genggam kecil atau nebulizer. Bisa juga dalam bentuk tablet kecil atau sirup.

    Namun, orang dengan kondisi tertentu perlu berhati-hati menggunakan obat ini, yaitu orang dengan kondisi:

    Jenis agonis beta yang disetujui penggunaannya antara lain:

    • Agonis beta short acting: albuterol, xopenex, metaproterenol, dan terbutaline
    • Agonis beta long acting: salmeterol, performomist, bambuterol, dan indacaterol

    2. Antikolinergik

    Bronkodilator ini dapat terdiri atas:

    • ipratropium
    • tiotropium
    • aclidinium
    • glikopirronium

    Obat ini termasuk ke dalam kategori efek cepat dan lama dan utamanya digunakan untuk orang PPOK. Meski begitu, pasien asma juga bisa menggunakan obat ini.

    Antikolinergik paling sering digunakan memakai inhaler. Namun, Anda lebih disarankan menggunakan nebulizer jika gejalanya cukup parah agar obat bekerja lebih optimal.

    Cara kerja obat ini adalah melebarkan saluran udara dengan menghalangi saraf kolinergik, yakni saraf yang melepaskan bahan kimia untuk mengencangkan otot di sekitar saluran paru-paru.

    Orang dengan pembesaran prostat, gangguan pada kandung kemih, dan glaukoma perlu berhati-hati menggunakan obat ini.

    3. Methylxanthine

    Jenis bronkodilator ini bekerja meringankan penyumbatan aliran udara, mengurangi peradangan, dan meredakan kontraksi bronkial.

    Obat ini dijadikan pilihan terakhir saat agonis-beta maupun antikolinergik tidak memberikan efek maksimal. Sayangnya, obat ini menimbulkan efek samping yang lebih besar dibanding obat lain.

    Obat ini tidak dapat dihirup, melainkan diminum dalam bentuk pil secara oral, supositoria, atau disuntikkan pada pembuluh darah vena. Obat methylxanthine yang disetujui penggunaannya, antara lain teofilin dan aminofilin.

    Efek samping lebih umum terjadi ketika methylxanthines diberikan lewat suntikan. Efek sampingnya yang biasanya terjadi adalah sakit kepala, susah tidur, mual, diare, dan mulas.

    Efek samping obat bronkodilator

    jenis bronkodilator untuk PPOK

    Efek samping penggunaan obat ini bisa bervariasi, tergantung pada jenis mana yang Anda gunakan.

    1. Efek samping bronkodilator agonis beta-2

    Beberapa efek samping yang terjadi setelah penggunaan bronkodilator agonis beta-2 seperti salbutamol, meliputi:

    • gemetar, terutama di tangan
    • saraf menegang
    • sakit kepala
    • detak jantung tidak beraturan
    • kram otot

    Efek-efek di atas umumnya akan menghilang dengan sendirinya setelah beberapa hari atau minggu. Meski sangat jarang, kemungkinan efek samping yang lebih serius dapat terjadi, seperti penyempitan saluran pernapasan akut (bronkospasme paradoksikal).

    Dosis agonis beta-2 yang berlebihan juga berpotensi menyebabkan serangan jantung dan rendahnya kadar kalium dalam darah (hipokalemia).

    2. Efek samping bronkodilator antikolinergik

    Efek samping utama dari pemakaian antikolinergik adalah sebagai berikut:

    • mulut kering
    • sembelit
    • batuk
    • sakit kepala

    Beberapa efek lainnya yang lebih jarang terjadi adalah:

  • mual
  • heartburn
  • kesulitan menelan (disfagia)
  • detak jantung tidak beraturan
  • iritasi tenggorokan
  • sulit buang air kecil
  • 3. Efek samping bronkodilator methylxanthine

    Menggunakan obat methylxanthine seperti teofilin mungkin dapat menyebabkan efek samping berikut:

    • mual dan muntah
    • diare
    • detak jantung tidak beraturan, atau lebih cepat
    • sakit kepala
    • sulit tidur (insomnia)

    Efek samping di atas lebih mungkin terjadi pada orang-orang berusia lanjut. Hal ini disebabkan karena fungsi hati lansia telah menurun, sehingga kemampuan tubuh untuk membuang obat pun memburuk. Obat yang menumpuk terlalu banyak di dalam tubuh meningkatkan risiko terjadinya efek samping.

    Sebelum menggunakan bronkodilator, pastikan Anda berkonsultasi lebih dahulu pada dokter. Terutama jika Anda memiliki masalah medis tertentu, sedang hamil, atau menyusui. Dokter akan membantu memilih obat yang tepat untuk menangani gejala asma atau PPOK yang Anda miliki.

    Apa yang perlu diperhatikan sebelum menggunakan obat ini?

    Setelah memilih jenis bronkodilator yang tepat, langkah selanjutnya adalah mengecek tanggal kedaluwarsa yang tercantum di tabung atau kemasan obat.

    Anda juga harus menyimpannya dengan benar. Jangan meletakkan obat ini di tempat yang terkena sinar matahari atau menggunakannya di dekat api.

    Hindari memakai tabung bronkodilator milik orang lain atau meminjamkan tabung milik Anda pada orang lain. Bila merasakan efek samping yang mengganggu setelah menggunakan obat, jangan ragu konsultasi pada dokter. Dokter akan mengganti atau menambahkan obat lain untuk mengurangi efek samping tertentu.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

    General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


    Ditulis oleh Aprinda Puji · Tanggal diperbarui 04/08/2021

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan