Ditinjau secara medis oleh dr. Patricia Lukas Goentoro · General Practitioner · Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI)
Hepatitis D (HDV) atau hepatitis delta adalah penyakit peradangan hati yang disebabkan oleh infeksi virus delta. Peradangan hati dapat menyebabkan pembengkakan yang dapat memengaruhi fungsi kerja hati.
Dibandingkan dengan penyakit hepatitis lainnya, HDV termasuk infeksi virus yang paling berbahaya.
Pasalnya, penyakit ini dapat menyerang pasien hepatitis B (HBV). Hal ini dikarenakan HDV adalah jenis virus RNA yang belum sempurna, sehingga membutuhkan HBV sebagai inang untuk bereplikasi.
Bila HDV dan HBV terjadi secara bersamaan, tentu Anda akan mengalami sejumlah gangguan fungsi hati yang serius. Hal ini berlaku terutama jika infeksi hepatitis B telah berlangsung dalam waktu yang lama, alias kronis.
Akibat pilihan pengobatan yang cukup terbatas, hepatitis D berisiko tinggi menimbulkan sejumlah komplikasi. Itu sebabnya, upaya pencegahan terhadap penyakit ini penting dilakukan untuk menghindari bahaya yang ditimbulkan.
Hepatitis D ditemukan pertama kali pada 1977 dan sejak saat itu terdapat lebih dari 10 juta orang dari berbagai umur telah terinfeksi virus ini.
Penyakit ini tersebar di berbagai wilayah di dunia dengan jumlah kasus tertinggi di Afrika Selatan. Di Indonesia sendiri, hepatitis D jarang ditemukan.
Dilansir dari WHO, diperkirakan ada 15 – 20 juta orang di dunia yang menjadi pembawa (carrier) HBV yang terinfeksi HDV.
Meski begitu, jumlah pengidap hepatitis D secara keseluruhan menurun berkat program vaksin hepatitis B sebagai cara mencegah penularan penyakit ini.
Virus penyebab hepatitis D adalah patogen yang tersusun atas HDV RNA dan antigen hepatitis delta (HDAg). Pada jenis virus hepatitis yang satu ini terdapat setidaknya 8 jenis genotip yang telah ditemukan.
HDV genotip 1 merupakan jenis virus yang paling sering diklaim sebagai penyebab hepatitis D di dunia, termasuk di Asia Tenggara. Meski begitu, karakteristik dari virus delta ini cukup berbeda dengan hepatitis lainnya.
VIrus delta hanya bisa menumpang pada hepatitis B untuk bereplikasi. Artinya, HDV baru akan aktif menginfeksi setelah HBV melewai masa inkubasinya. Hal ini yang membuat hepatitis D dibagi menjadi dua jenis infeksi, yaitu ko-infeksi dan superinfeksi.
Ko-infeksi terjadi ketika infeksi virus delta berlangsung bersamaan dengan infeksi HBV yang masih berada dalam fase akut (kurang dari 6 bulan). Gangguan kesehatan yang muncul akibat ko-infeksi beragam dan bersifat sedang sampai berat.
Ko-infeksi dapat mereda dengan sendirinya tanpa bantuan pengobatan. Namun, terdapat kemungkinan ko-infeksi akan berkembang menjadi penyakit hati serius, yaitu fulminant hepatitis.
Lain halnya dengan orang yang telah terjangkit hepatitis B kronis dan kemudian terkena hepatitis D, replikasi kedua virus ini akan menyebabkan superinfeksi.
Umumnya, superinfeksi memunculkan gejala yang cukup parah dalam waktu yang singkat. Infeksi ini juga memperparah gejala hepatitis B yang lebih dulu muncul.
Superinfeksi akan mempercepat perkembangan penyakit ini sehingga menimbulkan sejumlah komplikasi seperti sirosis dan kanker hati.
Bila infeksi virus hepatitis D telah berlangsung lama atau masuk dalam fase kronis, ada kemungkinan Anda berisiko mengalami fibrosis dan komplikasi, seperti:
Komplikasi dapat ditandai dengan peningkatan jumlah jaringan parut pada hati yang juga menunjukkan bahwa sebagian besar sel hati telah rusak.
Kerusakan sel hati dapat menyebabkan organ hati tak lagi mampu untuk bekerja.
Sebagai contoh, hati tidak lagi bekerja menghasilkan cairan empedu untuk mencerna makanan, menetralisir zat beracun, dan mengatur sirkulasi hormon dalam tubuh.
Umumnya, gejala hepatitis D tidak jauh berbeda dengan gejala hepatitis B, terutama yang muncul akibat ko-infeksi. Periode kemunculan gejala biasanya berlangsung sekitar 2 – 8 minggu setelah infeksi.
Gejala umum infeksi virus delta meliputi:
Sementara itu, gejala HDV akibat superinfeksi antara lain:
HDV hanya terdapat dalam darah dan cairan tubuh seperti sperma, cairan vagina, dan air liur.
Virus delta akan masuk ke dalam hati ketika darah atau cairan tubuh yang terkontaminasi virus ini masuk ke dalam jaringan tubuh melalui pembuluh darah atau kontak seksual.
Ada beberapa hal yang menjadi cara penularan virus hepatitis tipe D sebagai berikut.
Selain itu, virus delta pada bekas darah yang menempel pada alat pun juga bisa menjadi media penularan. Pasalnya, virus dapat masuk ke pembuluh darah melalui luka yang terbuka, baik pada permukaan kulit maupun gusi yang berdarah.
Orang paling berisiko terkena infeksi virus delta adalah orang yang terinfeksi hepatitis B. Meski begitu, ada beberapa kondisi yang membuat risiko terpapar virus delta meningkat yaitu sebagai berikut.
Hingga saat ini belum ada obat khusus untuk mengobati hepatitis D. Namun, pengobatan di bawah ini dipercaya dapat digunakan untuk menghambat perkembangan penyakit.
Salah satu cara mengatasi infeksi virus delta adalah menggunakan injeksi interferon alpha berdosis tinggi sebanyak 3 kali dalam seminggu. Pengobatan ini biasanya berlangsung 1 – 2 tahun, tergantung perkembangan penyakitnya.
Injeksi interferon alfa bekerja dengan mengembalikan kadar normal enzim tubuh. Obat ini juga membantu menghilangkan 70% virus delta di dalam tubuh.
Selain itu, pengobatan hepatitis ini ini juga membantu menghambat perkembangan penyakit untuk mencegah terjadinya komplikasi, seperti sirosis dan kanker hati.
Pegylated interferon alfa sebenarnya tidak mampu mengurangi jumlah virus dengan cepat. Itu sebabnya, metode pengobatan ini membutuhkan waktu agar semua virus di dalam tubuh mati.
Sejauh ini memang belum ada vaksin khusus untuk mencegah hepatitis D. Namun, Anda tetap bisa mengurangi risiko paparan virus delta dengan vaksin hepatitis B. Meski begitu, vaksin hanya akan efektif pada orang yang belum pernah terinfeksi virus hepatitis B.
Untungnya, ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menghindari berbagai faktor yang dapat meningkatkan risiko Anda mengalami kondisi ini seperti di bawah ini.
Bila Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut, silakan hubungi dokter untuk mendapatkan solusi yang tepat.
Catatan
Hello Health Group tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.
Ditinjau secara medis oleh
dr. Patricia Lukas Goentoro
General Practitioner · Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI)
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar