backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan
Konten

Hepatitis D

Ditinjau secara medis oleh dr. Patricia Lukas Goentoro · General Practitioner · Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI)


Ditulis oleh Fidhia Kemala · Tanggal diperbarui 14/01/2021

Hepatitis D

Definisi

Apa itu hepatitis D?

Hepatitis D (HDV) atau hepatitis delta adalah penyakit peradangan hati yang disebabkan oleh infeksi virus delta. Peradangan hati dapat menyebabkan pembengkakan yang dapat memengaruhi fungsi kerja hati.

Dibandingkan dengan penyakit hepatitis lainnya, HDV termasuk infeksi virus yang paling berbahaya.

Pasalnya, penyakit ini dapat menyerang pasien hepatitis B (HBV). Hal ini dikarenakan HDV adalah jenis virus RNA yang belum sempurna, sehingga membutuhkan HBV sebagai inang untuk bereplikasi.

Bila HDV dan HBV terjadi secara bersamaan, tentu Anda akan mengalami sejumlah gangguan fungsi hati yang serius. Hal ini berlaku terutama jika infeksi hepatitis B telah berlangsung dalam waktu yang lama, alias kronis.

Akibat pilihan pengobatan yang cukup terbatas, hepatitis D berisiko tinggi menimbulkan sejumlah komplikasi. Itu sebabnya, upaya pencegahan terhadap penyakit ini penting dilakukan untuk menghindari bahaya yang ditimbulkan.

Seberapa umum kondisi ini?

Hepatitis D ditemukan pertama kali pada 1977 dan sejak saat itu terdapat lebih dari 10 juta orang dari berbagai umur telah terinfeksi virus ini.

Penyakit ini tersebar di berbagai wilayah di dunia dengan jumlah kasus tertinggi di Afrika Selatan. Di Indonesia sendiri, hepatitis D jarang ditemukan.

Dilansir dari WHO, diperkirakan ada 15 – 20 juta orang di dunia yang menjadi pembawa (carrier) HBV yang terinfeksi HDV.

Meski begitu, jumlah pengidap hepatitis D secara keseluruhan menurun berkat program vaksin hepatitis B sebagai cara mencegah penularan penyakit ini.

Jenis

Virus penyebab hepatitis D adalah patogen yang tersusun atas HDV RNA dan antigen hepatitis delta (HDAg). Pada jenis virus hepatitis yang satu ini terdapat setidaknya 8 jenis genotip yang telah ditemukan.

HDV genotip 1 merupakan jenis virus yang paling sering diklaim sebagai penyebab hepatitis D di dunia, termasuk di Asia Tenggara. Meski begitu, karakteristik dari virus delta ini cukup berbeda dengan hepatitis lainnya.

VIrus delta hanya bisa menumpang pada hepatitis B untuk bereplikasi. Artinya, HDV baru akan aktif menginfeksi setelah HBV melewai masa inkubasinya. Hal ini yang membuat hepatitis D dibagi menjadi dua jenis infeksi, yaitu ko-infeksi dan superinfeksi.

Ko-infeksi

Ko-infeksi terjadi ketika infeksi virus delta berlangsung bersamaan dengan infeksi HBV yang masih berada dalam fase akut (kurang dari 6 bulan). Gangguan kesehatan yang muncul akibat ko-infeksi beragam dan bersifat sedang sampai berat. 

Ko-infeksi dapat mereda dengan sendirinya tanpa bantuan pengobatan. Namun, terdapat kemungkinan ko-infeksi akan berkembang menjadi penyakit hati serius, yaitu fulminant hepatitis.

Superinfeksi

Lain halnya dengan orang yang telah terjangkit hepatitis B kronis dan kemudian terkena hepatitis D, replikasi kedua virus ini akan menyebabkan superinfeksi.

Umumnya, superinfeksi memunculkan gejala yang cukup parah dalam waktu yang singkat. Infeksi ini juga memperparah gejala hepatitis B yang lebih dulu muncul. 

Superinfeksi akan mempercepat perkembangan penyakit ini sehingga menimbulkan sejumlah komplikasi seperti sirosis dan kanker hati. 

Komplikasi

Bila infeksi virus hepatitis D telah berlangsung lama atau masuk dalam fase kronis, ada kemungkinan Anda berisiko mengalami fibrosis dan komplikasi, seperti:

  • sirosis hati,
  • karsinoma, dan
  • gagal hati.
  • Komplikasi dapat ditandai dengan peningkatan jumlah jaringan parut pada hati yang juga menunjukkan bahwa sebagian besar sel hati telah rusak.

    Kerusakan sel hati dapat menyebabkan organ hati tak lagi mampu untuk bekerja.

    Sebagai contoh, hati tidak lagi bekerja menghasilkan cairan empedu untuk mencerna makanan, menetralisir zat beracun, dan mengatur sirkulasi hormon dalam tubuh.

    Tanda dan gejala

    Umumnya, gejala hepatitis D tidak jauh berbeda dengan gejala hepatitis B, terutama yang muncul akibat ko-infeksi. Periode kemunculan gejala biasanya berlangsung sekitar 2 – 8 minggu setelah infeksi.

    Gejala ko-infeksi

    Gejala umum infeksi virus delta meliputi:

    • hilang nafsu makan,
    • mual dan muntah,
    • kelelahan,
    • nyeri pada hati (di sisi kanan atas perut),
    • nyeri otot dan sendi, dan
    • kulit dan selaput mata menguning (penyakit kuning).
    Gejala superinfeksi

    Sementara itu, gejala HDV akibat superinfeksi antara lain: 

    • penyakit kuning (jaundice),
    • kelelahan,
    • mual dan muntah,
    • nyeri perut,
    • gatal pada kulit,
    • menurunnya konsentrasi,
    • sering mengantuk,
    • mengalami perubahan perilaku,
    • warna urine menjadi gelap,
    • perubahan warna feses menjadi pucat,
    • mudah mengalami perdarahan dan memar, serta
    • pembengkakan pada perut akibat asites

    Penularan dan faktor risiko

    Bagaimana penularan penyakit ini?

    HDV hanya terdapat dalam darah dan cairan tubuh seperti sperma, cairan vagina, dan air liur.

    Virus delta akan masuk ke dalam hati ketika darah atau cairan tubuh yang terkontaminasi virus ini masuk ke dalam jaringan tubuh melalui pembuluh darah atau kontak seksual. 

    Ada beberapa hal yang menjadi cara penularan virus hepatitis tipe D sebagai berikut.

    • Penggunaan jarum suntik yang tidak steril.
    • Penggunaan jarum untuk tato dan tindik yang digunakan bersama.
    • Proses transfusi darah.
    • Berhubungan seks tanpa alat kontrasepsi.
    • Saat proses persalinan dari ibu pada bayinya.
    • Penggunaan peralatan medis yang terkontaminasi virus.
    • Pemakaian alat rumah tangga yang terkontaminasi darah penderita. 

    Selain itu, virus delta pada bekas darah yang menempel pada alat pun juga bisa menjadi media penularan. Pasalnya, virus dapat masuk ke pembuluh darah melalui luka yang terbuka, baik pada permukaan kulit maupun gusi yang berdarah.

    Apa faktor yang meningkatkan risiko terkena kondisi ini?

    Orang paling berisiko terkena infeksi virus delta adalah orang yang terinfeksi hepatitis B. Meski begitu, ada beberapa kondisi yang membuat risiko terpapar virus delta meningkat yaitu sebagai berikut.

    • Berhubungan seks dengan penderita hepatitis D atau B.
    • Berhubungan intim dengan lebih dari satu orang tanpa kontrasepsi.
    • Melakukan transfusi darah secara rutin.
    • Pemakaian jarum suntik dan peratalan injeksi lainnya secara bersama-sama.
    • Berkunjung ke daerah yang mengalami wabah hepatitis D.
    • Riwayat penyakit ginjal, infeksi HIV, atau terkena diabetes.

    Pengobatan

    Hingga saat ini belum ada obat khusus untuk mengobati hepatitis D. Namun, pengobatan di bawah ini dipercaya dapat digunakan untuk menghambat perkembangan penyakit.

    Pegylated interferon alpha

    Salah satu cara mengatasi infeksi virus delta adalah menggunakan injeksi interferon alpha berdosis tinggi sebanyak 3 kali dalam seminggu. Pengobatan ini biasanya berlangsung 1 – 2 tahun, tergantung perkembangan penyakitnya.

    Injeksi interferon alfa bekerja dengan mengembalikan kadar normal enzim tubuh. Obat ini juga membantu menghilangkan 70% virus delta di dalam tubuh.

    Selain itu, pengobatan hepatitis ini ini juga membantu menghambat perkembangan penyakit untuk mencegah terjadinya komplikasi, seperti sirosis dan kanker hati.

    Pegylated interferon alfa sebenarnya tidak mampu mengurangi jumlah virus dengan cepat. Itu sebabnya, metode pengobatan ini membutuhkan waktu agar semua virus di dalam tubuh mati.

    Pencegahan

    Sejauh ini memang belum ada vaksin khusus untuk mencegah hepatitis D. Namun, Anda tetap bisa mengurangi risiko paparan virus delta dengan vaksin hepatitis B. Meski begitu, vaksin hanya akan efektif pada orang yang belum pernah terinfeksi virus hepatitis B.

    Untungnya, ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menghindari berbagai faktor yang dapat meningkatkan risiko Anda mengalami kondisi ini seperti di bawah ini.

    • Berhubungan seks aman dengan penderita hepatitis.
    • Memakai jarum suntik steril, terutama saat menjalani pengobatan.
    • Menghindari penggunaan silet, sikat gigi, dan alat cukur bersama dengan orang lain.
    • Rutin mencuci tangan, terutama setelah berkontak langsung dengan darah.
    • Menggunakan pelindung atau sarung tangan bagi petugas kesehatan.

    Bila Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut, silakan hubungi dokter untuk mendapatkan solusi yang tepat.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Patricia Lukas Goentoro

    General Practitioner · Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI)


    Ditulis oleh Fidhia Kemala · Tanggal diperbarui 14/01/2021

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan