backup og meta
Kategori
Cek Kondisi

1

Tanya Dokter
Simpan

Mengenal Neurotoksin, Zat yang Dapat Merusak Sistem Saraf

Ditinjau secara medis oleh dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H. · General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Aprinda Puji · Tanggal diperbarui 07/09/2023

    Mengenal Neurotoksin, Zat yang Dapat Merusak Sistem Saraf

    Tubuh Anda tidak dapat bekerja dengan baik tanpa adanya sistem saraf pusat, yang terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang, serta sistem saraf tepi. Seiring waktu, kedua sistem ini bisa mengalami masalah karena faktor penuaan atau adanya zat asing yang merusak seperti neurotoksin.

    Apa itu neurotoksin?

    Neurotoksin (neurotoxin) adalah zat alami atau campuran yang bisa mengganggu dan merusak fungsi sistem saraf pusat dan atau sistem saraf tepi. Sebutan lain untuk zat ini adalah racun saraf.

    Perlu Anda ketahui sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi menggunakan sel saraf (neuron) untuk mengirimkan sinyal ke seluruh tubuh. Sinyal ini akan mengalir di antara otak, kulit, organ, kelenjar, dan otot Anda.

    Berbagai jenis neuron mengirimkan sinyal yang berbeda. Neuron motorik memberi tahu otot Anda untuk bergerak. Sementara neuron sensorik mengambil informasi dari indra dan mengirim sinyal ke otak Anda. Jenis neuron lain mengontrol hal-hal yang dilakukan tubuh secara otomatis, seperti bernapas, menggigil, detak jantung teratur, dan mencerna makanan.

    Melihat fungsinya yang sangat kompleks, sistem saraf tentu sangat penting bagi tubuh Anda. Jika sistem ini mengalami kerusakan atau gangguan karena adanya zat beracun, maka akan timbul masalah kesehatan.

    Ada banyak jenis dari neurotoksin yang menyerang sistem saraf seperti di bawah ini.

  • Botolinum toksin. Zat beracun ini menyerang sistem saraf dan dihasilkan oleh bakteri Clostridium botulinum. Biasanya racun masuk ke tubuh lewat makanan yang terkontaminasi, atau makanan yang tidak dimasak hingga matang sehingga bakteri masih hidup. Pada kasus botulisme kecil, racun memasuki tubuh lewat luka yang terinfeksi.
  • Toksin yang dihasilkan dari binatang. Selain bakteri, racun yang menyerang sistem saraf juga bisa berasal dari gigitan atau sengatan binatang, seperti kalajengking, lebah, ular, atau laba-laba.
  • Jamur. Beberapa jamur mampu menghasilkan zat beracun yang disebut mikotoksin. Biasanya, orang akan terpapar racun jamur yang berkembang pada dinding bangunan yang lembap.
  • Asap pembakaran. Polusi udara, termasuk asap pembakaran hutan bisa meingkatkan risiko terjadinya gangguan pada otak. Sebuah studi tahun 2017 pada jurnal Circulation menunjukkan bahwa zat beracun dalam polutan di udara yang terhirup dapat masuk ke dalam aliran darah dan bisa menuju otak.
  • Bagaimana dampak neurotoksin terhadap kesehatan?

    Bahaya menahan napas

    Berdasarkan laporan WHO, botolinum toksin dapat memengaruhi sistem saraf. Seseorang yang keracunan awalnya akan mengalami kelelahan diikuti vertigo, mulut kering dan kesulitan menelan, serta gangguan pencernaan.

    Dalam kasus parah, keracunan botolinum toksin bisa menyebabkan gagal napas. Munculnya gejala tidak disebabkan oleh bakteri, melainkan racun yang dihasilkan oleh bakteri tersebut.

    Gejala biasanya muncul dalam 12 hingga 36 jam setelah terpapar. Kasus keracunan ini cukup rendah, tapi angka kematiannya cukup tinggi. Oleh karena itu, pengobatan perlu ditangani segera.

    Sementara racun yang dihasilkan oleh jamur dapat menyebabkan peradangan, yang awalnya menimbulkan masalah pernapasan. Pada kasus kronis, peradangan di otak bisa menimbulkan gangguan kognitif jangka panjang. Salah satunya delirium, yakni kondisi ketika seseorang mengalami kebingungan parah dan penurunan kesadaran terhadap lingkungan sekitar.

    Kemudian, neurotoksin yang dihasilkan dari pembakaran hutan dapat menyebabkan hormon stres yang tinggi. Partikel beracun ini awalnya terhirup ke paru-paru dan mengalir dalam darah dan mencapai otak, bisa menimbulkan peradangan. Dampak buruknya, bisa mengubah struktur otak dan menyebabkan masalah neurologis, terutama pada anak-anak.

    Terakhir, racun yang dihasilkan dari binatang, salah satunya ular. Racun akibat gigitan ular dapat menyerang sistem saraf secara langsung dengan menimbulkan masalah penglihatan, mati rasa, kesulitan bicara, dan menghentikan otot-otot pernapasan.

    Cara menghadapi dampak neurotoksin

    Pakai oksigen

    Tindakan untuk mengatasi keracunan pada sistem saraf dapat berbeda-beda, tergantung dari asal racun dan gejala yang ditimbulkan.

    Keracunan yang disebabkan oleh Clostridium botulinum dapat diobati dengan pemberian antitoksin. Kasus botulisme yang parah memerlukan perawatan suportif, terutama penggunaan ventilator, yang mungkin diperlukan selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan.

    Antibiotik tidak diperlukan, kecuali dalam kasus botulisme yang terjadi dari luka terbuka. Vaksin botulisme ada, tetapi jarang digunakan karena efektivitasnya belum sepenuhnya dievaluasi dan telah menunjukkan efek samping negatif.

    Pada seseorang yang keracunan bisa ular, akan diberikan obat untuk meningkatkan sistem imun, dan kadang ditambah dengan epinefrin jika menunjukkan reaksi alergi. Kemudian, pemantauan kondisi akan dilakukan, baik untuk menjaga luka tetap bersih dan pemberian suntik tetanus. Antibiotik mungkin juga diresepkan.

    Sementara pada kasus keracunan asap pembakaran, pengobatan lini pertama adalah dengan pemberian oksigen yang dapat diterapkan dengan tabung hidung, masker, atau melalui tabung ke tenggorokan. Bila pasien memiliki tanda dan gejala masalah saluran napas bagian atas, kemungkinan besar mereka akan diintubasi.

    Berbeda dengan orang yang keracunan jamur, tim medis biasanya akan mengatasi kondisi ini dengan memberikan obat antihistamin, kortikosteroid, dan obat tambahan lainnya untuk meringankan peradangan.

    Selain pengobatan yang disebutkan di atas, dokter mungkin akan merekomendasikan perawatan medis lainnya sesuai dengan tingkat keparahan yang dialami pasien.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

    General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


    Ditulis oleh Aprinda Puji · Tanggal diperbarui 07/09/2023

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan