Penyakit hepatitis adalah kondisi yang menyebabkan peradangan hati. Kebanyakan pasien hepatitis B dan C menderita kasus kronis, sehingga membutuhkan perawatan dari dokter. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko komplikasi, seperti kegagalan fungsi hati. Lantas, apa saja pilihan obat hepatitis yang diresepkan dokter?
Pilihan obat hepatitis berdasarkan jenisnya
Sebenarnya, gejala hepatitis dapat dikendalikan dengan cara-cara sederhana, seperti lebih banyak istirahat dan menambah asupan cairan. Namun, metode rumahan ini hanya efektif untuk perawatan hepatitis akut.
Sementara itu, pasien hepatitis kronis memerlukan terapi obat-obatan. Obat-obatan di bawah ini bertujuan untuk mengatasi hepatitis dengan menghentikan infeksi HCV dan menghambat kerusakan hati.
Meski begitu, cara mengobati hepatitis yang satu ini tidak boleh dilakukan sembarangan. Dokter nantinya akan meresepkan berbagai obat berdasarkan jenis hepatitis yang Anda alami.
1. Hepatitis A
Hepatitis A adalah jenis hepatitis yang tergolong ringan. Artinya, tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit liver yang satu ini. Penderita akan sembuh sendiri. Pasalnya, tubuh akan membersihkan virus ini dengan sendirinya.
Pada kebanyakan kasus hepatitis A, organ hati akan pulih dalam enam bulan tanpa kerusakan yang bertahan lama. Itu sebabnya, pasien hepatitis A akan berfokus pada pengendalian gejala.
Sebagai contoh, pasien hepatitis A yang mengalami demam mungkin akan diberikan obat penurun demam, seperti paracetamol.
Cara mengobati hepatitis A sisanya mungkin lebih banyak beristirahat dan menghindari faktor risiko, seperti menghindari jajanan yang kurang bersih, mencuci tangan sebelum makan dan lain-lain.
2. Hepatitis B
Bila hepatitis A akan hilang dengan perawatan sederhana, tidak bagi hepatitis B, terutama yang sudah memasuki tahap kronis. Pasien hepatitis B umumnya membutuhkan pengobatan selama sisa hidup mereka. Oleh karena itu, sebaiknya lakukanlah imunisasi hepatitis B sedari bayi untuk mencegah timbulnya penyakit ini di kemudian hari. Selain itu, berhubungan seks yang aman serta menghindari pemakaian jarum suntik secara bersama-sama dapat menghindari penyakit ini.
Pengobatan hepatitis B ini bertujuan untuk mengurangi risiko komplikasi penyakit liver, seperti sirosis, dan mencegah penularan infeksi kepada orang lain. Dokter biasanya akan meresepkan obat untuk mengobati hepatitis B, seperti:
Obat antivirus
Salah satu cara mengatasi hepatitis B adalah menggunakan obat antivirus. Penggunaan obat antivirus dapat membantu melawan virus dan menghambat kerusakan hati. Dilansir dari Hepatitis B Foundation, ada beberapa obat yang digunakan untuk mengobati hepatitis B, antara lain:
- Entecavir
- Tenofovir
- Lamivudine
- Adefovir
- Telbivudine
Injeksi interferon
Selain obat-obatan antivirus, injeksi interferon juga digunakan untuk menyembuhkan hepatitis B. Obat berbentuk suntikan ini merupakan zat buatan yang sebenarnya diproduksi tubuh untuk melawan infeksi.
Injeksi interferon alfa-2b (intron A) biasanya dipakai untuk pasien yang lebih muda dan ingin menghindari perawatan jangka panjang. Perlu diingat bahwa obat-obatan ini tidak boleh digunakan selama kehamilan.
3. Hepatitis C
Bagi Anda yang mengalami hepatitis C dan sudah berlangsung selama lebih dari 6 bulan, perawatan dari dokter mungkin sudah dibutuhkan. Beberapa orang yang mengalami hepatitis ini tidak sadar telah terinfeksi virus beberapa tahun yang lalu.
Bila jaringan parut pada hati (sirosis) sudah parah, dokter akan merekomendasikan obat untuk mengatasi hepatitis, seperti obat antivirus dan protease inhibitor.
Obat antivirus analog nukleosida
Salah satu obat-obatan antivirus yang digunakan untuk mengatasi hepatitis C adalah analog nukleosida. Obat ini membantu mencegah penyebaran infeksi dengan menghentikan pembentukan nukleosida pada sel yang terinfeksi.
Ribavirin adalah satu-satunya obat yang digunakan untuk mengobati infeksi HCV pada kelas ini. Meski begitu, Ribavirin membutuhkan kombinasi dengan injeksi interferon demi melawan infeksi.
Anda perlu berhati-hati saat menggunakan obat ini. Pasalnya, Ribavirin dapat memicu risiko cacat lahir dan menekan pertumbuhan pada anak-anak. Risiko ini dapat dialihkan dari pria kepada pasangan wanitanya pada saat pembuahan.
Protease inhibitor
Protease inhibitor adalah obat hepatitis oral yang bekerja dengan mencegah penyebaran infeksi. Obat ini juga memperlambat produksi virus dalam tubuh. Jenis obat-obatan protease inhibitor meliputi:
- Telaprevir
- Boceprevir
- Paritaprevir
Ketiga obat tersebut hanya digunakan bersamaan dengan terapi infeksi HCV lainnya. Sebagai contoh, Telaprevir diminum dua kali sehari, sementara boceprevir diminum tiga kali sehari.
Efek samping paling umum dari obat ini adalah anemia, diare, kelelahan, sakit kepala, mual, dan muntah.
Polymerase inhibitor dan terapi kombinasi obat
Polymerase inhibitor didesain untuk mencegah terjadinya pembentukan virus hepatitis C. Obat yang termasuk polymerase inhibitor sovaldi ini bekerja dengan menghambat RNA polymerase yang dipakai virus hepatitis C untuk mereplikasi RNA.
Obat ini juga terkadang dikombinasikan dengan ribavirin selama 24 minggu. Perlu diingat bahwa polymerase inhibitor harus digunakan dengan makanan dan tak boleh dihancurkan. Efek samping yang umum terjadi meliputi:
- mual,
- gatal,
- insomnia, dan
- rasa lemah.
4. Hepatitis D
Meski jarang terjadi, penyakit hepatitis D lebih berbahaya dibandingkan jenis hepatitis lainnya. Namun, virus hepatitis D hanya bisa mengganggu fungsi hati pada pasien hepatitis B.
Hepatitis D pun hingga saat ini belum memiliki obat-obatan yang khusus untuk melawan infeksi virus penyebabnya. Namun, pasien dengan penyakit hepatitis ini akan diberikan obat yang tidak jauh berbeda dengan jenis hepatitis lainnya.
Interferon alfa (IFN-α)
Interferon alfa adalah salah satu obat hepatitis D yang menunjukkan hasil yang tampak efektif. Bahkan, hasil IFN-α juga terlihat lebih manjur pada pasien hepatitis D kronis dibandingkan pada pasien sirosis.
Walaupun demikian, obat ini memiliki efek jangka pendek, sehingga perlu diberikan setiap hari atau 3 kali dalam seminggu selama 6 bulan hingga 1 tahun. Sayangnya, interferon alfa juga mulai ditinggalkan, termasuk di Indonesia.
Hal ini dikarenakan pengobatan hepatitis yang satu ini menimbulkan efek samping, tetapi tidak cukup efektif untuk melawan infeksi. Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan interferon alfa antara lain:
- mual dan muntah,
- kelelahan dan demam,
- anemia dan sakit kepala,
- darah tinggi, dan
- gangguan kecemasan hingga depresi.
Bila penyakit ini sudah memasuki stadium akhir, dokter mungkin akan merekomendasikan transplantasi hati sebagai cara mengobati hepatitis terakhir.
5. Hepatitis E
Mirip dengan hepatitis A, hepatitis E dapat sembuh dengan sendirinya dengan perawatan sederhana di rumah. Selain itu, belum ada obat khusus untuk melawan infeksi virus hepatitis E.
Walaupun demikian, infeksi virus hepatitis E yang sudah masuk kategori kronis membutuhkan perawatan dari dokter, seperti:
- Ribavirin, dan
- obat antivirus lainnya.
Bagaimana dengan obat alternatif untuk hepatitis?
Kemajuan teknologi saat ini memungkinkan para ahli untuk meneliti berbagai tanaman sebagai pengobatan herbal, termasuk temulawak. Faktanya, banyak obat alternatif yang digunakan untuk meredakan gejala penyakit liver, termasuk hepatitis.
Walaupun terdapat embel-embel aman, Anda perlu memeriksakan diri ke dokter sebelu mengonsumsinya. Pasalnya, obat-obatan ini nantinya akan diproses oleh hati, sehingga bisa saja menjadi bumerang bagi pasien penyakit liver.
Beberapa obat alternatif dapat merusak hati dan menyebabkan kondisi semakin parah. Itu sebabnya, selalu diskusikan dengan dokter sebelum menggunakan pengobatan alternatif untuk menghindari risiko tersebut.
Bila obat dan perawatan dari dokter tidak memperlihatkan hasil yang maksimal, dokter mungkin akan merekomendasikan transplantasi hati. Namun, prosedur cangkok hati ini memerlukan syarat dan kondisi tertentu sebelum dilakukan.
Bila Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut, silakan hubungi dokter untuk mendapatkan solusi yang tepat.
[embed-health-tool-bmr]