Anak sudah mulai mempelajari banyak hal sejak ia berada di perkembangan balita. Namun, orangtua juga perlu memperhatikan ketika ia mengalami kondisi seperti kesulitan mengeja hingga membaca. Bukan karena malas, ada kemungkinan anak mengalami disleksia atau gangguan ketika membaca. Berikut penjelasan lengkap dari gejala, penyebab, hingga cara mengatasi disleksia pada anak.
Apa itu disleksia?
Dysleksia atau disleksia adalah salah satu jenis gangguan belajar yang membuat anak kesulitan untuk membaca, menulis, mengeja, atau berbicara dengan jelas.
The International Dyslexia Association menyatakan bahwa disleksia adalah salah satu penyakit saraf pada anak. Hal ini ditandai ketika ia kesulitan mengenali huruf, kata, hingga kemampuan mengeja yang buruk.
Akibatnya, gangguan belajar ini bisa mengakibatkan masalah dalam memahami kosakata, kalimat, membaca, dan memahami bahan bacaan.
Contohnya saat membaca, indra penglihatan akan mengirimkan sinyal dari gambar atau huruf yang mereka lihat dan dengar ke sistem saraf pusat, yaitu otak.
Kemudian, otak akan menghubungkan huruf atau gambar dalam urutan yang benar hingga terbentuk menjadi kata, kalimat, atau paragraf yang dapat dibaca.
Namun, anak dengan disleksia mengalami kesulitan untuk mencocokkan huruf dan gambar tersebut. Maka dari itu, hal ini akan membuat ia sulit mempelajari hal selanjutnya.
Walaupun menyebabkan gangguan belajar, kondisi ini nyatanya sama sekali tidak memengaruhi atau berhubungan dengan tingkat kecerdasan anak.
Seberapa umum kondisi disleksia?
Disleksia paling banyak terjadi pada anak-anak atau pada remaja hingga orang dewasa yang baru terdeteksi mengalaminya.
Dikutip dari Mayo Clinic, tanda-tandanya pun berbeda sesuai dengan usia serta tingkat keparahan yang dialami.
Gangguan belajar ini akan muncul seumur hidup dan tidak bisa disembuhkan. Meski begitu, dysleksia bisa dikelola.
Untuk itu, tidak ada kata terlambat bagi pengidap masalah belajar yang satu ini untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak.
Tanda dan gejala disleksia
Gangguan baca tulis ini biasanya akan sulit dikenali apabila anak belum mulai sekolah.
Pasalnya, gangguan ini akan benar-benar terlihat di masa perkembangan anak saat ia mulai belajar membaca.
Akan tetapi, sebenarnya ada beberapa petunjuk awal yang bisa orangtua sadari.
Berikut berbagai tanda dan gejala disleksia berdasarkan tahapan usianya:
Ciri-ciri disleksia pada usia prasekolah
Anak usia prasekolah yang mengalami disleksia biasanya mengalami gejala, seperti:
- Anak terlambat bicara.
- Lambat dalam mempelajari kata-kata baru.
- Kesulitan membentuk kata dengan benar, misalnya terbalik-balik atau sulit memahami kata yang mirip.
- Kesulitan untuk mengingat huruf, angka, warna.
Gejala disleksia pada usia sekolah
Di usia sekolah, biasanya tandanya akan terlihat semakin jelas seperti:
- Kemampuan membaca yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak seusianya.
- Kesulitan memproses dan memahami apa yang didengarnya.
- Sulit untuk menemukan kata atau kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan.
- Sulit mengingat urutan kejadian.
- Tidak bisa mengucapkan kata yang tidak dikenal.
- Menghabiskan waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan tugas membaca atau menulis.
- Sering menghindari kegiatan membaca.
Gejala disleksia pada usia remaja dan dewasa
Disleksia juga kerap tidak terdeteksi sampai anak berusia remaja bahkan dewasa. Biasanya gejalanya pun mirip dengan yang muncul pada anak.
Adapun berbagai ciri-ciri disleksia pada usia remaja dan dewasa, yaitu:
- Kesulitan membaca dengan suara lantang.
- Kemampuan membaca dan menulis yang lambat.
- Memiliki masalah dalam mengeja.
- Selalu menghindari kegiatan yang berhubungan dengan membaca.
- Sering kali salah saat mengucapkan nama atau kata-kata.
- Sulit memahami idiom, misalnya ringan tangan, keras kepala, dan sebagainya.
- Menghabiskan waktu cukup lama untuk menyelesaikan tugas membaca atau menulis.
- Kesulitan menghafal dan meringkas sebuah cerita.
- Kesulitan belajar bahasa asing.
Selain itu, secara umum biasanya anak yang mengalami dyslexia saat remaja akan terlihat:
- Depresi saat belajar.
- Menarik diri dari lingkungannya.
- Kehilangan minat untuk sekolah dan belajar.
Hal-hal ini kerap membuat anak yang memiliki gangguan belajar ini dicap sebagai pemalas.
Padahal, ia mengalami gangguan baca tulis yang mungkin tak diketahui oleh orangtua dan gurunya. Akibatnya, anak yang sudah kesulitan dalam belajar ini tak jarang menyerah.
Untuk itu, orangtua perlu peka terhadap berbagai tanda dan gejala disleksia baik di masa anak-anak maupun di fase perkembangan remaja.
Jika anak mengalami berbagai tanda yang telah disebutkan, jangan ragu untuk membawanya ke dokter, khususnya neurolog dan psikolog agar segera ditangani.
Penyebab disleksia pada anak
Hal yang perlu diketahui orangtua adalah bahwa disleksia bukanlah penyakit. Ini merupakan kondisi anak sejak lahir dan sering terjadi dalam keluarga.
Dikutip dari Kids Health, penelitian telah menunjukkan bahwa dysleksia atau kesulitan membaca terjadi karena ada perbedaan dari cara otak memproses informasi.
Secara garis besar, penyebab penyakit disleksia pada anak terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Genetik
Penyebab disleksia yang paling umum adalah cacat pada gen DCD2 dan biasanya diturunkan dari anggota keluarga.
Kondisi ini ini bermula saat cerebrum atau bagian otak yang mengatur aktivias berpikir, membaca, dan bahasa tidak berfungsi dengan baik.
2. Kondisi lainnya
Selain faktor keturunan, penyebab disleksia adalah gangguan yang dialami anak setelah dilahirkan seperti cedera otak atau trauma lainnya.
Berikut beberapa faktor lainnya yang bisa menjadi penyebab kondisi ini, seperti:
- Bayi lahir secara prematur atau berat badan rendah.
- Paparan nikotin, obat, alkohol, atau infeksi selama kehamilan.
- Kelainan pada struktur otak yang berperan dalam kegiatan mengolah kata dan berpikir.
Apa saja jenis dari disleksia?
Gangguan belajar ini dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, yaitu:
- Fonological dyslexia (pendengaran): Kesulitan mengeja sebuah kata menjadi susunan huruf serta menuliskan kata-kata yang didengar.
- Surface dyslexia: Tidak mampu mengenali kata sehingga sulit diingat dan dipelajari.
- Rapid naming deficit: Tidak mampu menyebutkan angka maupun huruf yang dilihat.
- Double deficit dyslexia: Tidak mampu memisahkan suara untuk menyebutkan huruf dan angka.
- Visual dyslexia: Kondisi yang ditandai kesulitan untuk memaknai kata yang dilihat.
Anda perlu memperhatikan jenis gangguan belajar ini dan manakah yang dialami si kecil sehingga bisa menjelaskannya kepada dokter.
Apa saja efek yang mungkin dirasakan anak?
Disleksia sering kali luput dari pengawasan orangtua. Bahkan, ada anak yang tidak menyadari memiliki penyakit ini hingga dewasa.
Biasanya anak dengan dyslexia mengalami berbagai kondisi seperti:
1. Proses belajar yang bermasalah
Membaca dan menulis adalah keterampilan dasar yang harus dikuasai seseorang. Bukan hanya untuk belajar saja, tetapi juga penting untuk kehidupan dewasa nanti.
Anak juga bisa tidak naik kelas karena tertinggal banyak pelajaran. Ketika dewasa, pekerjaan yang bisa dilakukan pun terbatas.
2. Masalah sosial
Tanpa perawatan, kondisi ini bisa membuat anak jadi minder dengan teman-temannya sehingga mengganggu perkembangan sosial emosional anak.
Selain itu, anak akan cenderung menarik diri dari lingkungan, memiliki masalah dalam berperilaku, cemas, dan lebih agresif.
3. Kesehatan mental jadi lebih buruk
Anak dengan kondisi ini berisiko lebih tinggi mengalami gangguan ADHD. Bila anak mengidap ADHD yang membuat perhatian dan perilaku hiperaktifnya sulit dikontrol, disleksia bisa semakin sulit untuk diatasi.
Kapan waktunya konsultasi ke dokter?
Belajar mengenal huruf, membaca, mengeja, menulis, dan merangkai kata biasanya sudah dipelajari oleh anak-anak prasekolah.
Kemampuannya akan semakin terasah setelah memasuki sekolah dasar.
Jika Anda melihat tanda-tanda anak tidak dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik, sebaiknya mulai perlu waspada.
Pada umumnya, anak dengan kondisi ini biasanya tidak dapat memahami dasar-dasar dari pelajaran yang seharusnya dimengerti oleh anak seusianya.
Untuk itu, segera konsultasikan dengan dokter atau psikolog jika Anda merasa khawatir dengan perkembangan si kecil.
Bagaimana disleksia pada anak didiagnosis?
Untuk mendapatkan diagnosis yang tepat terkait penyakit disleksia pada anak, Anda harus mendatangi sekolah dan menanyakan perkembangan belajar anak.
Saat konsultasi ke dokter, biasanya ada beberapa tes yang harus anak lakukan, seperti:
- Tes kemampuan berbicara misalnya tanya jawab atau menceritakan kembali sebuah kejadian.
- Tes pengenalan huruf, kata, atau angka.
- Tes pemahaman makna kata dan isi bacaan.
- Tes mengeja kata dan menulis kata.
- Tes psikologi dan kesehatan otak.
Selama proses penilaian, pemeriksa harus mengesampingkan kondisi atau penyebab lain yang membuat anak mengalami kesulitan dalam belajar.
Berbagai kondisi lain ini misalnya masalah penglihatan, gangguan pendengaran, atau kurang jelasnya instruksi saat tes dilakukan.
Selain itu, dokter juga akan meninjau kembali riwayat penyakit pada keluarga.
Apa saja pilihan pengobatan untuk dysleksia?
Kondisi ini mungkin akan sulit untuk didiagnosis dan diatasi dengan sempurna.
Maka dari itu, agar pengobatan berhasil dan mengalami kemajuan, diperlukan dukungan baik dari sekolah maupun orangtua.
Berikut berbagai perawatan dan terapi yang biasanya digunakan untuk mengobati disleksia pada anak, seperti:
1. Stimulasi edukasi
Anak yang memiliki disleksia biasanya akan diajarkan dengan pendekatan dan teknik khusus.
Di sekolah, guru bisa menggunakan teknik yang melibatkan pendengaran, penglihatan, dan sentuhan untuk meningkatkan keterampilan membacanya.
Lewat cara ini, anak akan dibantu untuk menggunakan beberapa indra sekaligus untuk belajar, seperti mendengarkan materi yang telah direkam sambil menulis.
Selain itu, anak juga akan diajarkan untuk mempraktikkan gerakan mulut saat bersuara dan mengucap kata tertentu.
Tak hanya itu, anak juga akan belajar dengan bantuan flash cards untuk meningkatkan perkembangan kognitif anak.
Berbagai teknik ini biasanya akan berfokus untuk membantu anak dalam:
- Belajar mengenali suara dalam kata yang diucapkan.
- Memahami bahwa huruf mewakili bunyi dan menjadi unsur pembangun kata.
- Memahami apa yang sedang dibacanya.
- Membaca dengan suara lantang untuk menciptakan ketepatan, kecepatan, dan kelancaran.
- Menggabungkan huruf untuk membuat kata dan kalimat yang lebih kompleks.
Anak dengan gangguan belajar yang satu ini juga biasanya akan diberikan perpanjangan waktu ujian sehingga bisa menyelesaikannya dengan lengkap.
Hal ini juga bisa dilakukan untuk melihat kemampuan belajarnya selama ini.
2. Menggunakan bantuan teknologi
Terapi disleksia bisa dengan bantuan teknologi dilakukan untuk mempermudah pembelajaran dan pekerjaan pada remaja juga orang dewasa.
Pasalnya, penggunaan komputer ini biasanya cenderung lebih memudahkan jika dibandingkan dengan buku.
Program pengolah kata misalnya bisa digunakan untuk membantu memeriksa ejaan secara otomatis sehingga bisa meminimalisir kesalahan dalam tulisan.
Selain itu, progam text to speech memungkinkan komputer untuk membaca teks seperti yang tertera di layar. Tujuannya, untuk melatih indra penglihatan dan pendengaran.
Anda juga bisa menyarankan anak menggunakan perekam digital dalam perkuliahan.
Kemudian, rekaman dapat didengarkan kembali di rumah sambil membaca catatan yang telah ditulis.
3. Mendukung anak untuk terus belajar membaca
Mengajari anak untuk membaca bukan hanya peran bagi pengajar, tetapi juga Anda sebagai orangtua.
Jadi, akan lebih baik jika Anda juga ikut mendukung anak untuk terus berlatih membaca, misalnya:
- Menyediakan waktu untuk membaca buku bersama.
- Pilih buku-buku bacaan yang disukai anak.
- Melatih anak untuk membaca buku dengan bersuara, bukan di dalam hati.
- Bermain tebak kata setelah selesai membaca buku.
- Berikan rasa nyaman dan menyenangkan bagi anak saat membaca buku bersama supaya tidak bosan.
Semakin sering anak berlatih membaca, semakin meningkat juga kemampuannya.
4. Menunjukkan perhatian dan kasih sayang
Agar anak tetap semangat untuk belajar, Anda harus menunjukkan perhatian dan kasih sayang. Caranya mudah, yaitu dengan memuji atau merayakan setiap kemajuannya dalam belajar.
Kemudian, bantu anak untuk memahami kondisinya. Dengan begitu, anak tidak akan merasa dirinya lebih buruk atau tidak beruntung dibandingkan teman-temannya.
Ini penting guna membangun kepercayaan diri anak untuk bersosialisasi dengan orang lain agar tidak terjadi gangguan emosional pada anak.
Tidak hanya itu saja, tetap beri anak kebebasan untuk melakukan berbagai hal yang disukainya seperti melukis, bermain bola, atau bermain musik.
[embed-health-tool-vaccination-tool]