Jeda waktu tersebut saya manfaatkan untuk mengatasi trauma akibat kehilangan sebelumnya. Saya dan suami pun senantiasa saling menguatkan sebelum memulai kembali program kehamilan.
Kali kedua terbaring di meja operasi karena hamil di luar kandungan

Setelah satu tahun masa pemulihan, saya dan suami merasa telah cukup sehat secara mental untuk memulai program kehamilan. Kehamilan kedua datang dengan cepat, tapi sayangnya pergi dengan cepat pula.
Saya dinyatakan mengalami blighted ovum alias kehamilan kosong. Kegagalan berikutnya yang membuat duka di hati semakin dalam dan membuat saya menunda sementara waktu program kehamilan berikutnya.
Saya kembali menjalani masa pemulihan, baik secara fisik maupun mental. Saya tahu bahwa upaya saya belum selesai. Tak lama setelah masa pemulihan usai, saya kembali hamil.
Kegembiraan saya silih berganti dengan rasa khawatir. Saya sering mengalami flek. Kondisi tersebut saya sampaikan kepada dokter kandungan termasuk riwayat kehamilan saya selama ini.
Kekhawatiran itu mewujud nyata. Cobaan kembali datang pada kehamilan saya ini. Sepulang dari dokter, saya jatuh pingsan di lift rumah sakit. Saat itu usia kehamilan saya masih dalam trimester pertama. Saya kembali mengalami perdarahan akibat kehamilan ektopik untuk kedua kalinya.
Setelah kehamilan ektopik pertama, dokter menganjurkan agar saya melakukan hidrotubasi atau pengecekan saluran tuba falopi. Namun, usai masa pemulihan itu saya tak kunjung melakukan pemeriksaan hidrotubasi.
Saya merasa belum siap menerima kenyataan jika hasil tes hidrotubasi tersebut menyatakan bahwa saluran tuba falopi saya tak lagi bisa digunakan. Saya takut teramat takut. Apalagi tak lama setelah masa pemulihan pertama, saya kembali dinyatakan hamil saat itu.
Setelah kegagalan berulang ini, saya sadar bahwa kondisi saya yang tinggal memiliki satu saluran tuba falopi membuat saya seharusnya lebih berhati-hati dalam merencanakan kehamilan.
Dua kali terbaring di meja operasi untuk mengangkat calon bayi yang tak terselamatkan membuat saya bertekad untuk semakin mempersiapkan fisik dengan baik.
Setelah kehamilan ektopik kedua ini saya akhirnya mengikuti anjuran dokter untuk menjalani pemeriksaan saluran tuba falopi atau hidrotubasi.
Sebisa mungkin saya menguatkan hati untuk menerima kemungkinan terburuk, misalnya jika satu saluran tuba falopi saya yang tersisa ini bermasalah.
Jika hal tersebut terjadi, mungkin program bayi tabung akan menjadi opsi untuk dipertimbangkan.
Syukur alhamdulillah ternyata hasil hidrotubasi tak seburuk bayangan saya. Satu saluran tuba falopi yang saya miliki masih dalam kondisi baik dan hanya mengalami sedikit pembengkakan.
Untuk mengatasi pembengkakan tersebut, saya melakukan terapi diathermy dan juga mendapat resep obat yang harus diminum selama terapi.
Saya tak ingin kembali mengalami kehamilan ektopik seperti dua kali pengalaman sebelumnya.
Usai menjalani terapi ini saya kembali hamil. Tak terjadi masalah yang berarti pada kehamilan kali ini. Akhirnya tiga tahun setelah kehamilan ektopik yang pertama, saya dapat melahirkan putri pertama dengan sehat pada tengah tahun 2019 lalu.
Siwi Listya bercerita untuk pembaca Hello Sehat.
Memiliki kisah atau pengalaman kehamilan yang menarik dan inspiratif? Mari berbagi cerita bersama para orang tua lain di sini.