backup og meta
Kategori
Tanya Dokter
Simpan
Cek Kondisi

Perjuangan Dua Kali Kehamilan Ektopik dan Saluran Tuba yang Pecah

Ditinjau secara medis oleh dr. Andreas Wilson Setiawan · General Practitioner · None


Ditulis oleh Ulfa Rahayu · Tanggal diperbarui 22/06/2021

    Perjuangan Dua Kali Kehamilan Ektopik dan Saluran Tuba yang Pecah

    Sudah tiga hari perut saya kembung. Rasanya penuh, kencang, dan sesak. Namun, menurut dokter kandungan, hal itu karena asam lambung naik. Saat itu, usia kehamilan saya 18 minggu, perut saya sedang mulai membesar. Oleh karena itu, perut kembung karena asam lambung naik saya anggap wajar. Saya tak menyangka hal tersebut merupakan tanda  kehamilan ektopik yang membuat saya harus berbaring di meja operasi keesokan harinya. Inilah pengalaman kehamilan ektopik yang saya alami. 

    Kehamilan ektopik pertama dan saluran tuba pecah

    pengalaman kehamilan ektopik

    Setelah periksa ke dokter dan mengeluhkan rasa kembung yang mengganggu saya selama dua hari belakangan, saya pulang dengan membawa sekantong obat pereda asam lambung yang aman untuk ibu hamil. 

    Dokter memberi saran agar saya banyak mengonsumsi prebiotik. Bagi saya, itu bukanlah hal yang sulit dibanding rasa gembira untuk mendengar detak jantung si bayi. Ini adalah kehamilan pertama saya setelah dua tahun pernikahan. Kehamilan pertama yang begitu dinanti-nanti. 

    Selama kehamilan, dokter mengatakan bahwa bayi saya berkembang dengan baik dan sehat. Tak ada kecurigaan bakal ada kelainan atau permasalahan dalam kehamilan ini. Saya amat bersyukur dan merasa lega. 

    Obat kembung itu pun saya konsumsi sesuai petunjuk dokter. Namun, rasa kembung pada perut itu tak kunjung hilang, malah semakin menjadi dan disertai rasa mulas. Rasa nyeri itu kian lama terasa makin menyakitkan. Saya mencoba menahannya sebisa mungkin. 

    Pada sore sehabis mandi, kepala saya pening dan serasa berputar. Pusing dan sakit bukan kepalang saya rasakan, pandangan saya pun tiba-tiba gelap. Dalam keadaan setengah sadar, keluarga saya membawa saya ke rumah sakit. 

    Saya didiagnosa mengalami kehamilan ektopik atau hamil di luar rahim. Hal ini terjadi ketika telur yang dibuahi tidak melepaskan diri menuju rahim tapi menempel dan berkembang di saluran tuba falopi.

    Kehamilan ektopik bisa berakibat pendarahan dan keguguran, bahkan sangat berbahaya bagi si ibu. 

    Janin saya ternyata berkembang di saluran tuba falopi hingga usia 18 minggu. Kondisi ini mengakibatkan saluran tuba falopi saya pecah. 

    Saya pun segera menjalani operasi laparotomi atau operasi darurat untuk mengangkat janin ektopik dan saluran tuba falopi yang pecah. Saya kehilangan banyak darah dan harus menerima transfusi sebanyak 8 kantong.

    Operasi berjalan lancar, tapi saya masih harus menjalani perawatan di ICU (intensive care unit) selama dua hari dua malam. Pengalaman kehamilan ektopik itu membuat saya begitu pilu. Rasanya harapan untuk memiliki buah hati ikut pecah bersama kandungan yang tumbuh di luar rahim. Sakit. 

    Setelah kehilangan si calon bayi, saya juga harus menahan sakit bekas operasi. Pikiran saya begitu kacau. Namun, saya harus tinggal di ruang ICU dan tak dapat ditemani oleh siapa pun. Betapa sulit bagi saya untuk menjalani masa-masa itu. 

    Setelah melewati masa pemulihan, saya harus menunda program kehamilan berikutnya setidaknya selama satu tahun.

    Jeda waktu tersebut saya manfaatkan untuk mengatasi trauma akibat kehilangan sebelumnya. Saya dan suami pun senantiasa saling menguatkan sebelum memulai kembali program kehamilan. 

    Kali kedua terbaring di meja operasi karena hamil di luar kandungan

    pengalaman kehamilan ektopik

    Setelah satu tahun masa pemulihan, saya dan suami merasa telah cukup sehat secara mental untuk memulai program kehamilan. Kehamilan kedua datang dengan cepat, tapi sayangnya pergi dengan cepat pula. 

    Saya dinyatakan mengalami blighted ovum alias kehamilan kosong. Kegagalan berikutnya yang membuat duka di hati semakin dalam dan membuat saya menunda sementara waktu program kehamilan berikutnya. 

    Saya kembali menjalani masa pemulihan, baik secara fisik maupun mental. Saya tahu bahwa upaya saya belum selesai. Tak lama setelah masa pemulihan usai, saya kembali hamil. 

    Kegembiraan saya silih berganti dengan rasa khawatir. Saya sering mengalami flek. Kondisi tersebut saya sampaikan kepada dokter kandungan termasuk riwayat kehamilan saya selama ini. 

    Kekhawatiran itu mewujud nyata. Cobaan kembali datang pada kehamilan saya ini. Sepulang dari dokter, saya jatuh pingsan di lift rumah sakit. Saat itu usia kehamilan saya masih dalam trimester pertama. Saya kembali mengalami perdarahan akibat kehamilan ektopik untuk kedua kalinya. 

    Setelah kehamilan ektopik pertama, dokter menganjurkan agar saya melakukan hidrotubasi atau pengecekan saluran tuba falopi. Namun, usai masa pemulihan itu saya tak kunjung melakukan pemeriksaan hidrotubasi. 

    Saya merasa belum siap menerima kenyataan jika hasil tes hidrotubasi tersebut menyatakan bahwa saluran tuba falopi saya tak lagi bisa digunakan. Saya takut teramat takut. Apalagi tak lama setelah masa pemulihan pertama, saya kembali dinyatakan hamil saat itu.

    Setelah kegagalan berulang ini, saya sadar bahwa kondisi saya yang tinggal memiliki satu saluran tuba falopi membuat saya seharusnya lebih berhati-hati dalam merencanakan kehamilan.

    Dua kali terbaring di meja operasi untuk mengangkat calon bayi yang tak terselamatkan membuat saya bertekad untuk semakin mempersiapkan fisik dengan baik. 

    Setelah kehamilan ektopik kedua ini saya akhirnya mengikuti anjuran dokter untuk menjalani pemeriksaan saluran tuba falopi atau hidrotubasi.

    Sebisa mungkin saya menguatkan hati untuk menerima kemungkinan terburuk, misalnya jika satu saluran tuba falopi saya yang tersisa ini bermasalah.

    Jika hal tersebut terjadi, mungkin program bayi tabung akan menjadi opsi untuk dipertimbangkan. 

    Syukur alhamdulillah ternyata hasil hidrotubasi tak seburuk bayangan saya. Satu saluran tuba falopi yang saya miliki masih dalam kondisi baik dan hanya mengalami sedikit pembengkakan. 

    Untuk mengatasi pembengkakan tersebut, saya melakukan terapi diathermy dan juga mendapat resep obat yang harus diminum selama terapi.

    Saya tak ingin kembali mengalami kehamilan ektopik seperti dua kali pengalaman sebelumnya. 

    Usai menjalani terapi ini saya kembali hamil. Tak terjadi masalah yang berarti pada kehamilan kali ini. Akhirnya tiga tahun setelah kehamilan ektopik yang pertama, saya dapat melahirkan putri pertama dengan sehat pada tengah tahun 2019 lalu. 

    Siwi Listya bercerita untuk pembaca Hello Sehat.

    Memiliki kisah atau pengalaman kehamilan yang menarik dan inspiratif? Mari berbagi cerita bersama para orang tua lain di sini

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Andreas Wilson Setiawan

    General Practitioner · None


    Ditulis oleh Ulfa Rahayu · Tanggal diperbarui 22/06/2021

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan