Pandemi COVID-19 membuat banyak petugas kesehatan beradaptasi dengan berbagai kondisi, termasuk dalam penanganan kanker dan pelaksanaan program kanker nasional di Indonesia. Di sisi lain, kondisi ini memunculkan inovasi baru untuk mengintegerasikan visi penanganan kanker melalui tele-health mentoring kanker. Seperti apa program ini dilaksanakan?
Data kanker di Indonesia dan global
Kanker menjadi penyebab kematian tertinggi kedua di Indonesia setelah penyakit kardiovaskuler. Hal inilah yang menyebabkan kanker masih menjadi salah satu masalah kesehatan terbesar di Indonesia.
Data yang dirilis oleh Global Burden of Cancer Study (Globocan) dari World Health Organization (WHO) menuliskan, total kasus kanker di Indonesia di tahun 2020 mencapai angka 396.914 kasus dengan total kematian hingga 234.511 kasus.
Kanker payudara menjadi penyumbang kasus baru tertinggi, yaitu sebanyak 65.858 kasus atau sekitar 16,6 persen dari total 396.914 kasus kanker di Indonesia. Pada urutan kedua ditempati kanker serviks dengan jumlah kasus baru 36.633 atau 9,2 persen dari jumlah total kasus kanker.
Pada urutan ketiga, kanker paru-paru menyumbang 34.783 kasus (8,8 persen total kasus), diikuti dengan kanker kolorektal dengan 21.392 kasus (4,5 persen total kasus), dan kanker nasofaring dengan jumlah 19.943 kasus (5 persen total kasus).
Mengutip situs Yayasan Kanker Indonesia (YKI), alasan tingginya kasus kanker di Indonesia, yaitu kondisi lingkungan yang terus menghasilkan bahan karsinogenik seperti daging olahan, asap rokok, dan lainnya.
Alasan lain yang juga ikut mempengaruhi adalah gaya hidup seperti kurang berolahraga, begadang, dan makan yang terlalu banyak. Sementara itu kesadaran untuk deteksi dini kanker pun masih kecil dan terbatas.
Deteksi dini kanker harus diutamakan
Salah satu solusi utama dalam penanganan kanker di Indonesia adalah perlunya peningkatan layanan dalam deteksi dini kanker atau tes kanker. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Utama Rumah Sakit Kanker (RSK) Dharmais, dr. R. Soeko Werdi Nindito D., MARS.
“Semakin awal pasien dideteksi dini, akan lebih murah pengobatannya kemudian berdaya hasil lebih tinggi, jadi sembuhnya lebih tinggi,” tutur Soeko saat ditemui Hello Sehat di RSK Dharmais pada Kamis, (27/01).
Hal tersebut terkait dengan angka harapan hidup, apabila deteksi dini dilakukan di stadium awal, maka akan memberikan peluang hidup bagi pasien kanker lebih panjang.
Namun, kendala yang masih dihadapi hingga sekarang, biasanya pasien kanker yang diterima di rumah sakit sudah mengalami stadium lanjut yang membutuhkan pengobatan invasif.
Masalah lainnya adalah biaya untuk menjalani layanan deteksi dini kanker di Indonesia. Pasalnya, tidak semua layanan deteksi dini didukung oleh asuransi kesehatan masyarakat seperti BPJS Kesehatan.
“Perlu kebijakan lebih lanjut untuk menjamin ini, karena tidak semua pasien kanker perlu ditindaklanjuti di rumah sakit. Kalau dia sudah selesai pengobatannya, maka dilakukan pengobatan di rumah agar rumah sakit tidak penuh,” lanjut Soeko menerangkan.
Penelitian yang dilakukan oleh jurnal Sensors mencatat bahwa kelangsungan hidup pasien kanker sangat bergantung pada deteksi dini.
Begitu juga dalam jurnal penelitian Pharmacology & Therapeutics yang menyebut meski telah ada kemajuan signifikan dalam pengobatan kanker selama beberapa dekade terakhir. Pendekatan diagnostik dan terapeutik saat ini sebagian besar bergantung pada invasif (yaitu biopsi dan pembedahan acak) dan teknik non-spesifik seperti iradiasi dan agen kemoterapi.
Maka perlu juga mengembangkan teknologi yang dapat diterapkan untuk metode sensitif dan spesifik dalam mendeteksi kanker. Metode deteksi dini kanker yang telah ada sebagai berikut.
- Tes Papanicolau untuk wanita untuk mendeteksi kanker serviks dan mamografi untuk mendeteksi kanker payudara.
- Deteksi kadar prostat-specific antigen (PSA) dalam sampel darah untuk pria untuk mendeteksi kanker prostat.
- Deteksi darah untuk kanker kolorektal.
- Endoskopi, CT scan, X-ray, pencitraan ultrasound, dan MRI untuk berbagai deteksi kanker.
Selain itu, Kementerian Kesehatan sudah melakukan sejumlah upaya bentuk pencegahan dan pengendalian kanker di Indonesia, misalnya deteksi dini kanker payudara dan kanker serviks.
Bentuk deteksi dini ini bagi perempuan berusia 30-50 tahun melalui metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) dan Pemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS) atau bisa menggunakan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI).
Tujuh program kanker nasional RSK Dharmais
Secara keseluruhan, RSK Dharmais sebagai pusat kanker nasional memiliki tujuh program utama. Berikut ini tujuh program utama program kanker nasional.
- Promotif-preventif
Program ini ditujukan untuk mempromosikan pencegahan kanker sesuai dengan situasi dan kondisi di daerah masing-masing. Harapannya dinas kesehatan dan puskesmas dapat memberikan informasi dan edukasi kepada pasien kanker agar lebih local specific sesuai dengan kasus di daerah.
- Deteksi dini
Semakin awal deteksi dini dilakukan pada pasien kanker, maka semakin murah pengobatan dan juga memberikan daya hasil penyembuhan yang lebih tinggi. Di tahun ini, RSK Dharmais memfokuskan promosi deteksi dini pada tiga jenis kanker yakni Prostat, Paru, dan Pankreas (3P) yang pelayanannya masih jarang ada di rumah sakit.
- Diagnostik dan tata laksana
Diagnostik setidaknya ada tiga jenis, yaitu radiologi, laboratorium, dan patologi-anatomi. Tata laksana juga terbagi menjadi tiga tahap, operasi (surgery), kemoterapi, dan radioterapi.
- Paliatif dan nyeri
Pasien kanker stadium lanjut perlu untuk mendapatkan edukasi agar bisa bersikap atau bertindak pada penyakitnya. Seperti bagaimana menghadapi nyeri pada bagian kanker dan menjalani hidup seperti biasa.
- Pendidikan dan penelitian
Terus mengupayakan pendidikan dan penelitian terkait kasus-kasus kanker di Indonesia.
- Surveillance data
Pencatatan dan pendataan kasus, tak hanya untuk penelitian, tapi juga diharapkan dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan. Maka seluruh rumah sakit yang masuk dalam jejaring perlu untuk menguatkan surveillance data.
- Rehabilitasi
Pasien kanker erat dengan kecacatan, sehingga rehabilitasi pasca-pengobatan agar mendapat kualitas hidup yang lebih baik.
Menjaring kerja sama lewat tele-health mentoring
RSK Dharmais bekerja sama dengan Project ECHO bertujuan menguatkan jejaring bersama rumah sakit di berbagai provinsi dalam program telehealth mentoring kanker. Program ini berupa bentuk mentoring secara online dalam menangani kasus-kasus kanker di daerah.
Semula project ECHO (Extension for Community Healthcare Outcomes), dikembangkan oleh Sanjeev Arora, Penafian Tautan Eksternal MD, di Pusat Ilmu Kesehatan Universitas New Mexico.
Proyek ini adalah model kolaboratif pendidikan kedokteran dan manajemen perawatan yang membantu dokter memberikan perawatan tingkat ahli kepada pasien di mana pun mereka tinggal.
Program telehealth mentoring kanker ini memanfaatkan teknologi konferensi video untuk melatih, berbagi saran dalam menangani kasus kanker, dan mendukung penyedia perawatan primer. Program ini diharapkan dapat membantu rumah sakit di berbagai provinsi dalam menangani kasus kanker di daerahnya.
Pelaksanaan tele-health mentoring
Pada tahap awal, program ini dilakukan secara rutin sebanyak sebulan dua kali dengan durasi waktu dua jam per pertemuan.
Rumah sakit vertikal (milik Kemkes) bersama tiga rumah sakit milik provinsi diajak dalam program ini. Rumah sakit tersebut kemudian diproyeksikan akan mengampu sembilan rumah sakit di daerah untuk melakukan tele-health mentoring.
Prinsip dalam tele-health mentoring adalah mentransfer ilmu ke setiap rumah sakit yang masuk dalam jejaring melalui webinar. Program ini membahas kasus-kasus penanganan kanker di rumah sakit yang berbeda.
Pembahasan dilakukan dengan menampilkan hasil foto rontgen, pemeriksaan laboratorium, dan lainnya. Tidak hanya kasus, program ini juga membahas masalah pembiayaan dalam penanganan kanker.
Prinsip lainnya adalah menciptakan multidisciplinary team (MDT) dengan pembahasan dimulai dari diagnosis, tata laksana, dan rencana ke depan dari pasien sendiri melalui tele-health mentoring. Selain berfokus pada dokter, program ini juga akan mengembangkan perawat khusus onkologi.
“Kami juga bekerja sama dengan HIMPONI (Himpunan Perawat Onkologi Indonesia) dan Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia untuk mengembangkan perawat onkologi,” terang Soeko.
Program ini akan berlanjut dengan rencana mengirim dokter serta perawat untuk menjalani program pelatihan di Tata Memorial Hospital di India selama dua setengah bulan.
Perubahan kebijakan dan perkembangan teknologi
Soeko menilai dukungan dari pemerintah melalui kebijakan dapat mendorong berjalannya tujuh program kanker nasional menjadi lebih baik di setiap daerah. Hal ini karena mengingat masih rendahnya fasilitas deteksi dini yang ada di rumah sakit daerah.
Melalui jejaring ini diharapkan juga rumah sakit di daerah akan mulai melengkapi fasilitasnya, terutama untuk menyediakan layanan deteksi dini. Selain itu juga diharapkan ada perbaikan sistem rujukan agar mempermudah dalam navigasi menangani pasien kasus kanker.
“BPJS sudah baik dalam menjamin pengobatan kanker, tetapi belum ke deteksi dini,” tutur Soeko. Selain itu, masih perlu usaha untuk mengubah pemikiran masyarakat melakukan langkah preventif kanker.
Apabila deteksi dini telah diperbaiki, selanjutnya adalah dengan meningkatkan teknologi untuk deteksi dini tersebut. Seperti salah satunya menggunakan Genomic, untuk mengetahui pada gen tertentu lebih berisiko pada kanker jenis apa dan apa pengobatan yang dibutuhkan.
[embed-health-tool-bmi]