Kasus kanker pankreas terbilang lebih jarang terjadi dibanding kanker payudara atau kanker serviks. Saya awalnya tidak tahu tentang penyakit ini sampai dokter memvonis saya mengidap kanker pankreas stadium dua. Inilah kisah saya sebagai penderita kanker pankreas melawan penyakit ini.
Saya pikir hanya maag, tapi kondisinya tidak kunjung membaik
Perkenalkan saya Desi Sulastri, ibu rumah tangga berusia 46 tahun. Sebagai seorang penyintas kanker pankreas, saya ingin membagikan pengalaman ini kepada para pejuang kanker lainnya.
Pengalaman ini dimulai sekitar enam tahun lalu. Saat itu saya sering mengalami sakit perut. Sebagai penyuka makanan pedas, saya menganggap hal itu wajar terjadi. Entah karena maag ataupun perih karena makanan pedas yang saya konsumsi.
“Minum obat nanti juga sembuh,” gumam saya dalam hati pada saat itu.
Sayangnya, perkiraan saya salah. Rasa perih itu tak juga kunjung membaik, malah semakin menjadi. Karena tak kuat lagi menahan rasa sakit, saya memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter.
Meski telah mengonsumsi obat yang diberikan, kondisi saya tetap tak bertambah baik. Gejala yang saya rasakan malah bertambah parah.
Tak cuma sakit di perut, saya juga mengalami mual, muntah, dan nyeri tak tertahankan di sekitar ulu hati. Kondisi yang kemudian membuat saya hilang kesadaran karena sakit yang teramat sangat. Saya akhirnya masuk UGD demi mendapat penanganan segera.
Selama bolak-balik pengobatan, saya menjalani endoskopi untuk melihat masalah di saluran pencernaan saya. Namun hasilnya menunjukkan tidak ada masalah apapun.
Kemudian, saya juga menjalani tes CT scan. Lewat pemeriksaan ini kemudian terdeteksi adanya masalah pada organ pencernaan saya. Saya mengalami perlemakan hati, penumpukan lemah berlebih hingga terjadi infeksi pada organ hati.
Kondisi ini kemudian membuat perut saya membengkak dan membentuk gumpalan lemak di bagian bawah payudara sebelah kanan. Untuk menekan gejalanya, dokter meresepkan obat kolesterol.
Namun siapa sangka, selama pemeriksaan, dokter menemukan penyakit lain. Penyakit yang tak pernah saya bayangkan akan saya alami.
“Bu, sepertinya ada tumor di pankreas Ibu. Saya rujuk ke Rumah Sakit Kanker Dharmais, ya,” ujar dokter yang menangani kondisi saya. Seketika tubuh saya lemas mendengarnya.
Kala itu, saya tidak tahu-menahu mengenai organ pankreas, tapi saya paham bahwa penyakit tumor dan kata “kanker” pada rumah sakit yang dirujuk. Penyakit berbahaya yang bisa merenggut nyawa. Perasaan takut pun seketika menyelimuti hati saya.
Dokter bilang, saya mengidap kanker pankreas
Meski waswas, namun saya penasaran dan mencari tahu sendiri penjelasan terkait kata kunci tumor di perut dan kanker. Setelah membaca berbagai artikel secara daring, rasa takut dan cemas semakin menjadi-jadi.
Beberapa artikel yang saya baca mengatakan bahwa kesempatan hidup pengidap kanker pankreas cukup kecil, terutama jika kondisinya sudah parah. Itu artinya, jika benar saya mengidap penyakit ini, maka waktu saya di dunia tidak akan lama lagi.
Anak pertama saya yang melihat ini langsung menyambar ponsel dan menasehati saya untuk tidak mencari tahu lebih lanjut. “Udah, Mama jangan liat beginian lagi,” ucap anak saya karena melihat rasa cemas di wajah saya selama membaca-baca artikel tentang kanker pankreas.
Saya hanya bisa menurut karena saya sendiri rasanya tidak sanggup mengetahui penyakit ini lebih dalam.
Selang beberapa hari saya kembali ke RSK Dharmais untuk menjalani pemeriksaan lanjutan. Kurang lebih selama sebulan saya bolak-balik menjalani tes dan berbagai pemeriksaan kesehatan di temani oleh ibu saya. Sementara suami dan anak saya tak bisa mengantar karena harus bekerja.
Setelah berbagai pemeriksaan kanker itu selesai, dokter pun menjelaskan kondisi penyakit yang saya alami ini. Berdasarkan hasil pemeriksaan, termasuk tes di rumah sakit sebelumnya, dokter menyebutkan bahwa tumor di pankreas saya adalah kanker ganas, dan sudah memasuki stadium 2.
Air mata saya jatuh berlinang mendengar hal tersebut.
Seketika berbagai kemungkinan terburuk berseliweran di pikiran saya. Namun saya harus fokus mendengarkan penjelasan dokter. Sekuat tenaga saya mencoba memahami penjelasan akan penyakit ini.
“Dok, bagaimana saya mengobati penyakit ini?”
Dokter dengan sabar menjelaskan seperti apa kanker pankreas, sekaligus menerangkan kondisi kesehatan dan pengobatan yang sebaiknya saya pilih.
“Ibu sebaiknya di operasi untuk mengobati penyakit ini,” ujar dokter kepada saya. Mendengar hal tersebut, rasa takut yang saya hadapi menjadi lebih besar. Muncul keraguan dalam diri saya, apakah pengobatan ini akan berhasil.
“Apa tidak bisa diobati dengan minum obat, Dok?”
Dokter menggeleng, “Tidak bisa, Bu. Tumornya harus diangkat lewat operasi.”
Itulah keputusan dokter terkait perawatan yang harus saya jalani untuk sembuh dari kanker pankreas.
Operasi jalan satu-satunya untuk menyembuhkan saya
Kata kanker saja sudah membuat saya ketakutan. Ditambah sekarang dengan kata operasi. Membayangkan bagaimana tubuh saya akan dibedah, membuat ketakutan semakin membesar.
Saya masih tidak percaya jika saya mengidap jenis kanker yang terbilang jarang terjadi. Kenapa saya yang harus mengidap penyakit ini? Bagaimana anak-anak saya nanti kalau saya meninggal?
Berbagai pertanyaan muncul dalam pikiran saya. Saya stres dan tertekan hingga terbersit di pikiran saya tak ingin menjalani operasi.
Kecemasan di wajah saya tiap kali kontrol berlangsung membuat dokter menyarankan saya untuk konseling terlebih dulu. Keputusan untuk menjalani operasi atau tidak memang tergantung pada saya sebagai pasien. Saya sadar dokter dan pihak rumah sakit hanya menawarkan pengobatan terbaik dengan kesembuhan saya sendiri.
Saat konseling, seorang suster berkata bahwa kanker pankreas terbilang cukup jarang terjadi. “Kalau tidak segera diobati, nanti tubuh ibu menguning. Ibu mau menangis atau memohon untuk disembuhkan, kita dari pihak rumah sakit tidak bisa membantu lebih. Jadi, lebih baik penyakitnya diobati lebih cepat sebelum terlambat,” bujuknya.
Saya termenung, dan masih belum bisa memutuskan.
Akhirnya saya pulang ke pulang. Saya masih ragu untuk menjalani operasi, tapi saya juga rasanya tak kuat menahan rasa sakit akibat gejala kanker pankreas ini. Saya berdoa kepada Tuhan agar diberi petunjuk untuk memilih jalan terbaik.
Jika memang umur saya tidak panjang, saya ikhlas pergi asal saya tidak terus merasakan rasa sakit ini. Tapi, jika saya masih diberikan kesempatan bersama orang-orang yang saya sayangi, berikan saya kemudahan untuk sembuh dari penyakit ini.
Dan rasanya Tuhan mendengar doa saya.
Lewat dorongan suami, anak-anak, keluarga, tetangga, dan pihak rumah sakit, keraguan saya perlahan-lahan menghilang dan berubah menjadi kekuatan. Saya juga teringat kawan lama yang mengidap kanker tapi tidak tertolong nyawanya karena tidak diobati dengan cepat.
Selama hampir dua bulan bergelut dengan keraguan dan ketakutan, saya memutuskan untuk berjuang sembuh dari penyakit kanker ini. Ketika kembali ke rumah sakit, dokter menanyakan, “Apakah Ibu siap untuk menjalani operasi?”
Dengan sepenuh hati saya yakin dan menjawab, “Saya siap, Dok.”
Tepat tanggal 18 Januari 2019 saya menjalani operasi. Bagian kepala organ pankreas saya dipotong, empedu saya diangkat karena kondisinya tidak memungkinkan, gumpalan lemak akibat perlemakan hati juga diangkat, serta ukuran lambung saya pun dikecilkan karena adanya luka.
Lagi-lagi Tuhan mendengar doa saya, operasi berjalan dengan lancar. Setelah melewati masa pemulihan, saya dinyatakan terbebas oleh kanker. Saya merasa sangat bersyukur bisa merasakan kembali kehangatan keluarga di rumah.
Saya masih ingat betul rasa sakit yang saya alami setelah operasi dilakukan. Saya kerap menjerit karena obat pereda nyeri yang diberikan tidak sepenuhnya menghilangkan rasa sakit tersebut.
Namun, dokter dan suster dengan sabar merawat saya. Begitu juga dengan keluarga saya yang setia menemani dan mendukung saya untuk sembuh dari penyakit ini.
Pesan untuk pejuang kanker pankreas lainnya
Dokter memang menyatakan saya terbebas dari kanker, namun saya masih perlu melakukan skrining secara berkala. Sebab, penyakit kanker bisa kembali muncul sehingga tindakan ini dilakukan sebagai bentuk pengawasan.
Saya sangat berterima kasih kepada Tuhan yang telah memberi saya kesempatan kedua untuk menjalani hidup. Saya juga berterima kasih kepada keluarga dan orang-orang di sekeliling saya yang tidak bosan mendukung kesembuhan saya.
Tak lupa terima kasih juga kepada dr. Fajar Firsyada, Sp. B-KD dan pihak RSK Dharmais yang telah membantu saya melawan penyakit kanker.
Selain kisah saya sebagai penderita kanker pankreas, saya juga ingin berbagi pengalaman kepada Anda di rumah bahwa penyakit kanker bisa disembuhkan, asal penyakitnya lebih cepat terdeteksi dan ditangani. Jadi, jika Anda merasakan ada yang tidak beres dengan tubuh, jangan ragu untuk periksa ke dokter.
Di samping itu, keputusan Anda dalam memilih pengobatan kanker juga jadi pertimbangan penting. Selalu utamakan pengobatan dokter, apalagi untuk penyakit kronis seperti kanker pankreas ini.
Desi Sulastri (46) bercerita untuk pembaca Hello Sehat.