Selain membaca, salah satu kemampuan berkomunikasi yang tidak kalah penting adalah menulis. Bagaimana jika seseorang mengalami kehilangan kemampuan tersebut? Berikut informasi lengkap tentang kondisi yang dalam istilah medis disebut dengan agrafia.
Apa itu agrafia?
Agrafia adalah hilangnya kemampuan berkomunikasi lewat tulisan akibat kerusakan otak. Menulis membutuhkan banyak keterampilan terpisah. Pertama, otak Anda harus memproses bahas yang artinya Anda harus mampu mengubah pikiran atau ide yang ada pada otak menjadi susunan kata-kata.
Kedua, Anda perlu memilih huruf yang tepat untuk menuliskan kata-kata tersebut. Terakhir, Anda harus menuangkan susunan kata-kata tersebut ke dalam bentuk tulisan tangan. Semua kemampuan yang terpisah ini, Anda integrasikan menjadi satu kesatuan ketika menulis.
Sekilas, hilangnya kemampuan menulis ini hampir mirip dengan afasia dan alexia. Namun, bila Anda pahami pengertiannya, afasia sendiri mengacu pada hilangnya kemampuan berbicara. Sementara alexia adalah hilangnya kemampuan untuk mengenai kata-kata yang pernah Anda baca. Kadang kondisi ini disebut juga dengan buta kata.
Ketiganya memang bisa saja berkaitan, namun tetap mengarah pada kondisinya berbeda. Orang yang kehilangan atau gangguan dalam menulis ini bisa mengalami kesulitan dalam membaca atau berbicara dengan benar.
Dampaknya bisa menyulitkan penderitanya untuk melakukan aktivitas harian atau mengikuti pendidikan dengan baik. Seiring waktu dan tanpa perawatan, kualitas hidup dan kesehatan mentalnya bisa memburuk.
Seberapa umumkah kondisi ini?
Agrafia merupakan kondisi yang umum terjadi, terutama pada orang yang mengalami cedera otak atau gangguan pada otak. Lansia lebih mungkin mengalami kondisi ini ketimbang orang dewasa muda.
Tanda & gejala-gejala agrafia
Menurut Buku yang diterbitkan secara online pada National Library of Medicine agrafia terbagi menjadi 2 kategori yang menunjukkan gejala-gejala tertentu.
Central agraphia
Jenis ini mengacu pada hilangnya kemampuan menulis yang berasal disfungsinya otak yang mengatur bahasa, visual, atau pusat motorik otak.
Bergantung dengan letak cedera, orang dengan kondisi ini mungkin tidak dapat menuliskan kata-kata yang sebelumnya dipahami. Sebagai contoh, mengalami kesalahan ejaan atau bermasalah dalam perihal sintaksis (frasa, klausa, atau kalimat).
Agraphia jenis ini kemudian terbagi lagi menjadi bentuk yang lebih spesifik.
1. Deep agraphia
Cedera otak pada lobus parietal kiri ini menyebabkan rusaknya kemampuan mengingat cara mengeja kata, yakni keterampilan memori ortografis. Kadang penderitanya juga kesulitan untuk mengucapkan sebuah kata, yaitu kemampuan fonologis.
Mereka bisa saja kebingungan dalam memahami arti dari sebuah kata, contohnya pelaut dengan laut.
2. Lexical agraphia
Gangguan ini melibatkan hilangnya kemampuan untuk menulis atau mengucapkan kata yang sifatnya homofon. Homofon adalah kata yang memiliki pelafalan yang sama namun penulisannya berbeda, contoh “rock” dan “rok” atau “bank” dan “bang”.
3. Phonological agraphia
Jenis agrafia ini menyebabkan seseorang sedikit kesulitan untuk menulis kata-kata yang sifatnya konkret, seperti ikan atau meja. Mereka biasanya kesulitan untuk menulis kata-kata yang konsepnya abstrak, seperti kehormatan atau kebahagiaan.
4. Sindrom Gerstmann
Orang dengan sindrom ini biasanya menunjukkan empat gejala khas, yakni:
- kesulitan mengenali jari tangan maupun kaki,
- kesulitan untuk menulis,
- bingung menentukan arah kanan dan kiri, dan
- sulit untuk menambah atau mengurangi bilangan.
Gerstmann syndrome biasanya terjadi akibat kerusakan girus sudut kiri pada otak karena stroke. Akan tetapi, juga bisa terjadi karena penyakit lain, seperti lupus, kecanduan alkohol, keracunan karbon monoksida, dan paparan timbal yang berlebihan.
Peripheral agraphia
Kondisi ini mengacu pada hilangnya kemampuan menulis karena terganggunya kemampuan kognitif untuk memilih dan menghubungkan huruf dalam membentuk kata-kata.
1. Apraxic agraphia
Tipe gangguan ini disebut juga dengan agraphia “murni” karena kemampuan menulis yang hilang terjadi ketika seseorang masih bisa membaca dan berbicara. Penyebabnya adalah lesi atau perdarahan otak, terutama pada bagian lobus frontal, lobus parietal, lobus temporal otak, atau thalamus.
Para peneliti percaya apraxic agraphia menyebabkan seseorang kehilangan akses ke area otak, yang memungkinkan Anda merencanakan gerakan untuk menggambar bentuk huruf.
2. Visuospatial agraphia
Ketika seseorang memiliki jenis agrafia ini, penderitanya mungkin tidak dapat menjaga tulisan tangannya tetap horizontal. Mereka mungkin salah mengelompokkan bagian kata, misalnya menulis “saya sedang makan” menjadi “say ase dangma kan” atau tulisannya membatasi halaman kertas.
Dalam beberapa kasus, orang dengan jenis kondisi ini menghilangkan huruf dari kata atau menambahkan goresan pada huruf tertentu saat mereka menulisnya.
3. Reiterative agraphia
Penderita gangguan menulis ini sering menulis berulang, seperti mengulang kata atau huruf dari suatu kata saat menulisnya.
4. Dysexecutive agraphia
Jenis agraphia ini memiliki ciri-ciri afasia (susah berbicara) dan apraxic agraphia. Kondisi ini terkait dengan penyakit Parkinson atau kerusakan pada lobus frontal otak.
5. Musical agraphia
Dalam sebuah kasus yang dilaporkan pada tahun 2000, seorang guru piano yang menjalani operasi otak, kehilangan kemampuannya untuk menulis kata dan musik. Kemampuannya untuk menulis kata dan kalimat akhirnya pulih, tetapi kemampuannya untuk menulis melodi dan ritme tidak pulih.
Kapan harus ke dokter?
Jika Anda mengalami atau mendapati kerabat menunjukkan gejala-gejala yang tersebut, segera periksa ke dokter. Setiap orang bisa saja menunjukkan berbeda-beda. Ada pula yang menunjukkan gejala yang tidak disebutkan pada ulasan di atas.
Penyebab agrafia
Penyebab utama dari agrafia adalah cedera atau gangguan yang memengaruhi otak, khususnya area yang terlibat dalam proses penulisan. Keterampilan menulis ada pada area otak yang dominan (sisi yang berlawanan dengan tangan dominan Anda), lobus parietal, lobus frontal, dan lobus temporal.
Pusat bahasa pada otak memiliki koneksi saraf antara satu sama lain yang memfasilitasi bahasa. Kerusakan pada pusat bahasa atau hubungan di antara mereka dapat menyebabkan hilangnya kemampuan menulis.
Berikut ini adalah beberapa penyebab umum dari agrafia.
- Stroke. Ketika suplai darah ke area bahasa otak Anda terganggu oleh stroke, Anda mungkin kehilangan kemampuan untuk menulis. Peneliti telah menemukan bahwa gangguan bahasa sering terjadi akibat stroke.
- Cedera otak traumatis. Trauma otak akibat benturan, pukulan, atau sentakan ke kepala yang mengganggu fungsi otak yang mengatur kemampuan menulis.
- Demensia. Kemampuan menulis yang memburuk merupakan tanda awal dari demensia. Jenis demensia, yakni penyakit Alzheimer dapat menyebabkan kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi dengan jelas secara tertulis. Penderitanya juga dapat mengalami masalah dengan membaca dan berbicara seiring dengan parahnya kondisi.
- Penyebab lainnya. Hilangnya kemampuan menulis bisa disebabkan ketika terjadi penciutan area bahasa pada otak karena lesi atau jaeringan abnormal, sepertu tumor otak, aneurisma, dan pembuluh vena yang cacat.
Faktor-faktor risiko agrfia
Terganggunya kemampuan menulis bisa menyerang siapa saja. Akan tetapi, orang dengan faktor tertentu memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit ini, seperti:
- berusia lanjut,
- memiliki penyakit jantung, hipertensi, atau diabetes, dan
- bekerja di area yang berisiko tinggi kecelakaannya.
Diagnosis & pengobatan agrafia
Informasi yang diberikan bukanlah pengganti nasihat medis. SELALU konsultasikan pada dokter Anda.
Guna menegakkan diagnosis kondisi ini, dokter Anda akan meminta Anda untuk mengikuti serangkaian tes kesehatan. Tes pemindaian CT scan, MRI, PET scan dapat membantu dokter melihat kerusakan pada area otak yang mengatur bahasa dan kemampuan penulisan.
Terkadang perubahannya tidak kentara dan tidak dapat dideteksi dengan tes ini. Dokter Anda mungkin memberi Anda tes membaca, menulis, atau berbicara untuk menentukan proses bahasa mana yang mungkin terganggu.
Apa saja cara mengobati agrafia?
Jika hilangnya kemampuan menulis akibat cedera otak permanen, tidak ada pengobatan yang bisa mengembalikan kemampuan ini sepenuhya. Namun, pasien tetap perlu menjalani rehabilitasi mencakup pelatihan berbahasa yang berbeda.
Satu studi pada Journal of speech, language, and hearing research menemukan bahwa keterampilan menulis meningkat untuk orang yang menderita aleksia dengan agrafia, ketika mereka menjalani beberapa sesi perawatan pembacaan teks repetitif. Mereka akan diarahkan untuk membaca teks yang sama berulang-ulang sampai mereka dapat membaca seluruh kata, bukan huruf demi huruf.
Strategi membaca lebih efektif jika kombinasi dengan latihan ejaan interaktif, yakni melatih pasien untuk menggunakan perangkat ejaa, sehingga membantunya uuntuk menemukan dan memperbaiki kesalahan ejaan.
Terapis rehabilitasi juga dapat menggunakan kombinasi latihan kata penglihatan, perangkat mnemonik, dan anagram untuk membantu orang belajar kembali. Umumnya, rekomendasi lain termasuk mengikuti latihan mengeja dan menulis kalimat serta membaca lisan.
[embed-health-tool-bmi]