Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menjadi penyumbang terbanyak kasus TB paru dan kematian oleh penyakit tuberkulosis (TBC). Agar TB bisa sembuh total, Anda harus rutin minum obat anti-TBC (OAT) yang biasanya diresepkan untuk 6-12 bulan. Pengobatan standar yang diberikan untuk pengobatan TB terdiri atas kombinasi antibiotik jenis rifampisin, isoniazid, pirazinamid, ethambutol dan streptomisin. Lantas, adakah efek samping obat-obatan TBC atau OAT ini ketika harus diminum dalam waktu lama?
Apa saja efek samping obat anti-TBC (OAT) yang mungkin muncul?
Masa penyembuhan TBC berbeda-beda untuk setiap pasien, hal ini bergantung pada kondisi kesehatan pasien serta tingkat keparahan gejala TBC yang dialami.
Namun untuk memastikan kesembuhan total, pasien harus menjalani pengobatan TBC selama 6-9 bulan. Aturan minum obat TBC akan disesuaikan dengan kondisi kesehatan serta tingkat keparahan penyakit.
Efek samping dari obat-obatan TBC bisa beragam antara satu pasien dengan pasien lainnya. Beberapa efek samping OAT mungkin tergolong ringan dan dapat hilang dengan sendirinya.
Namun, tidak jarang pula penderita merasakan efek samping yang cukup berat.
Isoniazid, rifampisin dan pyrazinamide berpotensi kuat menyebabkan kerusakan pada hati. Ethambutol dan streptomisin sampai saat ini tidak dilaporkan dapat menyebabkan kerusakan serupa.
Akan tetapi, kerusakan hati ini bisa berakibat fatal apabila tidak dideteksi sedari awal.
Berikut rincian efek samping dari dua jenis obat antituberkulosis (OAT) yang paling umum digunakan:
1. Isoniazid
Penggunaan obat TBC isoniazid bisa menyebabkan efek samping yang bersifat ringan seperti sakit kepala, percepatan detak jantung, mulut kering.
Gangguan pencernaan seperti mual, muntah, nyeri di ulu hati, ataupun konnstipasi (sembelit) paling sering dialami pasien selama masa pengobatan TBC.
Selain itu, terdapat pula efek-efek samping dari obat isoniazid yang lebih berat, seperti:
- Hipersensitivitas: demam, menggigil, peradangan kelenjar getah bening, peradangan pembuluh darah.
- Hepatotoksik atau peradangan hati: sakit kuning, risiko hepatitis parah.
- Penurunan metabolisme: kekurangan vitamin B6, hiperglikemia, protein dalam urine (proteinurea).
- Masalah pada darah: anemia aplastik, kadar trombosit menurun.
2. Rifampicin
Efek samping dari obat TBC rifampicin yang paling umum serupa dengan gejala-gejala flu. Selain itu, efek samping berupa hepatotoksisitas juga berpotensi terjadi akibat konsumsi OAT ini.
Selain itu, Anda mungkin juga akan mengalami efek samping berupa perubahan warna cairan tubuh akibat obat rifampicin.
Keringat, air mata, atau urine Anda kemungkinan akan berubah warna menjadi merah (bukan darah). Efek samping ini terjadi akibat zat pewarna yang terdapat di obat TBC ini.
Ruam dan gatal adalah kondisi yang umum terjadi dan biasanya akan menghilang dengan sendirinya. Akan tetapi, segera hubungi dokter jika ruam dan gatal disertai dengan pengelupasan pada kulit.
Segera beri tahu dokter jika Anda mengalami efek samping obat TBC, seperti ini:
- Nyeri sendi yang disertai bengkak
- Mata menjadi berwarna kuning
- Perubahan jumlah urin
- Rasa haus yang terus meningkat
- Urine berdarah
- Perubahan penglihatan
- Detak jantung yang begitu cepat
- Mudah memar atau berdarah
- Mengalami demam dan sakit tenggorokan terus-menerus (tanda infeksi baru)
- Perubahan suasana hati seperti kebingungan, dan mengalami halusinasi atau delusi yang dilihat atau didengar (psikosis)
- Kejang
Yang perlu diperhatikan, kedua obat ini juga memiliki kontraindikasi dengan pil KB, obat diabetes, dan obat darah tinggi.
Hepatitis imbas obat atau drug induced hepatitis (DIC)
Hepatitis imbas obat (DIC) dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik, alias obat yang menyebabkan kerusakan pada fungsi hati.
DIC (hepatitis imbas obat) termasuk bentuk efek samping yang paling umum dialami akibat obat TBC, seperti isoniazid dan rifampicin.
Dari 7% efek samping OAT yang sering dilaporkan 2% di antaranya adalah kasus sakit kuning karena peradangan. Sementara itu, 30% lainnya merupakan hepar fulminan atau kegagalan fungsi hati.
Keduanya termasuk ke dalam hepatitis imbas obat. Efek samping seperti DIC sering ditemukan pada 2 bulan pertama pengobatan TBC.
Gejala yang sering ditunjukkan dari penyakit ini adalah adalah mual, muntah, nyeri perut, dan perubahan warna kulit dan putih mata menjadi kuning (ikterus).
Ikterus disebabkan karena adanya gangguan metabolisme bilirubin di hati. DIC sulit dibedakan dengan hepatitis yang disebabkan infeksi virus.
Itu sebabnya, diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis penyakit ini.
Berbeda dengan hepatitis biasa, efek samping DIC akan membaik dengan sendirinya apabila penggunaan obat tuberkulosis dihentikan.
Orang yang mengonsumsi obat TBC lebih berisiko mengalami efek samping berupa hepatitis apabila:
- Memiliki faktor risiko genetik.
- Berusia lanjut lebih dari 60 tahun).
- Mengalami malnutrisi.
- Mengalami ko-infeksi (infeksi lain) HIV atau mengidap HIV/AIDS.
- Memiliki riwayat penyakit liver sebelumnya, seperti hepatitis.
- Mengonsumsi alkohol.
Bagaimana jika mengalami efek samping dari obat TBC?
Jika Anda mulai merasakan efek samping OAT seperti yang telah disebutkan di atas, ada baiknya konsultasikan dengan dokter.
Biasanya, dokter akan mengubah dosis atau mengganti obat antituberkulosis (OAT) yang paling sesuai dengan kondisi Anda.
Dokter biasanya akan menghentikan obat sementara jika ditemukan tanda dan gejala klinis seperti hepatitis imbas obat.
Namun terkadang, penyakit ini bisa terjadi tanpa menunjukkan gejala, dalam hal ini dokter menggunakan patokan hasil pemeriksaan laboratoium.
Jangan langsung menghentikan pengobatan tanpa berkonsultasi dengan dokter. Melakukan hal itu justru membuat Anda berisiko mengalami TB resistan obat (TB-MDR).
Kondisi tersebut membuat bakteri kebal terhadap obat TBC sehingga gejala yang muncul makin parah. TB MDR juga lebih sulit untuk diobati.
Hal penting yang perlu diketahui sebelum memulai pengobatan
Untuk menghindari efek samping lebih lanjut dari obat antituberkulosis (OAT), ada baiknya Anda menjalani tes fungsi hati dan ginjal terlebih dahulu sebelum memulai pengobatan.
Menurut situs TB Alert, hal ini penting karena ada kemungkinan terdapat obat-obatan TBC yang tidak dapat berinteraksi dengan obat penyakit ginjal dan hati.
Oleh karena itu, dokter dapat meresepkan kombinasi obat-obatan lainnya dan mencegah terjadinya efek samping.
Selain itu, penderita HIV yang terjangkit bakteri M. tuberculosis lebih rentan mengalami efek samping obat tuberkulosis yang jauh lebih serius.
Maka dari itu, penderita HIV yang mengonsumsi obat-obatan antiretroviral bersamaan dengan obat tuberkulosis harus dipantau secara lebih lanjut oleh dokter untuk mencegah efek samping yang fatal.
Mereka juga mungkin membutuhkan penyesuai dosis, tergantung dengan kondisi tubuh mereka.