Anak kedua kami lahir prematur di usia 35 minggu kehamilan dengan berat badan kurang dari ideal. Tak hanya itu, ia juga lahir dengan penyakit kulit yang langka. Dokter berkata kondisi anak kami kemungkinan diakibatkan karena kami pasangan sedarah. Hal tersebut membuat saya kembali mengingat nasib anak pertama kami yang mudah sakit.
Gangguan kehamilan dan kelahiran prematur
Saat ini saya memiliki tiga orang putra. Dari lima kehamilan yang saya alami, dua berakhir keguguran. Keguguran tersebut terjadi pada kehamilan kedua dan ketiga.
Namun, tiga kehamilan yang berhasil ini juga bukannya tanpa masalah.
Di antara lima kehamilan tersebut, pengalaman kehamilan keempat merupakan pengalaman yang paling mengguncang kami, terutama saya sebagai ibu.
Beberapa bulan setelah kehamilan ketiga yang berakhir keguguran untuk kedua kalinya, saya merasakan sakit perut.
Saya merasa seperti ada yang mencengkeram perut saya dan memerasnya, rasa sakitnya seperti ratusan kali lipat nyeri haid yang biasa dialami. Saya pun segera pergi ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit saya menjalani serangkaian pemeriksaan mulai dari USG (ultrasonografi) hingga tes darah karena demam yang juga saya alami.
Ternyata saya memiliki kista berukuran beberapa sentimeter dan positif demam berdarah (DB).
Oleh karena itu, dokter mengharuskan saya menjalani perawatan di rumah sakit selama tujuh hari hingga sembuh dari demam berdarah.
Seusai perawatan, saya diizinkan pulang dengan membawa bekal obat kista untuk diminum selama satu minggu penuh.
Setelah satu minggu, saya kembali ke rumah sakit untuk kembali memeriksakan kondisi kista di rahim saya.
Saya sudah meneguhkan diri untuk menjalani terapi apa pun yang diperlukan, pengobatan, atau bahkan operasi pengangkatan kista jika diperlukan. Saya siap menjalaninya.
Namun, setelah pemeriksaan USG, saya justru mendapat kabar yang tak terbayangkan. Saya dinyatakan hamil dan usia kandungan saya sudah 9 minggu.
Mendengar kabar yang tak terduga, saya tak bisa menahan keluarnya air mata.
Namun, tangis ini bukan tangis haru bahagia ataupun tangis kecewa karena kehamilan yang tak direncanakan. Ini karena saya takut dan bingung.
Sebab, selama dua pekan terakhir saya mengonsumsi obat penggugur kista yang termasuk berbahaya bagi perkembangan janin.
Mau tak mau saya syok mendengar kabar tersebut. “Jabang bayi sudah berusia 9 minggu, tapi 2 minggu ini saya minum obat. Bagaimana dampaknya nanti?” pikiran saya kacau bertanya-tanya.
Belum lagi demam berdarah yang sempat saya alami minggu lalu. Saya baru mengetahui bahwa demam berdarah saat hamil juga bisa sangat membahayakan kondisi ibu dan janin di dalam kandungan.
Ketika dirawat saat mengalami demam berdarah, saya belum tahu bahwa saya hamil sehingga tak ada perlakukan atau obat yang berbeda saat itu.
Demam Berdarah saat Hamil, Virusnya Menginfeksi Janin Saya
Saya pulang dari rumah sakit dengan perasaan kacau balau. Kenapa pada saat USG pertama tidak langsung diketahui bahwa saya hamil? Kalau saya tahu saya hamil, saya tidak akan meminum obat kista.
Kenapa saya tidak mencari second opinion ke rumah sakit lain? Seandainya saja saya tahu lebih cepat bahwa saya hamil.
Berbagai tanya kenapa hinggap dan berkecamuk di benak saya. Saya takut, saya waswas semua itu akan berdampak buruk terhadap kesehatan si jabang bayi di kandungan.
Saya kembali menangis, menumpahkan semua kekalutan itu pada air mata.
Akhirnya, saya meneguhkan hati untuk melanjutkan kehamilan dan berdoa agar janin di tubuh saya dapat tumbuh berkembang dengan baik. Apalagi detak jantungnya sudah terdengar jelas kini.
Kehamilan lancar, tapi lahir prematur
Keputusan tersebut membuat saya lebih berhati-hati dalam menjalani kehamilan. Saya amat memerhatikan aktivitas fisik sehari-hari hingga nutrisi yang perlu saya konsumsi.
Tak ada masalah yang berarti selama kehamilan membuat saya merasa lega.
Namun, putra kami lahir prematur di usia 35 minggu. Proses melahirkan dilakukan dengan cara operasi sesar. Meski lancar, namun ada kejutan lain dari Yang Maha Kuasa.
Anak kami lahir dengan kondisi sedikit berbeda dari bayi lainnya. Ia yang kami beri nama Daffa berkulit merah, mengilat, dan tanpa rambut di kulitnya.
Kondisi tersebut cukup mengguncang diri saya. Berat bagi saya untuk bisa menerima kondisi putra kami tersebut.
Rasa sakit setelah melahirkan segera bertambah dengan rasa bersalah yang seketika menjalar. Maafkan ibu, nak.
Saya belum mengetahui apa penyebabnya, tetapi saya merasa kondisi Daffa adalah kesalahan saya.
Apakah itu karena saya mengonsumsi obat kista? Apakah karena demam berdarah yang saya alami di awal kehamilan? Saya tak tahu, tapi saya benar-benar merasa bersalah apapun itu penyebabnya.
Kondisi langka anak kami karena saya dan suami pasangan sedarah
Daffta tumbuh dengan kondisi kulit khusus yang sulit diketahui penyebabnya. Kulit Daffa harus selalu lembab, tak boleh terlalu lama terpajan sinar matahari.
Setiap kali kepanasan, kulitnya akan memerah dan tampak seperti retakan. Ia tak bisa leluasa mengeluarkan keringat melalui pori-porinya seperti orang lain oleh karena itu ia lebih banyak berada di ruangan ber-AC.
Sejak lahir hingga berusia 2 tahun, dokter hanya meresepkan obat salep kulit untuk Daffa. Meski sudah berapa dokter dari berbagai rumah sakit kami kunjungi, tapi pengobatan untuk Daffa itu-itu saja.
Saya tidak tahu apakah memang kami yang tidak mengerti atau memang tidak bisa diobati.
Hingga suatu ketika saya pulang ke Yogyakarta dan melihat plang praktik dokter spesialis kulis di Rumah Sakit Dr. Sardjito, saya memutuskan untuk membawa Daffa ke sana.
Di rumah sakit tersebut Daffa dicek, saya tak tahu persis apa saja pemeriksaan yang dilakukan. Salah satu yang saya ingat adalah pemeriksaan genetik dan pengambilan jaringan kulit Daffa.
Dokter yang menangani saat itu setidaknya ada 8 orang dari berbagai disiplin kedokteran. Selain dokter spesialis kulit, ada pula dokter spesialis anak, dokter spesialis alergi, hingga psikolog anak yang turut mendampingi.
Saya dan suami juga diwawancara tentang berbagai hal hingga hubungan kami dalam garis keturunan keluarga.
Ketika ditanyai hal itu, saya langsung terpikirkan sebuah kemungkinan yang selama ini sebenarnya berkeliaran di pikiran saya.
Menurut hasil analisis para dokter, kemungkinan besar penyebab kelainan kulit anak saya adalah karena ada hubungan antara satu kesamaan genetika kami yang tergabung di Daffa.
Kondisi anak saya diduga karena saya dan suami masih tergolong pasangan sedarah. Daffa didiagnosis mengalami sindrom Netherton yang merupakan penyakit keturunan langka.
Kondisi ini ditandai dengan kulit bersisik, kelainan rambut, peningkatan kerentanan terhadap eksim atopik (kondisi kulit yang dapat menyebabkan kulit kering, merah, dan bersisik). Sindrom ini diturunkan atau pewarisan resesif autosom.
Individu harus mewarisi dua gen resesif masing-masing satu dari ibu dan ayah untuk mengalami sindrom ini.
Orang tua bisa saja menjadi membawa gen resesif ini tapi tidak mengalami gejala apapun atau disebut carrier.
Jadi, dua orang carrier yang menikah bisa menurunkan dua gen resesif yang menyebabkan anak mengalami sindrom Netherton.
Gangguan kesehatan anak kami akibat perkawinan sedarah
Saya dan suami memang masih memiliki hubungan darah. Suami saya adalah adik sepupu bapak saya, sederhananya suami saya bisa dibilang masih om saya sendiri.
Saya pun teringat anak pertama saya yang juga lahir prematur dan sempat masuk NICU (neonatal intensive care unit) selama 10 hari lamanya. Ia memiliki daya tahan tubuh yang lemah sehingga mudah sekali sakit.
Sementara adik Daffa yang baru saya lahirkan juga memiliki kondisi kesehatan yang kurang baik. Ia dinyatakan memiliki alergi paru-paru bawaan lahir dan beberapa kali harus menerima transfusi darah.
Saya pun curiga bahwa kondisi anak saya masih terkait dengan kesamaan genetika saya dan suami.
Sekarang usia saya 36 tahun, rahim saya mengalami perlengketan karena 5 kali kehamilan bermasalah, termasuk operasi pengangkatan kista. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak hamil lagi.
Indah (36) bercerita untuk pembaca Hello Sehat.
Memiliki kisah atau pengalaman kehamilan yang menarik dan inspiratif? Mari berbagi cerita bersama para orang tua lain di sini.
[embed-health-tool-pregnancy-weight-gain]