backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Pengalaman Melawan Vaginismus Membuat Saya Hampir Menyerah

Ditinjau secara medis oleh dr. Carla Pramudita Susanto · General Practitioner · Klinik Laboratorium Pramita


Ditulis oleh Ihda Fadila · Tanggal diperbarui 01/10/2021

    Pengalaman Melawan Vaginismus Membuat Saya Hampir Menyerah

    Sudah 2 tahun 7 bulan pernikahan saya dengan suami, tetapi kami belum pernah melakukan hubungan seksual dengan proper. Proper di sini berarti penis masuk ke dalam vagina dengan ‘benar’ dan ‘natural’. Bulan-bulan pertama pernikahan, kami mengira ini wajar dan masih terus mencoba.

    Namun, setelah dua tahun lamanya, kami mulai merasa lelah hingga hampir menyerah. Hingga akhirnya, kami tahu bahwa saya mengidap penyakit cukup langka yang disebut vaginismus. Inilah pengalaman saya melawan vaginismus dan pergolakan batin untuk mencapai kesembuhan. 

    Komentar banyak orang membuat saya insecure

    vaginismus masalah psikis

    Saya menikah pada bulan Januari 2019. Selayaknya pasangan suami-istri, saya melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya di malam pernikahan saya. 

    Kalau kata orang-orang nikmat, saya justru merasa skakmat. Tak ada satupun kenikmatan yang saya rasakan, hanya sakit yang muncul di area vagina saya. 

    Ya, saat pertama kali berhubungan, saya merasakan sakit yang teramat sangat di bagian vagina ketika penetrasi akan dilakukan.

    Penis suami benar-benar tidak bisa masuk ke vagina saya. Seperti mentok ke dinding kalau kata suami saya. 

    Hal ini terus terjadi sejak awal pernikahan hingga hampir 3 tahun lamanya. Bahkan, kesakitan ini membuat saya takut untuk berhubungan seksual dengan suami.

    Saya seringkali menolak permintaannya untuk melakukan hubungan seksual. Sudah merasakan sakit di vagina, hati saya pun ikut terluka karena komentar keluarga dan orang sekitar.

    Tak jarang dari mereka yang bertanya “kapan punya anak?”, “kok belum bisa?”.

    Sungguh, ini bukanlah kemauan saya. Merasakan sakit yang bukan main ini pun bukan keinginan saya.

    Bahkan, saya pun tidak tahu mengapa ini bisa terjadi dan kapan saya bisa penetrasi hingga mendapatkan buah hati. 

    Komentar-komentar ini sungguh membuat saya merasa insecure dan tak percaya diri. Saya selalu berpikir “Mengapa orang lain bisa, tetapi saya tidak?”. 

    Bahkan, saya sudah berada dalam tahap tidak mau melihat posting apapun di media sosial yang berkaitan dengan kehamilan dan cerita persalinan.

    Begitu pula dengan foto-foto anak yang teman saya posting di media sosialnya, saya enggan melihatnya. 

    Sudah mulai menyerah, tetapi akhirnya bangkit

    mitos vaginismus

    Bulan-bulan pertama pernikahan, kami merasa kegagalan penetrasi ini wajar. Apalagi, pengalaman serupa juga dirasakan oleh teman-teman saya yang sudah menikah. 

    Saat itu, kami tak ambil pusing. Kami masih terus mencoba untuk mendapat kepuasan dari hubungan seks sekaligus berharap bisa berbuah kehamilan. 

    Namun, setelah dua tahun pernikahan, apakah hal ini wajar? Nope. Saya dan suami sudah berada di tahap “malas mau nyoba, karena tahu pasti gagal”. 

    Saya dan suami sudah hampir menyerah. Sudah tak tahu harus bagaimana. Kami bahkan sempat berpikir untuk tidak usah saja punya keturunan, meski dalam hati keinginan tersebut masih ada. 

    Rasa ingin menyerah ini bertambah saat saya berkonsultasi dengan dokter kandungan, setahun setelah menikah.

    Sebenarnya saat itu, saya ingin mencari tahu penyebab haid tidak teratur yang saya alami. 

    Saat saya diperiksa, dokter kandungan memaksa memasukkan USG transvaginal ke dalam vagina saya. Saya merasakan sakit hingga menangis sejadi-jadinya.

    Bahkan, saya minta tolong suster untuk menggenggam tangan saya. 

    Dari pemeriksaan itu, dokter justru bingung mengapa saya merasa kesakitan sampai berteriak. Dia pun kaget ketika saya bilang belum pernah berhubungan dengan suami secara ‘benar’.  

    Dokter berkata, kami kurang rileks, kurang intens, dan kurang komunikasi, yang mana saya yakin 100% bukan itu penyebabnya. 

    Bahkan, dokter akan merujuk saya dan suami ke psikolog jika belum juga berhasil melakukan penetrasi setelah konsultasi ini.

    Akan tetapi, hal ini enggan kami lakukan karena kami sangat yakin bukan ini permasalahannya. 

    Bukannya mendapat pencerahan, pemeriksaan ini justru membuat saya dan suami trauma ke dokter kandungan.

    Saya sudah tak mau lagi mencari tahu penyebab kesakitan yang saya alami ketika berhubungan seks selama hampir 3 tahun belakangan. 

    Ketika sudah hampir menyerah, secercah harapan itu tiba. Suami saya secara tidak sengaja mendapat video mengenai vaginismus di laman media sosialnya. 

    Dari video itu, saya berpikir bahwa inilah penyakit yang saya derita. Awalnya memang agak skeptis, tetapi lama kelamaan saya yakin 100% kalau saya sedang melawan penyakit bernama vaginismus ini. 

    Jalan menuju pengobatan

    perempuan atau wanita dengan kondisi kelebihan zat besi

    Vaginismus terjadi karena kekakuan otot vagina yang menyebabkan sulit penetrasi, baik saat berhubungan seks maupun ketika pemeriksaan medis melalui vagina.

    Penyebab kondisi ini tidak diketahui. Bisa dibilang ini lahiriah dan saya salah satu yang dianugerahi penyakit ini.

    Penyakit ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan trauma masa lalu, rasa takut, atau tidak rileks. 

    Saya pun tidak pernah mengalami apapun yang disebut dengan pelecehan seksual hingga merasa ketakutan untuk berhubungan intim.

    Saya merasa yakin terkena penyakit ini karena gejala yang serupa. 

    Misalnya, saat saya merasa sulit dan sakit ketika penetrasi dan ketika melakukan pemeriksaan melalui vagina. 

    Berangkat dari hal itu, kami terus menggali informasi. Saya meresapi semua informasi di instagram @vaginismusindonesia, juga ikut IG live, zoom, hingga seminar online-nya. 

    Hingga akhirnya saya dan suami memantapkan diri untuk berkonsultasi dan berobat ke salah satu dokter kandungan di Bandung. Dari sinilah, kata menyerah itu sirna. 

    Suami tak pernah lelah memberi dukungan

    pengalaman pengobatan vaginismus

    Pengalaman saya dalam melawan vaginismus semakin nyata saat saya memulai konsultasi di Bandung pada Mei 2021.

    Dari hasil konsultasi saya tahu bahwa saya mengidap vaginismus stadium 4. 

    Ini adalah kondisi ketika vagina menutup dengan sendirinya saat disentuh barang apapun, termasuk yang kecil seperti jari atau cotton bud. 

    Diagnosis ini memang sudah seperti prediksi saya. Saya tidak kaget saat mendengar kabar ini dari dokter. 

    Namun, yang membuat saya kaget dan khawatir adalah pengobatan yang perlu saya jalani setelahnya. Saat itu saya berpikir, saya tidak akan bisa menjalaninya. 

    Bagaimana tidak, saat menjalani pengobatan vaginismus pada Agustus 2021, saya perlu mendapat suntik botox sebanyak 30 kali di otot-otot vagina saya.

    Fungsinya untuk melemahkan otot vagina yang kaku, agar alat dilator yang berbentuk lonjong panjang bisa masuk ke dalamnya. 

    Untungnya, prosedur bernama dilatasi berbantu ini dilakukan di ruang operasi dan saya mendapat obat bius total sebelum prosesnya dijalankan.

    Bayangkan saja, bagaimana rasanya mendapat 30 suntikan di lokasi yang sama bila tidak mendapat bius total. 

    Untungnya lagi, saya memiliki suami yang 100% selalu mendukung dan memberi semangat dalam melawan penyakit vaginismus ini.

    Ia mau memahami kondisi saya dan selalu memberikan dorongan positif sejak awal pernikahan hingga akhirnya memutuskan menjalani pengobatan. 

    Suami saya juga yang terus menyemangati ketika saya harus menjalani dilatasi mandiri setelah prosedur dilatasi berbantu itu dilakukan.

    Prosedur dilatasi mandiri ini perlu saya lakukan setiap hari, saat pagi dan sore, selama satu bulan. 

    Fokus ke penyembuhan, bukan sakitnya

    ph vagina

    Meski tak mudah, akhirnya masa sebulan ini berhasil kami lewati. Saya sudah bisa memasukkan alat dilator secara mandiri dengan lancar dan mudah serta tak ada sakit yang terasa. 

    Momen inilah yang membuat saya dan suami akhirnya berani untuk mulai berhubungan seksual kembali, meski masih belum sempurna dan terasa sedikit ngilu di vagina.

    Karena itulah, saya merasa belum sembuh dari vaginismus meski penetrasi sudah mulai bisa dilakukan. 

    Saya belum pernah merasakan kenikmatan saat berhubungan seksual sebagaimana yang orang-orang ceritakan.

    Namun, ini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya karena saya sudah tidak pernah menolak ‘ajakan’ suami saya. 

    Saya pun tetap semangat ke depannya untuk mencapai kesembuhan. Paling tidak, saya bisa merasakan kenikmatan bercinta dulu, baru berencana memiliki momongan kemudian. 

    Untungnya, saya mendapat banyak dorongan untuk dapat melawan penyakit vaginismus ini.

    Selain dari suami, dorongan semangat ini juga saya dapatkan dari psikiater yang berkunjung saat proses pengobatan di rumah sakit. 

    Menurutnya, saya perlu fokus ke penyembuhannya, bukan sakitnya. Saya perlu menutup telinga kanan dan kiri dari berbagai komentar negatif orang-orang. 

    Rasa sakit yang pernah saya rasakan pun perlu saya lupakan untuk mencapai tujuan yang saya inginkan, yaitu kesembuhan dan punya anak. 

    Kartika (30) bercerita untuk pembaca Hello Sehat. 

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Carla Pramudita Susanto

    General Practitioner · Klinik Laboratorium Pramita


    Ditulis oleh Ihda Fadila · Tanggal diperbarui 01/10/2021

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan