backup og meta

Pontang-panting Mencari Calon Pendonor Cangkok Hati

Pontang-panting Mencari Calon Pendonor Cangkok Hati

Suami saya mengalami kerusakan hati akibat infeksi hepatitis B kronis yang terlambat terdeteksi. Setelah satu tahun menjalani pengobatan, kondisinya semakin memburuk hingga jaringan hati sehat yang tersisa sangatlah sedikit. Tak ada harapan untuk sembuh hingga akhirnya kami mendapat kabar bahwa operasi cangkok hati pertama akan segera dilakukan di Indonesia. Inilah pengalaman saya mencari donor cangkok hati untuk menyelamatkan suami dari sirosis hati akibat hepatitis B.

Gara-gara telat mendeteksi hepatitis B

Pengalaman mencari donor cangkok hati

Sudah beberapa hari suami saya, Firmansyah, mengeluhkan kondisi perutnya yang membesar karena kembung. Untuk mengatasinya, ia pun meminta dibelikan obat masuk angin. Namun selama seminggu keluhan perut kembung itu tak juga hilang. Suami saya malah mengalami keluhan lain seperti kedua kakinya yang bengkak, pegal-pegal, dan nyeri. 

“Ah ini cuma kecapaian,” katanya menghibur diri menghadapi berbagai linu dan gejala lainnya. Saya pun percaya sebab dia memang sehari-hari bekerja di pabrik yang membuatnya lebih banyak berdiri ketimbang duduk. Selain itu, suami saya memang sulit dan selalu enggan untuk diajak periksa ke dokter jika belum terlalu kepayahan. 

Suatu ketika bengkak di perut dan kakinya semakin parah dan tak tertahankan. Firman akhirnya mau saya ajak berobat. Saya juga memintanya untuk melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui dengan jelas penyebab sakitnya. 

Pemeriksaan laboratorium tersebut kami lakukan di klinik terpisah. Setelah dua hari, hasil tes akhirnya keluar. 

Malam sebelumnya, Hari Raya Idul Qurban 2009, Firman tampak segar. Kami bisa menjalani salat id dan mengadakan acara makan sate di rumah pada malam harinya. Esoknya, ketika hasil laboratorium keluar, sosok Firman yang tampak sehat berubah seketika. 

Kadar enzim hatinya cukup (SGOT/SGPT) tinggi, sementara trombositnya sangat rendah. Petugas laboratorium menyarankan untuk segera mencari rumah sakit karena hasil laboratoriumnya menunjukkan kondisi kesehatan yang cukup kritis. 

Pontang-panting saya mencari rumah sakit yang memiliki dokter spesialis penyakit dalam yang berpraktik di hari Sabtu. Hingga akhirnya ada respons dari salah satu teman yang juga merupakan dokter spesialis penyakit dalam. Ia menawarkan diri untuk memeriksakan kondisi Firman di rumah sakit tempatnya praktik.

“Ini hepatitis B, sudah sirosis hati,” ujar dokter ini dengan wajah sangat serius. “Hmm itu apa?” pikir saya dalam hati, saya sangat awam dengan penyakit ini. Melihat ekspresi saya yang kosong, dokter menjelaskan secara singkat bahwa sirosis hati merupakan rusaknya organ hati akibat adanya pembentukan jaringan parut. Jaringan parut sendiri disebabkan oleh penyakit liver berkepanjangan seperti infeksi virus hepatitis atau kecanduan alkohol. 

Ia merujuk kami ke rumah sakit yang mampu menangani penyakit hepatitis dengan sirosis hati. Selain itu, dokter tersebut juga memberi saran agar suami saya segera diopname. 

Saya tidak pernah menyangka satu hari setelah Idul Qurban menjadi titik berangkat perjalanan panjang kami mencoba operasi donor hati. 

Kondisi suami saya kian memburuk

Pengalaman mencari donor cangkok hati

Di hari itu Firman langsung dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Tak lama setibanya di sana ia harus segera menjalani ligasi usai pemeriksaan.

Ligasi merupakan prosedur pengikatan organ berongga termasuk pembuluh darah vena untuk menghentikan pendarahan. Suami saya mesti menjalani prosedur ini segara karena pembuluh darahnya mengalami pembengkakan abnormal (varises). Jika tidak dihentikan, varises esofagus tersebut dapat pecah atau bocor sehingga mengalami pendarahan.

Kata dokter, pasien dengan sirosis hati sangat rentan mengalami varises esofagus karena aliran darah dari  sistem pencernaan ke hati tidak lancar. Kondisi ini adalah salah satu komplikasi dari sirosis hati yang bisa menyebabkan kematian. 

Parahnya kondisi sirosis hati yang dialami oleh suami saya membuatnya harus melakukan ligasi seminggu sekali. Kondisi yang tak pernah saya duga sebelumnya. 

Saya pun mencoba berbagi kisah malang yang keluarga kami alami dengan saudara-saudara saya. Mengetahui kondisi yang tengah saya alami, kakak ipar saya berkata, “Siap-siap jadi janda ya, Ta.” 

Saya baru mengetahui kemudian bahwa 7 dari 8 anggota keluarga suami saya memiliki hepatitis B. Penyakit tersebut juga merupakan pemicu meninggalnya ayah mertua saya yang kemudian terserang kanker hati. Kakak-kakak suami saya juga memiliki hepatitis B namun mereka mengetahui kondisi tersebut lebih dini sehingga bisa mencegah perburukan kondisi.

Jalan panjang upaya transplantasi hati

Sejak mengetahui kondisi hepatitis dan sirosis yang diderita, suami saya memutuskan untuk berhenti bekerja. Pihak keluarga pun mewanti-wanti agar fokus berobat dan beristirahat hingga penyakitnya bisa disembuhkan. 

Firman rutin kontrol ke dokter dan melakukan berbagai pemeriksaan. Seminggu sekali dia melakukan ligasi dan setiap harinya disiplin minum obat yang jumlahnya cukup banyak. Selama 6 bulan lebih rutinitas itu kami jalani, namun ternyata hal tersebut tak cukup. 

Pada Mei 2010, dokter menyatakan bahwa kondisi suami saya sudah semakin memburuk. “Cangkok hati satu-satunya cara,” kata dokter waktu itu. 

Hal pertama yang kemudian terlintas di benak saya adalah darimana saya bisa memperoleh biaya untuk operasi tersebut. Saya sulit membayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan terlebih transplantasi hati atau cangkok hati pada orang dewasa saat itu belum pernah sekalipun dilakukan di Indonesia. 

Kebetulan dokter yang menangani suami saya waktu itu adalah bagian dari tim dokter yang akan melakukan transplantasi hati pertama di Indonesia bersama dengan Zhejiang University School of Medicine, Hangzhou, China. Operasi tersebut nantinya akan dipimpin Prof. Shu-Sen Zheng. 

Namun suami saya membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa mengambil keputusan. Banyak hal ia pertimbangkan sebelum bersedia mencoba menjalani operasi ini. Salah satu pertimbangannya adalah Firman khawatir pendonor akan sakit atau mengalami kondisi yang fatal ketika mendonorkan organnya. 

Namun ketakutan akhirnya lenyap setelah kembali berkonsultasi dengan dokter dan dokter tersebut berkata organ hati pendonor dapat tumbuh kembali 100% dalam beberapa bulan. Pertimbangan lain adalah kondisi mendesak kesehatannya karena tingkat fungsi hati suami saya berada di angka 1300 dari minimal 5000. 

Mencari pendonor cangkok hati

Pengalaman mencari donor cangkok hati

Sebagai istri, saya menjadi orang pertama yang dites kecocokannya untuk menjadi pendonor. Namun ternyata golongan darah saya tidak cocok. Sementara itu, anak kami pun tak bisa menjadi pendonor karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan. 

Akhirnya saya menyebar info bahwa kami membutuhkan donor hati. Info tersebut saya kirim ke semua grup chat dan semua kontak yang tersimpan di ponsel saya. Saya juga mengunggah info tersebut di media sosial seperti Kaskus dan Facebook.

Suatu ketika seorang biksu dari India menghubungi saya melalui laman Facebook. Ia mengatakan kesediaannya untuk terbang ke Indonesia dan menjadi pendonor tanpa bayaran sepeser pun. 

Pesan tersebut membuat saya bahagia bukan kepalang. Saya merasa ia seolah menjadi malaikat yang dikirim Tuhan untuk menolong suami saya. Apalagi cara bicara biksu tersebut terkesan sangat tulus. 

Akhirnya saya sepakat dan mengirimi ia biaya untuk periksa kesehatan di rumah sakit di India sebelum datang ke Indonesia. Di sana ia menjalani pemeriksaan kecocokan hati. Namun ternyata biksu ini sempat mendonorkan ginjalnya sehingga dokter di sana tak mengizinkan ia untuk menjadi pendonor organ penting lainnya. 

Harapan itu seketika lenyap.

Belasan calon pendonor telah diperiksa namun tidak ada satu pun yang cocok. Padahal satu calon pendonor saja bisa menghabiskan Rp 15 juta untuk pemeriksaan kesehatan dan kecocokan pendonor.

Di bulan Desember 2010, tim dokter transplantasi hati telah berhasil melakukan dua prosedur transplantasi hati dewasa pertama di Indonesia. Keduanya ini saya dengar mendapat donor dari kerabat dekat, salah satunya mendapat donor dari putrinya langsung. 

Sedangkan saya masih berkutat mencari pendonor ke sana sini. 

Tertipu calon pendonor hati

Upaya mencari calon pendonor itu bukan hanya menghabiskan banyak biaya namun menimbulkan banyak kecewa sebab saya sempat tertipu beberapa kali. Salah satu yang paling membekas adalah ketika saya tertipu oleh calon pendonor dari Surabaya. 

Calon pendonor tersebut berkata bahwa ia ingin mendonorkan hatinya karena baru saja ditinggal calon istri yang juga meninggal akibat penyakit hati. Terenyuh dengan ceritanya, saya akhirnya percaya bahwa ia bisa menolong suami saya. 

Seperti biasa, saya kemudian menyiapkan administrasi untuk pemeriksaan calon pendonor di rumah sakit terdekat dengannya. Setelah administrasi selesai saya kemudian mengirim biaya pemeriksaan ke rumah sakit tersebut. 

Namun calon pendonor itu marah dan berkata, “Ibu kenapa nggak transfer ke saya? Saya kan sudah bersedia donor dengan suka rela.” Merasa tak enak hati, saya akhirnya mengambil uang telah saya kirimkan ke rumah sakit dan mengirimnya ke rekening pribadi si calon pendonor. 

Pikiran buruk yang pernah terlintas di benak saya akhirnya terjadi. Calon pendonor itu hilang tak ada kabar dan tak bisa saya hubungi lagi setelah saya mengiriminya uang. 

Bukan sekali dua kali saya mengalami hal tersebut. 

Pengumuman telah disebar di mana-mana, ratusan juta uang telah keluar, belasan calon telah diperiksa. Pilihannya selalu jatuh pada penipuan atau ketidakcocokan calon pendonor. 

Rasa lelah fisik dan mental menggerogoti saya, membuat saya terkadang tidak fokus menyaring calon-calon pendonor hingga akhirnya berulang kali tertipu. Selain itu, saya juga harus berhati-hati agar tidak masuk jebakan orang-orang jahat penjual organ. 

Soal transplantasi atau cangkok organ tubuh di Indonesia saat itu memang sudah dilindungi undang-undang kesehatan. Tapi tindak pidana dan penipuan jual beli organ harus tetap diwaspadai.

Mendapatkan donor cangkok hati 

Pengalaman mencari donor cangkok hati

Jelang pertengahan 2011 saya memiliki dua calon pendonor hati untuk suami saya. Keduanya berasal dari Jakarta sehingga saya bisa langsung bertatap muka dengan si calon pendonor itu. Keduanya laki-laki berusia 20-an yang tampak sehat. Mereka berdua saya periksakan langsung di RSCM. 

Satu demi satu tahap pemeriksaan dilalui dengan lancar dan keduanya sama-sama dinyatakan cocok hingga lolos screening tahap akhir. Dokter menyarankan memilih satu yang kondisinya dinilai paling sehat. 

Saya mengikuti saran dokter meski pemuda ini sebenarnya tak terlalu saya sukai karena cara bicaranya yang kasar dan selalu meminta uang dengan berbagai alasan. Kondisi tersebut membuat teman saya memberi saran untuk menulis surat kontrak yang berisi masing-masing hak dan kewajiban dengan si calon pendonor tersebut agar tak ada masalah di kemudian hari.

Namun saran tersebut saya abaikan. Saya memilih untuk memercayai sepenuhnya si calon pendonor yang telah dengan suka rela mendonorkan organnya untuk suami saya. 

Di malam sebelum hari H operasi cangkok hati, saya tak bisa tidur sama sekali. Beberapa bulan terakhir ini memang saya sulit tidur nyenyak dan kurang istirahat, namun rasa tegang menghadapi esok hari membuat saya benar-benar terjaga. 

Pada Juli 2011, operasi cangkok hati yang berjalan selama 12 jam akhirnya berhasil dilakukan. Potongan hati yang dicangkokkan berhasil diterima dengan baik oleh suami saya. 

Ia berhasil hidup dengan baik setelah menjalani cangkok hati selama satu tahun lebih. Namun kami tak bisa benar-benar menjaga kesehatannya. Firman harus mengonsumsi banyak obat seumur hidupnya, namun sejumlah obat tak bisa kami beli secara terus-menerus. 

Satu tahun setelah operasi, suami saya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit lain. 

Pengalaman mencari pendonor hati memberi saya pelajaran bahwa membuat surat kontrak antara pendonor dan penerima donor, seperti yang disarankan teman saya, sangat penting. Adanya kesepakatan hitam di atas putih antara calon pendonor dan penerima donor dapat membantu memberi batas hak dan kewajiban masing-masing pihak. 

Sejak operasi cangkok hati dijalankan, perasaan utang budi yang saya miliki seakan dimanfaatkan oleh si pendonor. Berkali-kali ia meminta uang untuk biaya membuka usaha mulai dari berjualan es kelapa sampai membuka tempat pencucian mobil dan motor. Tak ada satu pun dari usaha tersebut yang berhasil. 

Selain meminta uang untuk biaya usaha, hampir tiap bulan juga ia meminta uang dengan berbagai alasan lain. Saya baru bisa memutus hubungan dengan pendonor tersebut setelah suami saya meninggal dunia.

Marzuarita (Ita) Ketua Komunitas Peduli Hepatitis bercerita untuk pembaca Hello Sehat.

[embed-health-tool-bmr]

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.

  • Penuturan Marzuarita, istri dari Maryanti alias Firmasnyah, pasien ketiga di Indonesia yang menjalani operasi cangkok hati.

Versi Terbaru

18/06/2021

Ditulis oleh Ulfa Rahayu

Ditinjau secara medis oleh dr. Andreas Wilson Setiawan, M.Kes.

Diperbarui oleh: Rina Nurjanah


Artikel Terkait

Pengalaman Hamil dan Melahirkan Anak Sehat Meski HIV/AIDS

12 Jam Mencari Vaksin untuk Istri Hamil dengan Hepatitis B


Ditinjau secara medis oleh

dr. Andreas Wilson Setiawan, M.Kes.

Magister Kesehatan · None


Ditulis oleh Ulfa Rahayu · Tanggal diperbarui 18/06/2021

ad iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

ad iconIklan
ad iconIklan