Akhirnya saya memeriksakan diri dan, benar dugaan dokter tersebut, saya telah terinfeksi HIV. Saya tak memeriksakan si kembar. Saya tak cukup punya nyali menghadapi risiko kabar buruk lain yang mungkin saya terima. Pernyataan bahwa saya telah terinfeksi virus ini saja sudah membuat pikiran saya kacau.
Kenyataan bahwa penyakit ini tak bisa disembuhkan membuat saya semakin terpuruk setelah didera kenyataan pahit berkali-kali. Kondisi mental membuat saya membiarkan si kembar diurus oleh keluarga.
Meski terdengar sebagai pembelaan diri, tapi kemalangan yang saya alami bertubi-tubi di usia tersebut membuat saya mencari pelarian pada obat-obatan dan alkohol. Saya ingin lari dan bersembunyi dari rasa takut yang terasa menyiksa. Saya takut akan masa depan saya, terlebih saya takut akan kemungkinan si kembar juga terinfeksi HIV. Bagaimana nasib anak saya nanti?
Selama satu tahun hidup saya seperti layangan putus, melayang-layang tak tentu arah. Hingga akhirnya saya sadar bahwa saya memiliki anak kembar yang menjadi tanggung jawab saya. Akhirnya saya menelepon salah seorang kerabat dan meminta tolong untuk membawa si kembar untuk menjalani pemeriksaan HIV.
Kabar tak terduga itu datang, kedua anak saya negatif HIV. Sungguh sebuah keajaiban, kabar gembira yang membuat saya kembali bersemangat.
Bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang tidak meminum obat antivirus HIV atau antiretroviral (ARV) selama hamil, peluang melahirkan bayi negatif HIV adalah 60-65%. Jadi kemungkinan kedua bayi kembar saya terinfeksi HIV sebesar 35-40%.
Namun, jika ibu dengan HIV/AIDS rajin melakukan terapi obat sebelum dan selama merencanakan kehamilan, maka risiko penularan HIV secara vertikal hanya 0,2%. Saya merasa bahagia mendengar kabar tersebut. Seakan-akan ada harapan baru bagi saya dan si kembar.
Kehamilan kedua setelah rutin minum obat

Kabar baik tersebut memberi kekuatan saya untuk bangkit. Saya mulai mencari pertolongan terkait terapi obat bagi ODHA. Untuk itu saya pergi ke puskesmas hingga akhirnya mengenal perkumpulan para ODHA dan Yayasan Pelita Ilmu (YPI).
Bersama rekan sesama ODHA, kami saling menguatkan. Saya pun rutin meminum obat ARV secara teratur.
Sembilan tahun setelah ditinggal suami, saya menikah lagi dengan seorang pria yang juga HIV positif. Tapi keharmonisan rumah tangga kami hanya berlangsung sesaat. Banyaknya perbedaan yang kami rasakan membuat pertengkaran demi pertengkaran terjadi terus menerus.
Di tengah kondisi rumah tangga yang karut marut, saya dinyatakan hamil. Kehamilan yang saya sadari setelah lebih dari dua minggu telat datang bulan. Namun ini merupakan kehamilan yang tak direncanakan.
Bagi pasangan ODHA, kehamilan seharusnya direncanakan sebaik mungkin dengan mengikuti program PMTCT (Prevention of mother-to-child transmission). Program ini dirancang untuk mencegah penularan HIV/AIDS secara vertikal dari ibu ke janin yang dikandungannya selama kehamilan.
Meski begitu, tak banyak kekhawatiran yang saya rasakan. Meskipun banyak orang mencemaskan apakah bayi yang saya kandung akan terinfeksi atau tidak. Saya sudah cukup paham mengenai kondisi kesehatan diri sendiri.
Saya dan suami sama-sama rajin minum obat ARV hingga jumlah virus dalam tubuh kami tidak lagi terdeteksi. Sehingga saya yakin peluang saya melahirkan anak negatif HIV itu sangat besar.
Namun, kehamilan ini nyatanya tak juga membawa kedamaian dalam rumah tangga saya. Suami saya malah menuding anak yang saya kandung adalah hasil perselingkuhan, hal yang tak pernah saya lakukan.
Saya tak mau menghabiskan energi untuk meladeni tuduhan tersebut. Maka saya memilih menjalani proses kehamilan ini seorang diri. Setiap bulan saya pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatan kandungan.
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar