
Hingga hari perkiraan lahir (HPL) tiba, istri saya belum juga mengalami kontraksi. Maka di hari perkiraan lahir itu, Jumat pagi sekitar pukul 09.00, saya dan istri segera pergi ke puskesmas untuk melapor.
HPL memang sudah tiba tapi istri saya belum juga mengalami pembukaan. Awalnya istri saya akan diminta untuk pulang dan istirahat di rumah. Namun karena tekanan darahnya tinggi, dia dianjurkan dirawat di ruang bersalin. Namun, puskesmas tak membuka layanan perawatan tersebut di tengah situasi pandemi.
Ketika istri saya beristirahat, seorang petugas puskesmas menghampiri saya dan berkata bahwa saya harus menyiapkan uang sebesar Rp 3-4 juta untuk membeli vaksin hepatitis B. “Di (puskesmas) kita nggak ada, jadi harus beli dari distributor, Pak,” kata petugas itu.
Mendengar kabar tersebut saya terkejut tak menyangka. Rasanya ingin marah sebab saya merasa bahwa kami sudah terdaftar sebagai penerima vaksin, namun kenapa vaksin tersebut tak tersedia saat HPL. Namun saya tak berkata apapun.
Selain itu, kami diberi pilihan rumah sakit untuk perawatan karena istri saya belum mengalami kontraksi dan tekanan darahnya tinggi. Lalu saya memilih Rumah Sakit Mitra Husada karena saya pikir fasilitasnya lebih lengkap. Saya khawatir jika istri saya harus melahirkan secara sesar.
Setibanya di rumah sakit, ternyata tekanan darah istri saya normal. Saya hanya bersyukur dan tidak pikir pusing kenapa hasil pemeriksaan di puskesmas dan rumah sakit bisa berbeda. Namun istri saya tetap di rumah sakit karena sudah HPL.
Pihak rumah sakit memberi pilihan pada istri saya mau diinduksi atau mau lahiran sesar. Istri saya memilih diinduksi. Pihak rumah sakit pun kembali melakukan pemeriksaan darah untuk memastikan istri saya positif hepatitis B.
Setelah pemeriksaan itu, pihak rumah sakit memberi tahu bahwa saya harus menyiapkan vaksin untuk bayi kami nanti, paling lama 12 jam setelah kelahiran. Hal ini karena rumah sakit tidak menyediakan ataupun memperjualbelikan vaksin hepatitis untuk bayi.
“Vaksin hepatitis itu tanggung jawab puskesmas,” begitu kira-kira ucap petugas rumah sakit. “Kalau vaksin tidak ada dalam 12 jam, Bapak bisa membuat surat hitam diatas putih yang menyatakan bahwa Bapak tidak menyediakan vaksin untuk bayi.”
Pontang-panting mencari vaksin hepatitis

Hari sudah menunjukkan pukul 17.00 sore. Pusing, takut, dan marah menyelimuti saya di sore ketika istri saya sedang berjuang untuk melahirkan anak ketiga kami. Saya bingung bagaimana caranya mendapatkan vaksin hepatitis untuk anak kami sementara saya tak memiliki uang saat itu. Sebab, pekerjaan saya batal semua semenjak pandemi COVID-19 melanda.
Saya memutuskan untuk turun ke parkiran karena lorong rumah sakit terasa menyesakkan bagi saya yang sedang mumet. Saya telepon sejumlah kerabat dan kawan dekat untuk meminjam uang demi membeli vaksin. Namun mereka juga sama-sama sedang kesusahan. Sebagian mentransfer uang Rp 100-200 ribu untuk membantu dan mendoakan keselamatan istri saya yang hamil dengan hepatitis dan anak yang akan dilahirkan.
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar