backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Waspada, Ini 10 Penyebab Self Harm pada Anak dan Penanganannya

Ditinjau secara medis oleh dr. Aisya Fikritama, Sp.A · Kesehatan anak · RS UNS Solo


Ditulis oleh Reikha Pratiwi · Tanggal diperbarui 30/01/2024

    Waspada, Ini 10 Penyebab Self Harm pada Anak dan Penanganannya

    Bukan hanya orang dewasa, self harm juga bisa terjadi pada anak dan remaja. Maka dari itu, orangtua harus selalu waspada terkait perilaku anak yang mencurigakan dan mungkin mengindikasikan risiko self harm. Ketahui penyebab dan cara mengatasi self-harm pada anak dan remaja di bawah ini.

    Penyebab self harm pada anak

    Cara Mencegah Depresi pada Anak

    Self harm adalah perilaku atau kegiatan melukai diri sendiri dengan sengaja tanpa berniat untuk bunuh diri.

    Meski demikian, penelitian terkini menunjukan bahwa jika perilaku ini terjadi terus-menerus, maka anak bisa memiliki risiko yang lebih tinggi untuk bunuh diri.

    Perilaku menyakiti diri sendiri atau self harm pada anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor kompleks.

    Kondisi ini pun sering kali merupakan hasil dari kombinasi beberapa faktor. Beberapa penyebab potensialnya termasuk berikut ini.

    1. Depresi

    Penyakit mental pada anak berupa depresi bisa memicu anak menggunakan self harm sebagai cara untuk mengatasi perasaan mereka.

    Depresi dapat menyebabkan anak merasa terjebak dalam perasaan negatif yang sulit diatasi.

    Akibatnya, anak mungkin mencoba mencari cara untuk melepaskan atau meredakan perasaan tersebut melalui rasa sakit dengan menyakiti diri sendiri.

    Melalui self harm, anak mungkin juga merasa bisa mengalihkan perhatian dari rasa sakit emosional yang mendalam, bahkan jika itu hanya bersifat sementara.

    2. Gangguan kecemasan

    Anak yang mengalami kecemasan berlebihan atau gangguan kecemasan bisa merasa terbebani, sehingga mencari cara untuk meredakan perasaan tersebut, salah satunya dengan self harm.

    Self harm dapat berfungsi sebagai mekanisme koping yang tidak sehat untuk meredakan ketegangan emosional dan sementara mengalihkan perhatian dari kecemasan yang dialami.

    Meskipun mungkin hanya bersifat sementara, tindakan tersebut memberikan “pembebasan” dari ketidaknyamanan emosional.

    Beberapa bentuk self harm, seperti memotong atau mencuci tubuh sendiri secara keras, juga dapat dianggap sebagai ekspresi fisik dari kecemasan yang sulit diungkapkan secara verbal.

    3. Kekerasan atau pelecehan

    Anak yang mengalami kekerasan fisik, emosional, atau pelecehan seksual dapat mengalami kesulitan dalam mengatasi emosi mereka.

    Pengalaman kekerasan atau pelecehan dapat meningkatkan risiko anak mengalami gangguan kesehatan mental, seperti PTSD (gangguan stres pascatrauma).

    Akibatnya, anak mungkin menggunakan self harm sebagai cara untuk mengatasi dan mengelola trauma yang dialami.

    Self harm dapat menjadi cara bagi anak untuk mengungkapkan rasa tidak berdaya atau kehilangan kendali atas kehidupan mereka.

    Hal ini terutama mungkin terjadi jika pelecehan atau kekerasan pada anak menyebabkan perasaan tidak berdaya.

    4. Kehilangan orang tercinta

    Kehilangan orang tercinta, seperti kematian salah satu dari orangtua, saudara, atau teman, dapat menjadi penyebab self-harm pada anak.

    Rasa kehilangan tersebut dapat menciptakan perasaan trauma dan duka yang mendalam hingga anak mungkin mengalami kesulitan mengatasi emosi yang terkait.

    Anak juga mungkin mengalami rasa bersalah atau menyalahkan diri sendiri terkait kehilangan tersebut. Pemikiran negatif ini dapat meningkatkan risiko self harm.

    Self harm bisa menjadi cara untuk meredakan perasaan tersebut atau mengekspresikan kehilangan yang dirasakan.

    5. Tekanan akademis

    Beban akademis yang tinggi dan harapan yang tidak realistis dapat menciptakan stres berlebihan pada anak.

    Anak-anak yang menghadapi tekanan akademis tinggi mungkin merasa tidak mampu memenuhi harapan orangtua, guru, atau masyarakat. Perasaan ini dapat menciptakan rasa putus asa dan kecemasan yang meningkat.

    Rasa takut akan kegagalan ini bisa menjadi beban berat yang mendorong mereka menuju perilaku self harm.

    Tekanan akademis yang tinggi juga sering kali menyebabkan anak-anak kehilangan waktu untuk rekreasi dan kegiatan santai.

    Kurangnya waktu untuk bersantai dan melepaskan stres dapat meningkatkan risiko self harm.

    6. Bullying 

    Perundungan atau bullying pada anak dapat menciptakan tekanan emosional dan psikologis yang signifikan, yang menyebabkan rasa sakit dan kesulitan mengatasi emosi.

    Anak yang mengalami bullying bisa merasa terisolasi atau kesepian, sehingga mungkin mencoba menggunakan self harm untuk meredakan perasaan tersebut.

    Apalagi jika anak tidak memiliki dukungan sosial yang cukup, sehingga ia mungkin merasa tidak memiliki tempat untuk berpaling ketika menghadapi kesulitan, terutama jika bullying terjadi terus-menerus.

    Pada kondisi ini, self harm bisa menjadi respons terhadap tekanan yang terjadi sebagai bentuk koping yang tidak sehat.

    7. Perbandingan sosial

    Perasaan tidak mampu bersaing atau tidak cukup baik dibandingkan dengan orang lain dapat menciptakan tekanan emosional.

    Anak mungkin merasa tertekan untuk memenuhi atau melebihi standar sosial tertentu, baik itu dalam hal penampilan fisik, pencapaian akademis, atau prestasi lainnya.

    Tekanan untuk sesuai dengan standar sosial atau perasaan kurangnya pencapaian dapat menciptakan stres dan kecemasan yang dapat mengarah pada perilaku self harm.

    Self harm dilakukan sebagai cara untuk mengatasi rasa tidak berdaya dan kecewa terhadap diri sendiri.

    8. Masalah identitas atau orientasi seksual

    Anak remaja yang mengalami konflik terkait identitas gender atau orientasi seksualnya mungkin merasa kesulitan untuk diterima oleh lingkungannya.

    Anak-anak mungkin harus menghadapi stigmatisasi, diskriminasi, atau penolakan terkait orientasi seksual mereka.

    Akibatnya, anak bisa mengalami tekanan mental dan emosional yang tinggi. Rasa takut untuk diakui atau diterima oleh lingkungan sosial dapat menyebabkan isolasi dan kesepian.

    Pada akhirnya, self harm pada anak remaja menjadi cara untuk meredakan perasaan kesepian dan terisolasi tersebut.

    9. Penyalahgunaan zat

    Penggunaan zat-zat adiktif atau narkotika pada anak dapat memperburuk masalah kesehatan mental anak dan meningkatkan risiko self-harm.

    Ini karena penggunaan zat tertentu dapat meningkatkan risiko depresi, kecemasan, hingga menimbulkan pemikiran bunuh diri.

    Anak yang mengalami stres atau kesulitan emosional mungkin menggunakan zat tersebut sebagai mekanisme koping.

    Ketika efek zat mereda, anak mungkin mencari cara lain, seperti self harm, untuk mengatasi perasaan yang sulit.

    10. Kurangnya keterampilan mengatasi stres

    Anak yang tidak memiliki keterampilan untuk mengelola emosi dan stres mungkin mencari cara yang tidak sehat untuk mengatasi masalahnya, termasuk self harm.

    Anak mungkin kesulitan mengenali dan mengungkapkan emosi yang dirasakan melalui kata-kata.

    Kurangnya kemampuan ini dapat meningkatkan risiko self harm sebagai cara untuk mengekspresikan atau meredakan perasaan yang muncul terkait dengan stres.

    Kapan perlu membawa anak ke psikolog?

    Dalam banyak kasus, self harm adalah tanda bahwa anak tersebut mengalami kesulitan sehingga membutuhkan dukungan serta bantuan profesional. Pasalnya, dilansir dari American Academy of Pediatrics, penelitian menunjukkan bahwa self harm juga bisa memiliki risiko lebih tinggi melakukan bunuh diri pada anak. Maka dari itu, penting bagi orangtua dan orang-orang di sekitar anak untuk mencari bantuan dari ahli kesehatan mental, seperti psikiater atau psikolog, untuk membantu mengatasi masalah anak.

    Cara menghadapi self harm pada anak

    penyebab anemia pada remaja

    Menghadapi self harm pada anak dan remaja merupakan tantangan yang sulit dan memerlukan pendekatan yang sensitif.

    Namun, ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh orangtua dan anak untuk menghadapi kondisi ini.

    1. Bagi orangtua

    Berikut adalah tips atau cara menghadapi self harm pada anak yang bisa orangtua lakukan.

    • Jangan menyalahkan diri sendiri. Penting untuk diingat bahwa self harm adalah tanda kesulitan emosional, dan bukan hanya tanggung jawab orangtua.
    • Tunjukkan dukungan dan pemahaman. Jelaskan pada anak bahwa Anda mendukungnya dan mencoba memahami apa yang mereka alami. Jangan langsung menilai atau menyalahkan anak.
    • Ajak bicara dengan lembut. Ajak bicara anak dengan lembut dan tanpa menghakimi. Dengarkan dengan sabar dan tunjukkan bahwa Anda siap mendengarkan tanpa memberikan tanggapan negatif.
    • Bangun kepercayaan. Bangun kepercayaan dengan anak. Jangan memaksa anak untuk berbicara, tetapi pastikan mereka tahu bahwa Anda selalu siap mendengarkan dan membantu.
    • Pahami penyebabnya. Cobalah memahami penyebab self harm dan faktor pemicunya. Ini dapat membantu dalam merencanakan dukungan dan pencegahan yang lebih efektif.
    • Buat kondisi rumah lebih aman. Anda bisa coba buat kondisi rumah menjadi lebih aman untuk anak dengan menyimpan dan menyembunyikan benda-benda tajam, seperti pisau, pisau cukur, dan barang beracun.
    • Batasi penggunaan gadget dan media sosial. Penggunaan gadget dan media sosial yang berlebihan bisa menyebabkan gangguan tidur atau munculnya rasa iri, ketakutan, dan penolakan terhadap diri sendiri pada anak.
    • Orangtua juga perlu mengurangi main gadget. Penelitian menunjukan, remaja lebih rentan mengalami depresi jika orangtuanya menghabiskan lebih dari 8 jam sehari untuk bersosial media.
    • Cari bantuan profesional. Segera cari bantuan dari ahli kesehatan mental, seperti psikiater atau psikolog anak. Mereka memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk membantu anak mengatasi masalah yang dialami.
    • Buat kesepakatan keselamatan. Diskusikan tentang kesepakatan keselamatan bersama anak, termasuk cara anak bisa mencari bantuan jika merasa ingin melukai diri sendiri. Pastikan mereka memiliki nomor darurat atau kontak penting.

    2. Bagi anak

    Bagi anak remaja itu sendiri, self harm bisa diatasi dengan melakukan cara-cara berikut.

    • Berbicara kepada orangtua. Buka diri kepada orangtua dan berbicara tentang perasaan serta pengalaman yang mendorong perilaku self harm. Jangan takut untuk meminta dukungan.
    • Temukan alternatif koping yang sehat. Belajarlah mengenali stres dan temukan alternatif koping yang sehat, seperti berolahraga, bermeditasi, atau menulis jurnal. Coba atasi emosi dengan cara yang lebih positif.
    • Terlibat dalam terapi atau konseling. Coba jalani sesi terapi atau konseling untuk membantu mengatasi masalah emosional. Pelajari keterampilan mengatasi stres dan memahami akar penyebab dari self harm.
    • Gunakan rencana keselamatan. Ikuti rencana keselamatan yang telah disepakati bersama orangtua atau ahli kesehatan mental. Ini mungkin melibatkan cara untuk menghindari pemicu self harm.
    • Dukungan dari teman atau komunitas. Minta dukungan dari teman-teman atau anggota komunitas yang dapat memberikan dukungan positif. Perasaan terhubung dengan orang lain dapat membantu mengurangi isolasi sosial.
    • Patuhi perawatan dan medikasi. Jika mendapatkan resep obat atau perawatan tertentu, pastikan untuk mematuhi perawatan tersebut sesuai petunjuk dokter.

    Selalu penting untuk menghubungi ahli kesehatan mental untuk membimbing langkah-langkah selanjutnya dan memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh anak.

    Namun, tidak hanya anak, tetapi juga orangtua perlu menjaga kesehatan mental mereka sendiri selama proses ini.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Aisya Fikritama, Sp.A

    Kesehatan anak · RS UNS Solo


    Ditulis oleh Reikha Pratiwi · Tanggal diperbarui 30/01/2024

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan