Pada zaman yang serbapraktis ini, Anda dapat menemukan makanan olahan di mana saja. Dari toko-toko swalayan hingga pasar tradisional, hampir semuanya menyediakan makanan yang diolah dalam berbagai bentuk dan kemasan.
Ditinjau secara medis oleh dr. Patricia Lukas Goentoro · General Practitioner · Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI)
Pada zaman yang serbapraktis ini, Anda dapat menemukan makanan olahan di mana saja. Dari toko-toko swalayan hingga pasar tradisional, hampir semuanya menyediakan makanan yang diolah dalam berbagai bentuk dan kemasan.
Sayangnya, Anda mungkin juga mengetahui bahwa konsumsi bahan pangan olahan secara berlebihan bisa berakibat buruk bagi kesehatan. Apa alasannya dan bagaimana cara menghindari berbagai dampak tersebut?
Makanan olahan adalah berbagai makanan yang telah melewati proses tertentu, seperti pemanasan, pengeringan, pengalengan, pembekuan, pengemasan, dan sebagainya. Proses ini sengaja dilakukan pada makanan dengan suatu tujuan.
Contohnya, proses pengeringan dan pembekuan bertujuan agar makanan dapat disimpan lama. Sementara itu, proses pemanasan mungkin dilakukan untuk menambah nilai gizi, memperkaya cita rasa, atau mematikan bakteri berbahaya.
Dengan tujuan tersebut, tidak semua makanan yang telah diolah akan menimbulkan efek buruk bagi kesehatan. Dampak negatif ini biasanya berasal dari zat aditif atau proses tertentu yang menghilangkan kandungan gizi suatu bahan makanan.
Produk-produk yang termasuk dalam kategori makanan antara lain:
Makanan yang diolah melalui proses panjang belum tentu tidak sehat, tapi tetap dapat merugikan kesehatan apabila dikonsumsi secara berlebihan. Pasalnya, kandungan gizi makanan ini berbeda dengan makanan segar dan alami.
Di bawah ini beberapa alasan mengapa sebagian besar makanan olahan dinilai membawa dampak buruk bagi kesehatan.
Makan makanan tinggi gula dapat merugikan kesehatan. Gula akan menambah kalori sehingga meningkatkan risiko kelebihan berat badan dan obesitas. Tak hanya itu, kadar gula yang tinggi dalam darah juga dapat menyebabkan diabetes.
Proses pengawetan dan pengeringan makanan dapat menambah kandungan garam (natrium) pada produk akhir. Konsumsi natrium melebihi batas asupan harian terbukti meningkatkan risiko hipertensi, stroke, dan penyakit jantung.
Produsen makanan olahan kerap menambahkan lemak trans untuk menghasilkan rasa dan tekstur yang diinginkan. Melansir laman Mayo Clinic, lemak ini dapat meningkatkan kadar kolesterol jahat dan memicu pembentukan plak pada pembuluh darah.
Sebagian besar makanan yang diolah mengandung banyak kalori, tapi miskin zat gizi lain. Produsen biasanya menyiasati hal ini dengan menambahkan vitamin dan mineral tiruan, tapi zat gizi ini tentu berbeda dengan yang didapatkan dari makanan alami.
Zat gizi lainnya yang biasanya hilang dari makanan olahan ialah serat. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa kurangnya asupan serat bisa meningkatkan risiko gangguan pencernaan, penyakit diabetes, penyakit jantung, hingga kanker usus besar.
Makanan yang diolah umumnya mengandung banyak zat aditif dengan beragam fungsi. Ada bahan pewarna makanan, perisa buatan, pengawet, dan lainnya. Konsumsi zat aditif tersebut dalam jangka panjang bisa memengaruhi kondisi tubuh Anda.
Melepaskan diri dari makanan olahan tidaklah mudah. Tidak bisa dipungkiri, makanan kemasan, sayuran beku, dan daging olahan membuat hidup jadi lebih praktis. Meski begitu, bukan berarti Anda tidak dapat membatasi asupannya.
Di bawah ini sejumlah tips yang bisa Anda lakukan untuk menghindari efek negatif makanan yang diolah bagi kesehatan.
Makanan olahan merupakan makanan yang telah melewati berbagai proses, seperti pengemasan, pengeringan, atau pengawetan. Kendati berguna, proses-proses tersebut kerap memengaruhi nilai gizi makanan yang menjadi bahan pokoknya.
Tentu tidak ada salahnya memilih makanan ini ketika Anda tidak punya waktu untuk memasak. Meski begitu, pastikan Anda membatasi asupannya agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan.
Catatan
Hello Health Group tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.
Ditinjau secara medis oleh
dr. Patricia Lukas Goentoro
General Practitioner · Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI)
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar