Penyakit mental seperti depresi menempati peringkat kelima sebagai penyebab kematian dan disabilitas di Indonesia menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2019. Pengidap depresi cenderung menyakiti diri sendiri dan memiliki pikiran untuk bunuh diri. Demi memudahkan diagnosis, para ilmuwan meneliti dan mengembangkan tes darah biormarker untuk mendiagnosis depresi. Seperti apa studi dan gambaran tes kesehatannya?
Cari tahu lebih banyak mengenai depresi dan penyakit mental lainnya di sini!
Berbagai tes untuk menegakkan diagnosis depresi
Sebelum membahas temuan baru mengenai tes darah untuk depresi, ada baiknya Anda mengenali lebih dahulu penyakit depresi dan tes kesehatan yang selama ini digunakan.
Depresi adalah gangguan suasana hati yang membuat seseorang terus merasa sedih dan kehilangan minat pada berbagai hal. Jadi, bisa disimpulkan penyakit mental ini memengaruhi pikiran dan perilaku pengidapnya sehingga dapat menyebabkan masalah emosional dan fisik.
Depresi memiliki spektrum atau jenis yang luas. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke-5 (DSM-5), depresi memiliki ciri seperti berikut.
- Suasana hati disforik (rasa tidak tenang, gelisah atau ketidakpuasan yang mendalam).
- Penurunan minat dalam kegiatan sehari-hari.
Gejala tersebut dirasakan setidaknya selama 2 minggu, dan tidak dapat dijelaskan dengan proses lain yang diketahui menyebabkan gejala depresi. Depresi dapat dinilai ringan, sedang, atau berat tergantung pada jumlah dan keparahan gejala.
Gejala depresi sering dijumpai pada orang yang sakit secara medis. Beberapa contoh penyakit fisik yang dapat menyebabkan depresi misalnya adalah stroke yang menimbulkan kerusakan otak struktural atau gangguan pada kelenjar tiroid.
Pengidap depresi sering mengalami kesulitan melakukan aktivitas normal sehari-hari dan merasa seolah-olah hidup tidak layak untuk dijalani. Mereka juga merasakan kesedihan tidak berujung, lebih mudah marah dan frustasi terhadap hal-hal kecil.
Selain itu pengidap depresi umumnya alami susah tidur, tubuh kelelahan, dan terus merasa bersalah atas kegagalan di masa lalu.
Kemunculan gejala depresi ini perlu diperhatikan karena nantinya bisa membantu dokter dalam pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis. Pasien kemudian akan mengikuti evaluasi psikiatri dan mengisi kuesioner.
Kadang dokter ahli kejiwaan juga merekomendasikan pasien untuk menjalani tes darah. Tujuan tes darah ini untuk melihat tanda-tanda penyakit fisik seperti infeksi, gangguan hormon atau menguji fungsi tiroid, yang jika bermasalah kerap kali menimbulkan gejala yang mirip dengan depresi.
Spesialis kejiwaan kemudian akan menggunakan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association sebagai pedoman untuk menegakkan diagnosis penyakit.
Tes biomarker bisa membantu mendiagnosis depresi
Dalam salah satu jurnal Neuropsychiatric disease and treatment dijelaskan bahwa terdapat tiga mekanisme umum yang mempengaruhi biomarker yang berhubungan dengan depresi.
Ini meliputi neurotransmitter (molekul yang mengirimkan sinyal pada sel saraf), HPA aksis (jalur hipotalamus-hipofisis di otak), dan sistem imunitas atau kekebalan tubuh. Penelitian dilakukan dengan menganalisis gen (RNA) dari sampel darah pasien.
Sebelumnya tes darah memang digunakan untuk menegakkan diagnosis gangguan suasana hati. Akan tetapi, fungsinya ini hanya sebatas sebagai tes pendukung untuk menyingkirkan masalah kesehatan lain.
Contohnya, tes CBC (complete blood count) digunakan untuk mengetahui jumlah darah terkait anemia dan memeriksa adanya infeksi. Kemudian tes fungsi tiroid untuk mengetahui kadar hormon tiroid dalam darah.
Baik anemia, infeksi, maupun masalah pada kelenjar tiroid menimbulkan gejala yang sama dengan penyakit depresi, yaitu kelelahan dan terganggunya suasana hati.
Kabar baiknya, sebuah studi yang dilakukan oleh tim riset Indiana University School of Medicine dengan National Institute of Health melaporkan temuan terkait tes darah dan penyakit depresi.
Studi yang diterbitkan bulan April 2021 pada jurnal Molecular Psychiatry ini menyoroti dasar biologis depresi dan menawarkan tes darah yang menjanjikan untuk membantu mendiagnosis dan menentukan pengobatan yang sesuai.
Penelitian ini bertujuan untuk melacak keinginan bunuh diri, rasa sakit, gangguan stres pasca-trauma, dan penyakit Alzheimer ke dalam biomarker darah.
Pada studi tersebut, peneliti mengembangkan tes darah yang terdiri dari biomarker RNA, yang dapat membedakan seberapa parah depresi pasien, risiko depresi berat di masa depan, dan risiko gangguan bipolar di masa depan. Tes ini juga menginformasikan pilihan obat yang disesuaikan untuk pasien.
Studi komprehensif ini berlangsung selama empat tahun, dengan langkah pertama mengamati suasana hati yang tinggi dan rendah para peserta penelitian. Mereka mencatat apa saja perubahan pada biomarker dalam darah saat perubahan suasana hati terjadi.
Selanjutnya, peneliti menggunakan database besar yang dikembangkan dari semua penelitian sebelumnya di lapangan untuk memvalidasi silang dan memprioritaskan temuan mereka.
Dari sini, peneliti memvalidasi 26 kandidat biomarker teratas dalam kelompok independen orang dengan depresi atau mania yang parah secara klinis. Terakhir, biomarker diuji dalam kohort independen tambahan untuk menentukan seberapa parah kondisinya dan siapa yang akan mengalaminya di masa depan.
Dari pendekatan ini, peneliti dapat juga menunjukkan bagaimana mencocokkan pasien dengan obat-obatan depresi. Bahkan menemukan obat baru yang potensial untuk mengobati depresi di masa mendatang.
“Biomarker darah muncul sebagai alat penting dalam gangguan suasana hati, di mana laporan diri subjektif oleh si pasien itu sendiri, atau dugaan klinis dari spesialis, tidak selalu dapat diandalkan. Tes darah ini dapat membuka pintu untuk menemukan kecocokan pasien dengan obat-obatan, dan pemantauan objektif dari respons pasien terhadap pengobatan,” ucap Dr. Alexander B. Niculescu sebagai ketua penelitian.