Di awal pernikahan, saya sempat melihat dua garis merah tertera pada test pack. Namun saat periksa ke dokter, belum terdeteksi adanya kehamilan. Seminggu kemudian saya kembali haid. Tak terasa 6 tahun berlalu sejak saat itu, saya tak kunjung hamil. Setelah pemeriksaan, ternyata saya mengalami PCOS (polycystic ovary syndrome). Inilah pengalaman saya mencoba hamil dan mengobati sindrom ovarium polikistik yang saya alami.
Pengalaman PCOS dan kelebihan berat badan menghambat kehamilan saya
Saya dan suami tak pernah berniat menunda kehamilan sejak awal pernikahan. Namun kami juga tidak ngoyo untuk segera bisa memiliki anak. Sebagai seorang bidan, saya tentu saja merasa cukup siap untuk langsung hamil. Namun hingga enam tahun pernikahan, saya tak kunjung hamil.
Pernah satu kali, di tahun pertama pernikahan, saya terlambat datang bulan dan hasil test pack menunjukkan dua garis merah yang tampak samar. Sebagai bidan, saya tak mau terburu-buru percaya pada hasil test pack.
Saya dan suami pun pergi memeriksakan kehamilan ke dokter. Hasil USG (ultrasonografi) saat itu belum menampakkan adanya kantung kehamilan dalam rahim saya. Untuk menjaga kemungkinan hamil, saya mengkonsumsi obat penguat kandungan. Namun seminggu setelah USG, saya kembali mengalami menstruasi.
Saya tak berpikir bahwa saya mengalami keguguran sebab darah yang keluar selayaknya darah menstruasi normal, namun memang lebih kental dari biasanya. “Oh, berarti ini memang bukan hamil,” pikir saya waktu itu. Saya pun tak berpikir untuk melakukan kuretase atau membersihkan sisa kantung kehamilan, karena memang tidak ada.
Setelah kejadian itu, saya dan suami tak pernah lagi membahas rencana kehamilan. Kami mencoba menikmati dan mensyukuri apa yang kami miliki. Keluarga pun belum banyak mempertanyakan soal momongan. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Sudah isi?” tak kami ambil pusing.
Dua tahun pernikahan, berat badan saya naik drastis. Saya dan suami memang doyan makan dan wisata kuliner. Di tahun itu saya mulai memikirkan untuk memiliki anak, maka saya putuskan untuk memeriksakan diri ke dokter. Saya rasa wajar bagi saya untuk periksa kesuburan lebih dulu, sebab laki-laki biasanya lebih gengsi untuk memeriksakan kesuburannya.
Saya didiagnosis mengalami PCOS (polycystic ovary syndrome). Sindrom ini merupakan kondisi ketika perempuan memiliki hormon androgen (hormon laki-laki) yang berlebih dan terjadinya resistensi insulin. Kondisi ini menyebabkan saya memiliki banyak kista kecil pada indung telur atau ovarium. Setiap kristal kista mengandung sel telur berukuran kecil yang belum matang, inilah yang membuat sel telur tak kunjung mampu dibuahi sperma.
Dokter meresepkan obat metformin. Ini obat diabetes yang bisa diresepkan dokter untuk obat PCOS, sebab saya juga memiliki diabetes melitus (DM). Dokter juga menyarankan untuk menerapkan gaya hidup sehat dengan diet dan rajin berolahraga.
Tidak melanjutkan program kehamilan ke dokter
Obat yang diresepkan dokter memang saya minum, namun anjuran untuk diet tak kunjung saya lakukan. Setelah beberapa kali kontrol, kondisi sel telur saya semakin membaik namun hormon masih jadi persoalan. Dokter juga menyarankan agar suami saya melakukan pemeriksaan sperma.
Selain itu, dokter tetap menganjurkan saya untuk melakukan diet, berolahraga, dan menerapkan gaya hidup sehat. Semua itu sulit saya laksanakan. Niat untuk diet atau olahraga berkali-kali luntur karena godaan untuk terus jajan cemilan dan makanan tak bisa saya hindari.
Apalagi saya dan suami sama-sama hobi makan dan wisata kuliner. Hampir setiap pekan kami memilih makan di luar atau membeli makanan siap saji. Makan junk food dan resto all you can eat adalah favorit kami. Olahraga pun tak saya lakukan, karena suami juga tak pernah menyatakan protesnya atas badan saya yang semakin gemuk.
Dalam 2 tahun, berat badan saya naik hampir 30 Kg. Kenaikan berat badan itu tak hanya disebabkan oleh gaya hidup saya yang sering jajan cemilan dan makan, namun juga karena kondisi PCOS yang saya alami.
Tahun-tahun itu berlalu begitu cepat, pikiran saya untuk segera merencanakan kehamilan timbul tenggelam. Terlebih karena suami saya juga jarang sekali mengungkit hal tersebut.
Saya tahu, di luar sana berbagai komentar berseliweran. “Ngapain punya harta banyak, tapi mandul,” adalah salah satu celetukan yang saya dengar. Omongan tersebut kerap membuat saya sakit hati, tapi saya mencoba tidak peduli.
Demi menghindari pertanyaan kapan punya momongan dan berbagai variasinya, saya jarang ikut acara reuni atau kumpul dengan teman-teman yang tak terlalu dekat. Saya tidak mau baper dengan basa-basi soal anak yang pasti bakal muncul.
Program kedua setelah 4 tahun menikah
Melewati tahun keempat pernikahan saya kembali memeriksakan kondisi PCOS ke dokter. Namun belum diniatkan untuk program kehamilan. Setelah di USG, PCOS saya sudah tidak ada, sudah bersih. Hanya saja ukuran sel telur masih belum cukup besar untuk bisa dibuahi.
Saya merasa ada harapan dan kembali fokus mempersiapkan kehamilan. Dokter bilang bisa minum obat untuk memperbaiki kualitas sel telur agar matang dan siap dibuahi. Saya mulai kembali rutin ke kontrol, USG transvaginal setiap bulan, sampai suami juga akhirnya mau untuk cek kesuburan spermanya.
Setelah tujuh bulan sel telur saya berada pada kondisi normal. Selain itu, sperma suami juga dalam kondisi bagus. Tapi saya tidak juga hamil.
Semangat kami kembali luntur. Suami jarang sekali membahas tentang kehamilan. “Aku udah pasrah, sedikasihnya oleh Allah. Kamu sudah usaha, aku gak mau kamu stres,” ucap suami suatu ketika.
Saya dan suami mencoba untuk tidak lagi memikirkan program kehamilan dan benar-benar memasrahkan semuanya pada Tuhan. Sempat ada niatan untuk mengadopsi anak, tapi suami tak setuju. Kami mencoba berbahagia berdua dengan saling memiliki.
Diet sehat, niat menurunkan gula darah tapi berakhir bahagia
Kondisi kesehatan saya tak bisa dibilang baik. Di usia 29 tahun, kadar gula darah puasa saya bisa mencapai 290 mg/dL, tekanan darah saya selalu tinggi, asam urat, kolesterol dan berat badan pun tidak terkontrol.
Akhirnya saya memutuskan untuk diet dan mencoba pola hidup sehat. Apalagi ada salah seorang teman yang juga hendak diet. Saya merasa lebih bersemangat karena saya memiliki teman untuk menjalani program diet bersama. Seperti saya, dia juga mengalami PCOS.
Saya mengganti sarapan dengan shake nutrisi dari salah satu brand yang sudah tercatat di BPOM. Saya juga berhenti mengonsumsi makanan berlemak atau berminyak, saya berhenti makan gorengan yang sangat saya sukai.
Porsi makan siang saya atur agar cukup nutrisi tapi rendah kalori, sayuran dan buah rendah gula semakin banyak saya konsumsi. Setiap harinya, paling tidak selama 45 menit saya berolahraga entah itu jalan kaki, jogging, atau bersepeda. Bukan olahraga berat, tapi saya hampir tidak pernah absen.
Pola diet ini saya jalani dengan nyaman. Ini kali pertama saya menjalani diet dengan serius seumur hidup saya. Hasilnya, selama 4 bulan menjalani gaya hidup ini berat saya turun 24 Kg, dari dari 83 Kg menjadi 59 Kg.
Selain berhasil menurunkan berat badan, gaya hidup sehat ini membuat diabetes dan hipertensi saya selalu berada di angka stabil. Saya bahagia dengan hasil yang saya peroleh ini.
Saat berat badan saya berada di angka 59 Kg, saya menurunkan intensitas olahraga, hanya sit up dan push up yang saya lakukan di rumah. Dua bulan kemudian, setelah 6 bulan diet, saya merasa nyeri di bawah perut setiap kali olahraga.
Saya juga sadar bahwa saya sudah telat menstruasi. Teman-teman menyarankan untuk cek kehamilan dengan test pack. Tapi saya tidak percaya diri, toh memang biasanya juga jadwal menstruasi saya selalu berantakan.
Dalam beberapa hari, nyeri terus terasa setiap kali saya olahraga atau menggendong keponakan. Saya akhirnya cerita ke suami. “Ya udah, aku beli test pack ya. Satu aja,” jawabnya.
Hamil setelah diet dan PCOS sembuh
Setelah semalam suami membeli test pack, pagi-pagi sekali saya beranikan diri untuk melakukan tes. Setelah mencelupkan alat tes, saya hanya bisa memejamkan mata, was-was. Ketika saya membuka mata, dua garis merah tertera dengan jelas di test pack tersebut.
Melihat hal tersebut suami saya terpana dengan mata berkaca-kaca. “Aku beli test pack satu lagi ya sekarang,” ucapnya menahan rasa gembira dan tak percaya. Pukul 04.30 pagi dia segera berkeliling mencari apotek yang buka.
Setelah mendapatkannya, dia segera menyuruh saya untuk melakukan tes lagi. “Tapi belum mau pipis, gimana dong?” ucap saya setengah bercanda. Ia segera memberi saya minum yang banyak. Akhirnya, hasil tes kedua juga menunjukan dua garis merah, meski terlihat lebih samar.
Hari itu juga kami memutuskan untuk pergi ke dokter kandungan. Tapi hari itu hari Sabtu, banyak dokter kandungan yang libur praktik. “Pokoknya kita cari yang buka,” kata suami.
Di dokter saya melakukan USG, lagi-lagi kantung kehamilannya belum terlihat. Kami langsung minta untuk USG transvaginal. Kami ingin benar-benar memastikan bahwa saya benar hamil atau tidak.
Puji syukur, saya benar hamil dan usia kehamilan baru 4 minggu. Sekarang kami sedang harap-harap cemas menunggu hari kelahiran anak pertama yang telah kami tunggu-tunggu selama 6 tahun lamanya.
Fani Mardliani (29) bercerita untuk pembaca Hello Sehat.
Memiliki kisah atau pengalaman kehamilan yang menarik dan inspiratif? Mari berbagi cerita bersama para orang tua lain di sini.
[embed-health-tool-pregnancy-weight-gain]