Selama 20 tahun hidup sebagai penyintas thalasemia alfa, saya bisa hidup sehat dengan mendapatkan transfusi darah setiap satu tahun atau 6 bulan sekali. Tapi setelah menjalani 3 kali kehamilan, kondisi kesehatan saya memburuk. Saya harus menjalani transfusi darah setiap sebulan sekali, rambut mulai rontok, dan limpa saya membesar.
Menjadi ibu hamil dengan thalasemia memang bukan hal yang mudah, namun juga bukan sesuatu yang mustahil terjadi. Banyak hal yang perlu dipersiapkan sebelum memutuskan program hamil. Jika tidak, maka berbagai risiko komplikasi dapat terjadi. Salah satu risiko yang paling berat dan menakutkan adalah menurunkan penyakit ini seumur hidup pada calon buah hati. Sebagai penyintas, inilah kisah saya 3 kali menjadi ibu hamil dengan thalasemia.
Saya ingin hamil dan memiliki anak tanpa menurunkan thalasemia
Hidup sebagai penyintas thalasemia membuat saya harus berhati-hati dalam menentukan berbagai pilihan, termasuk dalam memutuskan calon pendamping hidup hingga kehamilan. Ketika ajakan dari pasangan untuk menjalin hubungan ke arah yang lebih serius di usia 20 tahun datang, saya pun memberitahu kondisi kesehatan saya.
Kami mengetik sejumlah kata kunci di laman pencarian Google yang berhubungan dengan thalasemia.
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang disebabkan oleh rusak atau cacatnya rantai gen yang menyusun hemoglobin yaitu rantai alfa dan beta. Penyakit ini membuat pengidapnya harus menerima transfusi darah seumur hidup karena sampai saat ini thalasemia belum bisa disembuhkan. Ada beberapa pilihan terapi kuratif yang dapat diberikan seperti cangkok sumsum tulang, tetapi harganya masih sangat mahal dan belum dapat dilakukan di Indonesia.
Saya mengidap thalasemia alfa yang selama ini terbilang ringan, hanya membutuhkan transfusi darah setiap 1 tahun sekali atau 6 bulan sekali jika menjalani banyak kegiatan berat. Selain itu saya juga tidak memiliki keluhan berarti selain pusing ketika terlalu kelelahan.
Saya harus memberi tahu calon suami saya perihal kondisi penyakit ini karena kemungkinan penyakit ini menurun pada anak kami nantinya. Singkatnya, saya tidak ingin menurunkan penyakit thalasemia pada anak.
Oleh karena itu suami saya haruslah bukan pengidap thalasemia maupun pembawa sifat thalasemia (carrier). Dengan begitu kemungkinan anak kami pengidap thalasemia menjadi 0%.
Dia akhirnya dengan senang hati melakukan skrining thalasemia sebelum saya menjawab lamarannya.
Sejujurnya hati saya ciut selama menunggu hasil skrining. Beragam skenario buruk berputar di kepala saya. Jika dia carrier, saya punya dua skenario yakni dia akan meninggalkan saya atau saya yang akan meninggalkan dia.
Calon saya ini adalah pria berkebangsaan Inggris yang bekerja dan menetap di Bogor. Ia anak satu-satunya di keluarga, saya tahu betul bagaimana orang tuanya mengharapkan cucu biologis dari pria ini. Saya tidak mau mengambil risiko menikah dengan dia tanpa punya anak biologis.
Saya juga mendambakan dapat membangun keluarga dengan anak-anak yang lucu, tapi di sisi lain saya tidak mau anak saya mengidap thalasemia. Sejak tahu betapa sulitnya kondisi jika memiliki penyakit ini. Saya bertekad untuk memutus rantai thalasemia di saya, tidak menurunkannya ke anak.
Hasilnya, dia bukan carrier thalasemia. Saya sangat bersyukur.
Menjadi ibu hamil dengan thalasemia, transfusi seminggu sekali
Tiga bulan setelah menikah saya hamil. Saat periksa ke dokter obgyn, dokter menyarankan untuk periksa ke dokter spesialis penyakit dalam hematologi untuk memastikan kondisi saya sebagai penyintas thalasemia siap untuk menjalani kehamilan.
Sebetulnya penyintas thalasemia perlu memeriksakan kondisi kesehatannya terlebih dahulu sebelum memutuskan hamil. Untung saja hasil pemeriksaan saya bagus dan kehamilan pertama ini dinilai aman.
Trimester pertama kehamilan saya berjalan normal, saya mengalami morning sickness seperti ibu hamil pada umumnya. Selain itu saya juga sering merasa pusing karena anemia.
Bedanya, saya harus lebih sering transfusi darah daripada biasanya. Jika sebelumnya saya hanya perlu satu tahun sekali melakukan transfusi, kali ini kondisinya lain.
- Trimester pertama, transfusi 1 bulan sekali
- Trimester kedua, transfusi 2 minggu sekali
- Trimester ketiga, transfusi 1 minggu sekali
Transfusi dilakukan lebih sering agar oksigen dalam tubuh cukup untuk saya dan bayi dalam kandungan, demi memastikan keduanya sehat.
Berat badan janin rendah
Di usia kehamilan 5 bulan, bayi yang saya kandung diketahui tidak tumbuh dengan cukup baik. Berat badannya terlalu rendah dibanding usia kandungan 5 bulan pada umumnya.
Selama kehamilan, saya sangat mengontrol asupan makanan dan kandungan gizi, terutama zat besi. Penyintas thalasemia dianjurkan untuk mengurangi asupan makanan yang mengandung zat besi sebab di tubuhnya sudah mengandung banyak zat besi yang diterima dari transfusi darah. Jika zat besi ini menumpuk dalam tubuh, maka bisa memengaruhi kesehatan organ penting seperti limpa, hati, sampai mata.
Tapi ternyata bayi dalam kandungan saya membutuhkan zat besi dan nutrisi lainnya dari makanan yang sebelumnya pantang saya makan itu. Akhirnya demi kesehatan bayi dalam kandungan, saya mengubah pola makan setelah berkonsultasi dengan dokter.
Saya diizinkan mengonsumsi makanan seperti ikan hingga daging merah sebanyak dua sampai tiga kali dalam seminggu. Perubahan pola makan itu dengan catatan bahwa saya harus segera melakukan terapi pembuangan zat besi setelah melahirkan nanti. Hal itu tak menjadi masalah selama bayi saya tumbuh sehat.
Setelah saya mengubah pola makan, bayi saya tumbuh berkembang dengan baik. Beratnya yang semula kurang dari 1 kg di usia 7 bulan, menjadi 1,8 kg di usia 8 bulan dan mencapai 3 kg saat hari perkiraan lahir (HPL).
Persiapan jelang melahirkan
Selain transfusi darah yang semakin sering, bertambahnya usia kehamilan juga membuat saya harus mengunjungi dokter lebih banyak. Selain periksa ke dokter kandungan setiap bulan, saya juga harus periksa ke dokter spesialis penyakit dalam dan dokter spesialis lainnya jika diperlukan, seperti periksa jantung dan pernapasan.
Jelang melahirkan saya dihadapkan pada pilihan yang berat. Saat itu dokter spesialis penyakit dalam hematologi menyarankan saya untuk menjalani persalinan caesar, alasannya agar pasien lebih rileks. Dokter khawatir saya akan mengalami stres atau kehabisan napas saat mengejan yang memungkinkan saya harus menjalani caesar meski telah menghabiskan energi untuk menahan kontraksi.
Selain itu, ibu hamil dengan thalasemia juga berisiko mengalami gangguan fungsi jantung saat melahirkan. Inilah risiko yang menurut dokter lebih baik dihindari.
Namun, pendapat berbeda justru disampaikan oleh dokter obgyn. Ia menyarankan saya untuk melahirkan pervaginam (normal), alasannya karena kondisi kesehatan saya bagus. Saya sudah melakukan MRI, cek pernapasan, dan cek jantung untuk memastikannya.
Perbedaan pendapat itu membuat saya bingung. Saya ingin melahirkan secara normal tapi saya tak cukup percaya diri dengan kemampuan napas saya untuk mengejan. Selama beberapa hari sampai jelang HPL tiba, saya masih belum bisa memilih.
Satu hari sebelum HPL, saya melakukan USG dan diketahui bahwa posisi bayi saya melintang Kondisi posisi bayi tersebut membuat saya tidak bisa melahirkan pervaginam. Saya merasa hal tersebut merupakan keajaiban, petunjuk bagi saya yang sebelumnya benar-benar bingung dalam memilih proses melahirkan.
Anak saya lahir dengan selamat dan sehat.
Kondisi thalasemia saya setelah melahirkan
Setelah melahirkan, kondisi thalasemia saya semakin berat. Ferritin atau protein pengikat zat besi dalam tubuh saya semakin menumpuk. Saya harus lebih sering menjalani transfusi darah dan meminum khelasi zat besi untuk membuang kelebihan zat besi dalam tubuh.
Kondisi ini semakin berat setelah saya melahirkan anak kedua dan ketiga. Saat melahirkan anak kedua dan ketiga, persalinan sesar berjalan dua kali lebih lama dari normal karena darah saya lengket seperti lem.
Menurut dokter, kemungkinan karena saya mengalami kelebihan ferritin. Ferritin saya mencapai angka 6000 mgc/L, di mana kadar ferritin 1000 mcg/L saja sudah termasuk sangat tinggi.
Saat ini usia saya 30 tahun, kondisi kesehatan saya sangat menurun setelah tiga kali melahirkan. Menstruasi saya sudah tidak lancar, rambut rontok, kulit mulai menggelap, dan limpa saya membesar karena adanya penumpukan zat besi.
Tapi bagi saya semua ini setimpal bagi penyintas thalasemia seperti saya namun mampu melahirkan 3 anak yang sehat.
Faradila Supandi (30) bercerita untuk pembaca Hello Sehat.
[embed-health-tool-pregnancy-weight-gain]