Saya sering merasa ada bermasalah dengan koordinasi otak dan gerak tubuh saya. Namun hal itu kerap saya abaikan hingga akhirnya saya memberanikan diri periksa ke dokter. Ketika dokter mengatakan bahwa saya terkena tumor otak dan harus operasi, saya bergeming. Inilah pengalaman saya mengalami tumor otak dan berhasil melalui setelah puluhan kali terapi.
Gejala sebelum mengetahui tumor otak
Saya sedang mengendarai mobil sepulang mengantarkan anak ke sekolah ketika tiba-tiba merasa ada yang aneh dengan koordinasi antara otak dan gerak tubuh saya. Ketika mau memutar stir ke ke kiri, saya tidak merasakan hal tersebut meski telah melakukannya, begitu pula ketika saya menginjak rem ataupun pedal gas.
Akhirnya saya maju sedikit hingga lampu merah, lalu meminta tolong seseorang untuk memarkirkan mobil. Saya tak berani untuk melakukan hal itu sendiri dengan kondisi tubuh yang tidak saya pahami ini. Selain itu saya juga meminta bantuan orang untuk menyeberang jalan saking takutnya.
Setelah menitipkan mobil di tempat yang aman, saya segera menyetop taksi menuju rumah sakit. Saya pikir saya mengalami masalah pada jantung. Tapi hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa jantung dan tanda-tanda vital lain dalam keadaan baik.
Lalu, apa yang membuat tubuh saya seperti tak mau mengikuti apa yang otak saya perintahkan atau otak saya tak mengetahui gerak tubuh saya?
Kondisi ini bukan kali pertama saya alami. Sebelumnya, pengalaman serupa sempat terjadi. Ketika saya ingin mengetik sesuatu, saya tak menyadari bahwa jari saya sudah menekan keyboard atau terkadang saya tak mampu menekan tombol keyboard sama sekali.
Di lain waktu, saya pernah tiba-tiba blank, hilang konsentrasi, atau merasa hilang ingatan sesaat di tengah forum ketika saya melakukan presentasi. Selama sepersekian detik saya mendadak tidak ingat apa yang akan saya bicarakan melalui slide presentasi yang telah saya buat sendiri dengan susah payah. Seusai presentasi saya merasa bingung, ragu apakah isi pembicaraan saya nyambung atau tidak. Saya diam, mengambil gelas dan minum seteguk, baru saya ingat kembali apa yang seharusnya saya bicarakan.
Setelah mengalami kondisi serupa berulang kali, saya akhirnya pergi ke dokter spesialis saraf di salah satu rumah sakit di Kota Bandung, kota tempat saya tinggal dan bekerja. Dari hasil CT Scan, diketahui ternyata ada benjolan di bagian otak saya. Gejala yang saya alami ternyata merupakan gejala tumor otak.
Dua bulan menolak operasi pengangkatan tumor
Dokter bedah saraf tersebut memberi saran agar saya segera dioperasi. Ketika ia menanyakan kapan saya siap menjalaninya, saya tak bisa memberi jawaban pasti. Saya tak berani dan dibayangi pikiran-pikiran menakutkan. Apakah kepala saya akan dibor? Apakah saya akan selamat?
Saya terus memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi dan membuat kesiapan menghadapi operasi itu tak kunjung datang. Saya mulai mencari informasi alternatif pengobatan selain operasi. Saya googling berbagai macam kata kunci seputar tumor otak.
Sumber-sumber terpercaya mengatakan bahwa pilihan pengobatan yang harus saya jalani mau tidak mau adalah operasi. Semakin saya membaca dan mendapat informasi, semakin saya takut dan khawatir menjalani operasi.
Kesiapan itu terasa semakin jauh. Tak terasa, dua bulan lamanya saya menunda operasi yang seharusnya segera dilaksanakan.
Suatu hari saya mendapat serangan sakit kepala yang terasa amat nyeri. Sakit luar biasa saya rasakan terutama di bagian saraf sekitar mata. Di titik itu saya baru menyadari bahwa saya memang harus segera menjalani operasi.
Perjalanan melakukan pengobatan dan operasi tumor otak
Setelah menetapkan hati untuk menjalani operasi pengangkatan tumor otak, saya pulang ke Surabaya, ke rumah orang tua. Saya ingin menjalani operasi ditemani mereka dan saudara-saudara di sana.
Operasi dilaksanakan pada Agustus 2016. Operasi tersebut dilakukan dengan mengangkat massa tumor dan mengambil sampel jaringan otak untuk pemeriksaan patologi anatomi (PA) yang dibutuhkan demi mendiagnosis jenis kanker yang saya alami.
Diagnosis jenis kanker ini penting untuk menentukan arah terapi selanjutnya yang akan saya jalani. Maka ketepatan penilaian jenis kanker sangat penting bagi keberhasilan pengobatan dan kelangsungan hidup pasien.
Operasi pengangkatan tumor berjalan lancar. Kemudian berdasar hasil pemeriksaan laboratorium, saya dinyatakan mengidap Ependimoma anaplastik yakni salah satu jenis tumor otak pada bagian sel-sel glial bernama sel ependim.
Anaplastik merupakan istilah yang menggambarkan adanya pembelahan sel-sel kanker yang cepat dengan sedikit atau bahkan tidak ada kemiripan sama sekali dengan sel normal. Hal ini menunjukkan bahwa tumor ependimoma yang saya derita berada pada tingkat 3 dengan sel abnormal yang tumbuh lebih aktif atau lebih cepat.
Saat itu saya tak terlalu memahami ini jenis kanker apa, namun yang pasti saya harus menjalani kemoterapi dan radioterapi untuk perawatan lanjutan. Seusai operasi di Surabaya, saya harus kembali ke Bandung.
Saya kemudian mengunjungi salah satu rumah sakit di Bandung, berharap segera mendapat tindakan lanjutan. Saya sampaikan hasil lab patologi anatomi (PA) yang saya dapatkan sebelumnya. Namun petugas di sana mengatakan bahwa saya harus diobservasi ulang dan belum bisa mendapatkan terapi.
Saya kaget. Mengapa harus diobservasi ulang? Tidak puas dengan jawaban itu, saya mencari rumah sakit lain. Seorang teman menyarankan untuk segera ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo atau Rumah Sakit Kanker Dharmais. Saya memilih RS Kanker Dharmais.
Mendapatkan hasil diagnosis berbeda
Di RS Kanker Dharmais saya menjalani MRI (Magnetic resonance imaging), atau pemeriksaan organ tubuh menggunakan teknologi magnet dan gelombang radio, kemudian saya dirujuk ke dokter spesialis saraf, Dr. dr. Rini Andriani, Sp.S(K).
dr. Rini melihat hasil MRI dan rekam medis saya lebih dulu, termasuk hasil diagnosis yang menyatakan kanker otak yang saya alami merupakan jenis ependimoma. Ia kemudian menyuruh saya mengecek ulang jenis kanker yang saya derita.
Saya ambil sampel PA saya di rumah sakit di Surabaya, lalu saya bawa ke Jakarta untuk dicek ulang di RS Kanker Dharmais. Setelah hasilnya keluar, lagi-lagi dr. Rini mengatakan ingin melakukan pemeriksaan dengan metode lain untuk mengkonfirmasi dengan lebih tepat jenis tumor yang saya derita, salah satunya adalah dengan tes imunohistokimia (IHK). Setelah mendengar alasan mengapa opini dokter di sini berbeda dengan hasil sebelumnya, saya menyetujui untuk melakukan pengecekan ulang.
Hasilnya, ternyata saya mengidap Astrositoma bukan ependymoma seperti diagnosis awal. Astrositoma adalah tumor otak yang berawal di sel yang disebut astrosit. Walaupun sama-sama kanker otak, ketidaktepatan diagnosis sangat berpengaruh pada terapi yang diberikan.
Pengalaman 40 kali terapi kanker otak
Dari diagnosis tersebut, dokter menyiapkan rangkaian terapi yang harus saya jalani sebanyak 40 kali radioterapi, dibarengi kemoterapi.
Saya meminta untuk tetap bisa berkonsultasi dengan dr. Rini di RS Kanker Dharmais, namun menjalani radioterapi di rumah sakit di Bandung.
Kemoterapi yang saya dapatkan adalah kemoterapi obat minum, jadi tidak terlalu berat bagi saya untuk mengatur jadwalnya. Sedangkan untuk radioterapi, saya harus mengatur jadwal sedemikian rupa.
Setiap pagi saya mengisi formulir pendaftaran radioterapi, lalu berangkat kerja. Sepulang kerja, saya selalu berusaha tepat waktu tiba di rumah sakit untuk menjalani terapi.
Selain kemo dan radioterapi, setiap dua minggu sekali saya datang ke RS Kanker Dharmais untuk konsultasi dengan dr. Rini. Hal itu penting untuk memeriksa kondisi perkembangan dan efektivitas terapi yang saya jalani.
Rutinitas ini terus saya jalani setiap hari sampai selesai 40 kali radioterapi tanpa absen atau terlambat sekali pun.
Setelah selesai 40 kali sesi radioterapi dan kemoterapi, kondisi saya dinilai bagus. Ada beberapa efek samping dari kemoterapi dan radioterapi yang saya rasakan, rambut saya rontok dan kemampuan memori berkurang. Namun secara umum saya sudah dinyatakan sembuh.
Sekarang sudah memasuki tahun ke-5 saya survive dari kanker otak Astrositoma. Saya masih melanjutkan pemeriksaan MRI, check-up, dan konsultasi rutin setiap 6 bulan sekali.
Ketepatan diagnosis di awal menjadi kunci keberhasilan saya bisa survive dari kanker otak ini. Saya bersyukur bertemu dengan dokter yang tepat, yang sejak awal tegas menyuruh saya melakukan pemeriksaan ini-itu hingga saya memperoleh pengobatan yang akurat.
Ketegasan dokter menyuruh saya melakukan tes ulang beberapa kali demi keakuratan diagnosis menumbuhkan kepercayaan saya terhadap dokter. Kepercayaan ini juga menjadi dasar semangat saya menjalani 40 kali terapi setiap hari dengan tertib di tengah pekerjaan yang masih harus saya lakukan.
Saya berharap teman-teman yang sedang menjalani pengobatan untuk sakit keras lainnya juga bisa mendapatkan penanganan sebaik dan seakurat mungkin.
Harmini (48) bercerita untuk pembaca Hello Sehat.
[embed-health-tool-bmi]