Tren produk skincare menjamur. Konten kecantikan tak henti membanjiri linimasa. Algoritma media sosial seolah tahu apa yang Anda inginkan. Kulit putih bersinar. “Glowing!” orang-orang menyebutnya.
Premium
Tren produk skincare menjamur. Konten kecantikan tak henti membanjiri linimasa. Algoritma media sosial seolah tahu apa yang Anda inginkan. Kulit putih bersinar. “Glowing!” orang-orang menyebutnya.
Artikel ini hanya tersedia untuk member Hello Sehat. Silakan masuk atau daftar untuk melanjutkan baca.
Iklan di media sosial bermunculan menawarkan produk-produk dengan kemasan bersih bercelak. Sorotan utama produk tersebut ada pada kandungan bahan aktif dan kegunaannya. Salah satu slogan andalan yang kerap digunakan berbunyi: retinol bahan anti-aging yang telah teruji klinis.
Tidak cukup satu produk, industri kecantikan mengatakan Anda memerlukan rangkaian perawatan yang lengkap untuk memperoleh kulit yang sehat, atau kulit yang (mereka harap) Anda idamkan.
Benarkah Anda membutuhkan banyak produk skincare untuk menjaga kesehatan kulit?
Terlebih lagi, ada tren di mana produsen berlomba-lomba merilis produk skincare dengan kandungan atau campuran bahan aktif berbeda. Masing-masing produk ini memiliki kegunaan yang berbeda pula.
Pilihan yang melimpah menimbulkan kebingungan, lantas menyebabkan kekeliruan dalam penggunaan. Celakanya, ini bisa mengarah pada masalah kulit baru.
Sudahkah Anda mengerti kebutuhan kulit Anda dengan baik?
Sering kali cara terbaik mengetahui apa yang paling Anda butuhkan bukanlah mendengarkan apa yang orang lain katakan, melainkan menemukan jawabannya sendiri.
Rutinitas perawatan kulit sudah dianggap penting bagi sebagian besar orang, baik perempuan maupun laki-laki. Setidaknya ini yang tergambar dalam laporan 2022 Beauty Trends dari JakPat.
Laporan ini menyebutkan 9 dari 10 perempuan Indonesia menganggap bahwa penggunaan produk skincare lebih penting daripada make-up. Sebanyak 97% perempuan dan 94% laki-laki meyakini penggunaan produk skincare wajah merupakan investasi untuk kesehatan kulit.
Hasil survei mandiri yang dilakukan tim Hello Sehat pun menunjukkan tren serupa. Dari 77 responden yang sebagian besar perempuan berusia 20 – 30 tahun, 88% di antaranya menilai bahwa rutinitas skincare penting. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kulit yang lebih sehat, cerah, dan bersinar.
Dokter spesialis kulit dan kelamin, dr. Dinda Saraswati, Sp.DV, menjelaskan bahwa merawat kulit dengan produk skincare berguna untuk menjaga kesehatan kulit. Perawatan akan mendukung fungsi vital kulit sebagai organ terbesar.
Kulit memiliki peran utama dalam perlindungan tubuh. Sebagai organ terluar, kulit menjadi sistem pertahanan pertama sekaligus yang terbaik dalam menghalau berbagai ancaman dari luar tubuh, mulai dari polusi hingga kuman penyebab penyakit.
“Kulit sebenarnya perlu mendapatkan perawatan, setidaknya sejak pubertas, karena adanya perubahan hormon yang juga bisa memengaruhi kondisi kulit,” tambah Dinda.
Perawatan sedari dini bertujuan untuk mencegah munculnya masalah kulit, seperti jerawat dan flek, yang bisa semakin sulit ditangani seiring bertambahnya usia.
Kesadaran pentingnya perawatan kulit semakin meningkat seiring dengan berkembangnya industri kecantikan di Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat pertumbuhan pesat jumlah perusahaan kosmetika hingga 20,6% dari tahun 2021 sampai Juli 2022.
Produk skincare yang tersedia di pasaran kini semakin bervariasi. Produsen membedakan produknya berdasarkan sediaan, kandungan aktif, tipe kulit, hingga kegunaan untuk masalah kulit tertentu.
Tidak hanya produk perawatan dasar seperti sabun atau facial wash yang dominan beredar di pasaran, jenis produk seperti toner, serum, pelembap, dan tabir surya semakin mudah Anda temukan.
Meski demikian, banyaknya produk, dengan kegunaan berbeda, menyulitkan sebagian orang untuk menentukan produk yang tepat untuk kulit mereka.
Ketika bercerita tentang kebiasaan barunya untuk rutin merawat kulit, Aloysius Brama (Bram), sempat kebingungan memilih produk skincare. Pria berusia 26 tahun ini kesulitan membedakan fungsi produk dan kandungannya.
“Aku kan masih lanjut pake serum salicylic acid dan niacinamide. Dibandingkan dengan vitamin C, mana yang lebih bagus untuk hilangkan noda jerawat? Lalu, bedanya cleanser dan toner tuh apa?” tanya Bram.
Bagi Bram, rutinitas skincare tidak eksklusif milik perempuan. “Laki-laki tentu boleh punya kulit yang glowing juga,” cetusnya ketika ditanya apakah perawatan kulit penting bagi laki-laki.
Bram sudah memakai produk skincare selama beberapa bulan. Namun, ia baru menemukan serangkaian produk yang cocok untuk kulitnya yang berminyak dan sensitif sebulan belakangan.
Kebingungan memulai rutinitas skincare juga dialami Syifa Nur Fadiyah (25 tahun).
Syifa sekarang menyebut dirinya sebagai konsumen yang “berpengalaman”. Namun, sebelum terjun mendalami seluk-beluk dunia skincare, ia sama bingungnya dengan Bram.
“Dulu aku bingung mau pilih produk apa untuk kulitku yang sangat kering dan gatal. Awalnya, aku cuma coba-coba beli toner vitamin E. Aneh banget efeknya, harusnya kan pakai pelembap yang lebih pekat,” ujar Syifa.
Syifa harus melalui proses trial-error yang panjang untuk menemukan produk terbaik. Ia sempat kemakan tren untuk membeli banyak produk dari merek yang sama dengan jenis yang berbeda. Hasilnya, nihil.
Tak jarang ia merugi ketika berganti-ganti produk. Wajahnya jerawatan, komedo bermunculan, pernah juga kulitnya kering dan mengelupas. Namun, Syifa tidak yakin apakah reaksi ini muncul karena produk skincare yang tidak cocok atau ada faktor pemicu lainnya.
“Saat aku masih pemula di dunia skincare, aku bingung kenapa merek memasarkan produknya berdasarkan bahan aktifnya. Gunanya apa? Aku kan punya masalah kulit. Aku butuh solusi cepat,” cerita Syifa.
Satu studi dari Journal of Consumer Psychology (2015) menyebut fenomena kebingungan ini dengan istilah overchoice atau choice overload. Banyak orang kesulitan mengambil keputusan karena banyaknya pilihan yang mirip-mirip.
Banyaknya pilihan berarti semakin besar pertimbangan akan risiko pemakaian. Orang jadi kewalahan dan takut malah memilih produk skincare yang salah.
Dilema serupa dialami oleh para responden yang mengikuti survei Hello Sehat. Kekhawatiran akan produk yang tidak cocok (81%) dan banyaknya produk di pasaran (41,6%) paling banyak dipilih sebagai alasan yang membuat mereka kesulitan memilih.
Dokter Dinda juga menyadari kebingungan dalam memilih bisa disebabkan oleh banyaknya produk dengan label berbeda, tapi sebenarnya memiliki fungsi yang mirip, salah satunya fungsi pelembab.
“Ada berbagai jenis pelembap di pasaran. Bentuknya banyak sekali. Ada yang namanya toner, essence, emulsion, serum, moisturizer, dan sleeping mask. Sebenarnya, fungsi utama semua produk ini sama saja.”
Perbedaan produk-produk tersebut ada pada kekentalannya. Urutan produk dari yang paling cair hingga pekat, yaitu toner, essence, emulsion, serum, moisturizer, dan sleeping mask. Biasanya, sleeping mask hanya digunakan di malam hari karena teksturnya cukup pekat.
Dinda menegaskan kita tidak perlu memakai semua produk yang memiliki fungsi yang sama. Pasalnya, ada kemungkinan problem baru untuk kulit.
Hasil survei Hello Sehat menunjukkan 32% responden membeli produk skincare berdasarkan ulasan dari media sosial, konten influenser, dan beauty forum.
Fenomena ini juga diamati pada survei terbitan klinik kecantikan ZAP. Survei ini memperlihatkan 27% wanita Indonesia mempertimbangkan memilih produk perawatan kulit berdasarkan ulasan influenser pada tahun 2023. Tren ini meningkat bila dibandingkan tahun 2021, yang hanya sebesar 16,4 persen.
Khairunnisa Afifah Yusman (23 tahun) salah satu orang yang pernah terbius dengan ulasan produk viral di sebuah situs kecantikan terkenal. Nasib buruk, produk ini malah menimbulkan jerawat yang meradang parah di kulitnya, hanya dalam waktu sebulan pemakaian.
Sebelum itu, ia selalu rutin menggunakan krim yang diresepkan khusus oleh dokter spesialis kulit. Setelah kondisi kulitnya membaik, ia ingin mencoba produk skincare yang dijual di pasaran.
“Awalnya, aku pakai krim dokter. Karena kondisi sudah membaik, aku ingin pakai skincare biasa karena lebih irit. Ternyata malah timbul beruntusan dan jerawat radang besar-besar,” ungkap perempuan yang akrab disapa Ifa ini.
Para influenser di media sosial, baik yang sukarela maupun yang berkolaborasi dengan merek tertentu, memang bisa memberikan informasi yang berguna tentang penggunaan produk. Di sisi lain, percaya begitu saja dengan informasi yang disampaikan influenser bisa menimbulkan kekeliruan baru.
Dokter Dinda menceritakan banyak pasiennya menyakini bahwa produk skincare berperan sebagai obat yang mengatasi keluhan kulit. Dinda menangkap pemahaman pasiennya ini berangkat dari konten influenser yang mereka ikuti.
Bahasa pemasaran produk skincare yang begitu ilmiah mungkin juga membuat orang mengira masalah kulit sekecil apa pun sebagai penyakit kulit yang harus disembuhkan.
“Banyak pasien saya percaya produk skincare sebagai obat untuk mengatasi masalah kulit. Padahal, produk ini hanya berperan untuk merawat kulit, bukan menyembuhkan penyakit,” jelas Dinda.
Karena lebih memilih produk skincare, banyak pasien Dinda tidak mau diberi obat, padahal masalah kulitnya sudah cukup serius. Sebagian pasien dengan masalah kulit berjerawat hanya ingin menjalani prosedur perawatan kulit.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) sebenarnya sudah membakukan aturan klinis untuk penyembuhan jerawat oleh dokter spesialis kulit.
Jerawat ringan bisa segera diatasi dengan pengobatan krim asam retinoat atau benzoil peroksida yang diresepkan dokter. Bila kondisi jerawat cukup berat, dokter mungkin memberikan obat minum antibiotik dan salep eritromisin.
Prosedur seperti ekstraksi komedo (facial), chemical peeling, serta terapi laser resurfacing hanya mempercepat penyembuhan selama masa pengobatan.
Dinda juga menjumpai kekeliruan lain, salah satu informasi yang jamak tersebar di media sosial. Beberapa merek mengharuskan konsumen menggunakan toner agar bahan aktif lebih meresap dengan maksimal. Dinda mengatakan bahwa langkah ini benar, tetapi bukanlah patokan utama.
“Trik pemasaran suatu merek memang cerdik. Mereka mengetahui satu teori yang benar bahwa kelembapan mempercepat penyerapan bahan aktif skincare. Namun, mereka mengangkatnya terus-menerus dan konsumen terdoktrin seolah-olah harus memakai toner. Padahal, ada banyak bentuk pelembap lainnya, tidak hanya toner,’ tegas Dinda.
Selain kekeliruan fungsi produk skincare, ada satu hal yang dikhawatirkan Dinda akan terus dipercaya masyarakat tanpa mereka bisa memastikan kebenarannya.
Dokter yang berpraktik di salah satu klinik kulit di Yogyakarta ini jengkel dengan klaim-klaim bombastis yang sering digunakan para produsen untuk menarik hati konsumen.
“Saya masih banyak menemukan klaim berlebihan, seperti menghilangkan jerawat kurang dari 24 jam atau mengurangi bekas jerawat kurang dari seminggu. Klaim seperti ini tentu bisa menyesatkan masyarakat,” ujar Dinda.
Padahal pemulihan masalah kulit membutuhkan proses. Banyak faktor yang memengaruhi cepat atau lambatnya pemulihan, di antaranya keparahan gejala, kondisi bawaan kulit, penyakit penyerta, hingga gaya hidup.
Studi terbitan International Journal of Women’s Dermatology (2018) juga menyatakan bahwa konsentrasi produk akan memengaruhi kesembuhan. Retinoid dengan konsentrasi lebih tinggi mungkin lebih efektif mengatasi jerawat, tetapi memiliki efek samping yang lebih besar pula.
Dinda juga menyatakan bahwa BPOM sudah mengatur klaim yang diizinkan dan dilarang dalam Peraturan BPOM No. 3 tahun 2022.
BPOM menyusun peraturan ini agar produsen mencantumkan klaim yang objektif, tidak menyesatkan, serta melindungi konsumen dari produk yang tidak memenuhi syarat teknis.
Meski Syifa sudah banyak belajar dari pengalamannya memakai produk skincare, ia tidak memungkiri jika kerap tergiur dengan klaim bombastis dari suatu produk.
Ia pernah membeli produk dengan klaim kadar vitamin C 10 ribu kali lebih kuat daripada vitamin C lainnya. Vitamin C sendiri merupakan bahan aktif yang telah banyak diuji klinis dapat memberikan beragam khasiat untuk kulit, misalnya berperan sebagai antioksidan dan mencerahkan kulit.
Namun, penggunaan produk dengan vitamin C 10 ribu lebih kuat ini tidak memberikan efek berarti bagi Syifa. “Entah kenapa, dari dulu kalau pakai vitamin C efeknya biasa saja di wajah,” terang Syifa.
Agar tidak terseret tren, terbuai klaim, atau teperdaya gimik marketing, setiap orang perlu memahami kebutuhan kulit mereka.
Dokter Dinda melihat perkembangan tren skincare bisa menjadi kesempatan bagi setiap orang untuk mengenali kulit sendiri dan kritis mencari produk yang tepat.
“Ketahui tipe kulit, masalah, dan kebutuhan kulit kita. Klaim produk skincare yang bombastis hanyalah trik agar produk yang dijual laku. Jangan lupa banyak belajar untuk mendapatkan produk sesuai kebutuhan,” tutur Dinda.
Ada tiga jenis tipe kulit secara umum, yaitu kulit kering, kombinasi, dan berminyak. Di Indonesia sendiri, menurut sebuah studi terbitan Skin Research and Technology (2022), masalah kulit yang kerap dihadapi kebanyakan orang yakni kulit keriput, garis halus, noda gelap tak rata, dan jerawat.
Dengan memahami kondisi kulit, Anda akan fokus membeli produk berdasarkan kebutuhan kulit, bukan sekadar ikut-ikutan tren.
“Kalau sedang flek, seseorang butuh bahan pencerah. Kalau sudah berusia 25 tahun ke atas, berarti butuh produk anti-aging. Bila sedang berjerawat, tentu pilih produk untuk jerawat,” jelas Dinda lebih jauh.
Dinda pun mengingatkan untuk tidak membandingkan kondisi kulit sendiri dengan orang lain. Kondisi kulit setiap orang unik. Keliru jika menjadikan suatu standar kecantikan tertentu sebagai tolok ukur kulit yang sehat.
Meski begitu, penggunaan produk skincare memang lekat dengan tujuan kecantikan. Berdasarkan survei ZAP, masih ada wanita yang merasa cantik bila memiliki kulit yang putih, tepatnya sebanyak 7,3 persen. Sebanyak 27,3% wanita pun masih mencari manfaat memutihkan kulit pada produk skincare.
Tujuan awal Ifa merawat kulitnya juga karena ia menginginkan kulit yang lebih putih, bukan karena punya masalah kulit tertentu. Sejak remaja, ia sudah rutin menggunakan krim dokter.
“Aku kan paling sawo matang di keluarga, jadi ada tekanan dan ngerasa paling jelek hanya karena aku lebih gelap. Makanya, aku ke dokter kulit sejak remaja. Kulitku bahkan pernah bermasalah karena penyalahgunaan steroid dari krim dokter abal-abal,” aku Ifa.
Kulit yang putih seakan mengangkat derajat seseorang. Orang akan merasa lebih diterima di lingkungan sosialnya jika memiliki kulit berwarna cerah.
“Kita orang Indonesia, jangan melihat kulit orang luar negeri, apalagi orang dengan ras berbeda. Warna kulitnya sudah pasti berbeda, masalahnya berbeda, kebutuhannya berbeda,” ungkap Dinda.
Dinda menegaskan bahwa kondisi kulitlah yang perlu diutamakan saat memilih produk, bukan meraih standar kecantikan tertentu.
Mengetahui kebutuhan kulit menjadi langkah awal menemukan produk yang tepat di antara banyaknya pilihan. Di samping itu, memahami kandungan aktif dan pengaruhnya pada kulit semakin memudahkan Anda menentukan pilihan.
Dokter Dinda mengatakan bagaimanapun setiap orang tetap perlu riset mengenai kandungan aktif pada produk yang akan digunakan.
“Kita bisa baca di internet dengan cari tahu melalui sumber kredibel, seperti artikel dari dokter dan platform terpercaya yang ditinjau dokter, bukan artikel dari penulis yang tidak jelas.”
Banyak merek di pasaran juga sudah mencantumkan fungsi setiap bahan aktif pada produknya. Hal ini membantu konsumen untuk memilih produk sesuai tipe kulit dan kebutuhan.
Pada akhirnya, Bram pun memilih produk yang menyediakan informasi bahan dan manfaatnya secara lengkap dan memuaskan.
“Aku menjatuhkan pilihan pada produk yang menyediakan informasi lengkap. Ini membantuku memilih produk dan membandingkannya dengan merek lain.” jelas Bram.
Namun, Dinda menyadari bahwa tidak semua merek mencantumkan interaksi setiap bahan aktif. Padahal, interaksi bisa menimbulkan efek yang tidak diinginkan bagi kulit.
“Secara umum produsen sudah memberikan product knowledge dengan benar. Tapi, mereka tidak memberi tahu reaksi yang ditimbulkan bila menggunakan beberapa bahan aktif secara bersamaan. Jarang ada peringatan tidak perlu pakai bahan lainnya jika sudah pakai satu bahan tertentu,” ujar Dinda.
Hal inilah dikeluhkan Ifa. Interaksi setiap bahan aktif membuatnya bingung. Ia pun cukup trauma karena berjerawat parah setelah pakai beberapa jenis produk skincare dengan kandungan aktif berbeda.
Proses mempelajari reaksi bahan aktif pada kulit memang menjadi tantangan tersendiri. Tak jarang sebagian orang mesti banyak mencari informasi, riset lebih dalam, dan bereksperimen dengan berbagai produk. Hal ini tentu memakan waktu dan biaya.
Jika sulit mendapatkan produk yang tepat, Dinda menyarankan untuk konsultasi dengan dokter spesialis kulit. Dokter akan membantu mengenali kondisi kulit dan merekomendasikan produk skincare yang aman, termasuk yang menjadi pantangan.
Anda juga sebaiknya segera ke klinik kulit bila masalah kulit sudah sangat serius, mengganggu kesehatan dan aktivitas, dan tidak lagi tertangani dengan produk-produk komersil. Pasalnya, beberapa masalah kulit memang cukup rumit.
“Masalah yang ringan mungkin bisa diatasi dengan produk skincare di pasaran. Segera menemui dokter spesialis kulit jika masalah kulit tak kunjung membaik. Jika perlu, konsultasi dengan dokter kalau memiliki beberapa masalah sekaligus seperti flek, jerawat, dan tanda penuaan,’ tegas Dinda.
Kapok mengalami masalah kulit karena tak kunjung menemukan kombinasi produk yang cocok, Ifa akhirnya memutuskan berkonsultasi dengan dokter spesialis kulit.
Kini, setelah kondisi kulitnya membaik, Ifa memercayakan saran dokter untuk menentukan perawatan yang tepat. Ia rutin melakukan pemeriksaan di sebuah klinik kulit di Yogyakarta. “Aku menghindari coba-coba produk yang berujung tidak cocok lagi.”
Laporan dari Beauty Trend dari JakPat menunjukkan bahwa ada 10 produk skincare berbeda yang dimiliki hampir 60% dari respondennya. Dokter Dinda sebelumnya mengingatkan untuk menghindari memakai banyak produk yang memiliki fungsi serupa.
Untuk memulai, Dinda juga menambahkan bahwa cukup mengandalkan perawatan kulit dasar dalam tiga langkah. Pertama membersihkan wajah (termasuk double cleansing), lalu menggunakan pelembab, terakhir melindungi kulit di pagi hari dengan tabir surya.
Bila rutinitas ini sudah ajeg, dokter Dinda mengatakan penggunaan produk yang beda fungsinya bisa ditambah sesuai masalah kondisi yang ingin diatasi.
Selain itu, Dinda menekankan pemakaian produk skincare tidak akan memberikan hasil maksimal bila tidak diiringi pola hidup sehat. Penting menjaga asupan bergizi seimbang agar kesehatan kulit terjaga.
“Buah dan sayur mengandung vitamin, mineral, dan cairan yang penting untuk menunjang fungsi kulit. Kurangi pula gula dan tepung-tepungan. Keduanya bisa, memicu peradangan. Akibatnya, kulit mudah merah, gatal, dan berjerawat,’ jelasnya.
Banyak pasien Dinda dengan masalah jerawat yang berat, tetapi masa pengobatannya bisa lebih sebentar karena mengubah pola hidup lebih sehat.
Tak kalah penting, kelola stres dan tidur malam yang memadai juga menjaga kesehatan kulit secara menyeluruh.
Stres dan kurang tidur bisa meningkatkan hormon kortisol. Hormon ini ternyata meningkatkan kadar minyak berlebih yang bisa menyumbat pori-pori dan menyebabkan jerawat.
Brama dan Afifah juga merasa bahwa kurang tidur dan stres amat memicu timbulnya jerawat.
“Kalau sedang stres, pasti aku mudah jerawatan. Kecenderungan ini aku amati saat beban kerjaku meningkat,” cerita Bram.
“Aku juga disuruh tidur cukup oleh dokterku. Aku sadar kalau bergadang pasti kulitku rentan jerawatan,” ungkap Ifa.
Tidak ada jawaban mudah untuk mendapatkan kulit yang sehat. Namun, satu hal yang pasti produk skincare bukan satu-satunya hal yang memengaruhi kondisi kulit.
Gaya hidup sehari-hari, dari asupan harian hingga manajemen stres, sangat menentukan kesehatan kulit, organ terbesar pada tubuh Anda. Kondisi kulit akan mencerminkan kesehatan tubuh, begitupun sebaliknya.
Memilih produk skincare sesuai kebutuhan kulit memang penting. Namun, pola hidup sehat akan melengkapi rangkaian perawatan kulit secara menyeluruh.
Penulis: Larastining Retno Wulandari | Editor: Fidhia Kemala | Olah Data: Fidhia Kemala | Visual: Tasya Adita Syaradina
Apakah artikel ini membantu?
Yuk, tanya dokter dan berbagi cerita seputar kondisi kulit Anda bersama Komunitas Kesehatan Kulit Hello Sehat!
Hello Sehat. (2023). Survei Mandiri Penggunaan Produk Skincare.
JakPat. (2022). 2022 Beauty Trends. Report by JakPat.
ZAP. (2023). ZAP Beauty Index 2023. Report by ZAP Clinic.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. (2017). Panduan Praktik Klinis. Sekretariat PERDOSKI. Jakarta. https://perdoski.id/uploads/original/2017/10/PPKPERDOSKI2017.pdf
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. (2022). Peraturan BPOM No.3 Tahun 2022: Persyaratan Teknis Klaim Kosmetika. https://notifkos.pom.go.id/upload/informasi/20230525112456.pdf
Hamasy. (2022). Industri Kecantikan Tanah Air Punya Prospek Bagus. Diakses 16 Juni 2023 dari https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/10/25/bpom-menilai-industri-kosmetik-akan-tetap-berkembang
Chernev, A., Böckenholt, U., & Goodman, J. (2015). Choice overload: A conceptual review and meta-analysis. Journal Of Consumer Psychology, 25(2), 333-358. doi: 10.1016/j.jcps.2014.08.002
Fatmawati, I., & Permatasari, N. (2022). The Persuasive Effects of a Beauty Influencer of an Iconic Local Skincare Brand in Indonesia. Studies In Systems, Decision And Control, 465-475. doi: 10.1007/978-3-031-10212-7_39
Du, Y., Doraiswamy, C., Mao, J., Zhang, Q., Liang, Y., Du, Z., … & Joshi, M. K. (2022). Facial skin characteristics and concerns in Indonesia: A cross‐sectional observational study. Skin Research and Technology, 28(5), 719-728.
Tan, A., Schlosser, B., & Paller, A. (2018). A review of diagnosis and treatment of acne in adult female patients. International Journal Of Women’s Dermatology, 4(2), 56-71. doi: 10.1016/j.ijwd.2017.10.006
Hirotsu, C., Tufik, S., & Andersen, M. (2015). Interactions between sleep, stress, and metabolism: From physiological to pathological conditions. Sleep Science, 8(3), 143-152. doi: 10.1016/j.slsci.2015.09.002
Zari, S., & Alrahmani, D. (2017). The association between stress and acne among female medical students in Jeddah, Saudi Arabia. Clinical, Cosmetic And Investigational Dermatology, Volume 10, 503-506. doi: 10.2147/ccid.s148499