Ligasi merupakan prosedur pengikatan organ berongga termasuk pembuluh darah vena untuk menghentikan pendarahan. Suami saya mesti menjalani prosedur ini segara karena pembuluh darahnya mengalami pembengkakan abnormal (varises). Jika tidak dihentikan, varises esofagus tersebut dapat pecah atau bocor sehingga mengalami pendarahan.
Kata dokter, pasien dengan sirosis hati sangat rentan mengalami varises esofagus karena aliran darah dari sistem pencernaan ke hati tidak lancar. Kondisi ini adalah salah satu komplikasi dari sirosis hati yang bisa menyebabkan kematian.
Parahnya kondisi sirosis hati yang dialami oleh suami saya membuatnya harus melakukan ligasi seminggu sekali. Kondisi yang tak pernah saya duga sebelumnya.
Saya pun mencoba berbagi kisah malang yang keluarga kami alami dengan saudara-saudara saya. Mengetahui kondisi yang tengah saya alami, kakak ipar saya berkata, “Siap-siap jadi janda ya, Ta.”
Saya baru mengetahui kemudian bahwa 7 dari 8 anggota keluarga suami saya memiliki hepatitis B. Penyakit tersebut juga merupakan pemicu meninggalnya ayah mertua saya yang kemudian terserang kanker hati. Kakak-kakak suami saya juga memiliki hepatitis B namun mereka mengetahui kondisi tersebut lebih dini sehingga bisa mencegah perburukan kondisi.
Jalan panjang upaya transplantasi hati
Sejak mengetahui kondisi hepatitis dan sirosis yang diderita, suami saya memutuskan untuk berhenti bekerja. Pihak keluarga pun mewanti-wanti agar fokus berobat dan beristirahat hingga penyakitnya bisa disembuhkan.
Firman rutin kontrol ke dokter dan melakukan berbagai pemeriksaan. Seminggu sekali dia melakukan ligasi dan setiap harinya disiplin minum obat yang jumlahnya cukup banyak. Selama 6 bulan lebih rutinitas itu kami jalani, namun ternyata hal tersebut tak cukup.
Pada Mei 2010, dokter menyatakan bahwa kondisi suami saya sudah semakin memburuk. “Cangkok hati satu-satunya cara,” kata dokter waktu itu.
Hal pertama yang kemudian terlintas di benak saya adalah darimana saya bisa memperoleh biaya untuk operasi tersebut. Saya sulit membayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan terlebih transplantasi hati atau cangkok hati pada orang dewasa saat itu belum pernah sekalipun dilakukan di Indonesia.
Kebetulan dokter yang menangani suami saya waktu itu adalah bagian dari tim dokter yang akan melakukan transplantasi hati pertama di Indonesia bersama dengan Zhejiang University School of Medicine, Hangzhou, China. Operasi tersebut nantinya akan dipimpin Prof. Shu-Sen Zheng.
Namun suami saya membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa mengambil keputusan. Banyak hal ia pertimbangkan sebelum bersedia mencoba menjalani operasi ini. Salah satu pertimbangannya adalah Firman khawatir pendonor akan sakit atau mengalami kondisi yang fatal ketika mendonorkan organnya.
Namun ketakutan akhirnya lenyap setelah kembali berkonsultasi dengan dokter dan dokter tersebut berkata organ hati pendonor dapat tumbuh kembali 100% dalam beberapa bulan. Pertimbangan lain adalah kondisi mendesak kesehatannya karena tingkat fungsi hati suami saya berada di angka 1300 dari minimal 5000.
Mencari pendonor cangkok hati
Sebagai istri, saya menjadi orang pertama yang dites kecocokannya untuk menjadi pendonor. Namun ternyata golongan darah saya tidak cocok. Sementara itu, anak kami pun tak bisa menjadi pendonor karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan.
Akhirnya saya menyebar info bahwa kami membutuhkan donor hati. Info tersebut saya kirim ke semua grup chat dan semua kontak yang tersimpan di ponsel saya. Saya juga mengunggah info tersebut di media sosial seperti Kaskus dan Facebook.
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar