backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

1 Dari 10 Pria Mengalami Bigorexia, Apa Penyebabnya?

Ditinjau secara medis oleh dr. Tania Savitri · General Practitioner · Integrated Therapeutic


Ditulis oleh Yuliati Iswandiari · Tanggal diperbarui 21/12/2020

    1 Dari 10 Pria Mengalami Bigorexia, Apa Penyebabnya?

    Keinginan punya bentuk tubuh ideal tak cuma dimiliki oleh kaum Hawa saja. Bagi kebanyakan pria, gym sudah seperti rumah kedua tempat memahat perut sixpack dan membentuk dada bidang demi mendapatkan bentuk tubuh ideal. Tidak ada yang salah dengan berolahraga. Namun jika obsesi ini terus menggerogoti jiwa sampai-sampai merasa diri Anda tidak akan pernah cukup “jantan’, mungkin ada baiknya berkonsultasi dengan dokter mengenai hal ini. Pasalnya, obsesi berlebihan terhadap badan kekar berotot bisa menjadi pertanda bigorexia. Waduh! Apa itu?

    Standar tubuh ideal di gym memengaruhi bagaimana Anda menilai tubuh Anda sendiri

    Diakui atau tidak, alasan untuk nge-gym bagi hampir sebagian besar pria lebih didasari oleh kekhawatiran tentang lemak tubuh serta rasa malu dan bersalah daripada keinginan untuk hidup sehat. Fenomena inilah yang mendasari tim peneliti gabungan dari Inggris dan Australia untuk mengamati sejumlah penggiat gym, dan menemukan bahwa biasanya pria yang menganggap tubuhnya “berlemak” (padahal setelah diperiksa, tidak) akan semakin sering dan lama untuk berolahraga.

    Anda terus dikelilingi oleh orang-orang yang lebih berotot daripada Anda selama berolahraga di gym. Belum lagi dibayangi oleh tempelan poster-poster penyemangat dari binaragawan terkenal dengan otot yang mencuat di sana-sini. Ketika Anda dikelilingi oleh sekelompok orang yang menganggap bahwa tipe tubuh ideal pria adalah tubuh yang kekar dan berotot, maka lama kelamaan Anda pun akan mulai mengidolakan hal yang sama. Maka dari itu, tidak mengherankan bila nantinya Anda malah jadi berpikir bahwa tubuh Anda yang saat ini sebenarnya “normal” adalah tubuh yang “gemuk dan lemah”, bukanlah tubuh yang dianggap menarik.

    Kemudian jadi tertanamlah tekad dalam diri bahwa, “Saya harus ramping dan berotot sama persis seperti mereka”, yang membuat Anda semakin menggebu-gebu berolahraga di gym. Namun di saat yang sama, orang-orang yang menjadi patokan tubuh ideal Anda juga terus membentuk otot mereka jadi lebih besar lagi sehingga standar Anda pun makin meninggi untuk mengikuti perubahan arus. Tanpa disadari, upaya tanpa henti untuk mengejar ketertinggalan ini membuat Anda semakin merasa tertekan dan terintimidasi karena tidak kunjung berhasil menjadi standar yang diinginkan.

    Ilustrasi di atas bukanlah hal yang mustahil terjadi di dunia nyata. Paparan berkelanjutan terhadap stereotip bentuk tubuh ideal dapat membuat Anda terus menyibukkan diri terhadap segala sesuatu yang terjadi pada penampilan tubuh hanya untuk menyenangkan orang lain (“Menurut dia, apakah saya terlihat gagah dengan badan seperti ini?”) dibandingkan membuat diri Anda sendiri nyaman (“Wah! Badan rasanya jadi lebih enteng habis olahraga”). Kecemasan inilah yang lama-lama dapat berdampak negatif pada kesehatan mental Anda, dan dapat berakhir pada bigorexia.

    Apa itu bigorexia?

    Bigorexia atau yang juga dikenal sebagai muscle dysmorphia sebenarnya masih satu keluarga dengan body dysmorphic disorder, yaitu satu jenis gangguan jiwa yang terkait dengan obsesi kuat terhadap citra tubuh negatif.

    Bigorexia adalah gangguan kecemasan yang ditandai dengan pemikiran obsesif (tidak henti-hentinya memikirkan dan mengkhawatirkan) tentang ‘cacat’ fisik dan penampilan tubuh, atau memfokuskan perhatian yang sangat berlebihan tentang kekurangan tubuh tertentu. Misalnya, anggapan bahwa dirinya terlalu kurus dan “lembek” dan tidak sekekar pria lain yang Anda lihat di TV atau di gym.

    Kecemasan berlanjut ini kemudian membuat Anda terus-terusan membandingkan fisik Anda dengan orang lain (“Kenapa saya tidak pernah bisa segagah dia?”), khawatir bahwa tubuh Anda tidak “normal” atau “sempurna” di mata orang lain (“Sepertinya upaya gym saya gagal semua, tubuh saya tidak berotot sama sekali!”), dan menghabiskan banyak waktu berkaca di depan cermin mempreteli bentuk tubuh yang Anda pikir tidak pernah cukup bagus.

    Gangguan kecemasan ini pada akhirnya bisa menyebabkan Anda jadi menghalalkan berbagai cara demi memiliki tubuh berotot, seperti diet ekstrim (misalnya sengaja melaparkan diri, gejala anoreksia) atau olahraga berlebihan

    Siapa yang rentan mengalami bigorexia?

    Bigorexia banyak dialami oleh laki-laki dari berbagai usia, dari dewasa muda sampai yang sudah cukup matang hingga paruh baya. Menurut Rob Wilson kepala Body Dysmorphic Disorder Foundation, seperti yang dilansir BBC, 1 dari 10 pria yang rutin nge-gym menunjukkan gejala bigorexic.

    Sayangnya banyak pria yang mengalami gangguan ini atau orang-orang terdekat mereka tidak menyadari gejalanya. Pasalnya, stereotip “pria maskulin, tinggi gagah, dan berotot” yang masih begitu kuat dipegang teguh oleh masyarakat ditambah dengan pengaruh media sosial, membuat pemandangan “nge-gym mati-matian” sebagai hal yang lumrah.

    Seseorang yang mengalami bigorexia parah bisa mengalami depresi hingga bahkan menunjukkan perilaku bunuh diri karena merasa gagal memiliki bentuk tubuh idaman akibat “tubuh cacat” yang dimilikinya.

    Apa penyebab bigorexia?

    Penyebab bigorexia tidak diketahui pasti. Tetapi, faktor biologis dan lingkungan tertentu dapat berkontribusi untuk memicu timbulnya gejala, termasuk kecenderungan genetik, faktor neurobiologis seperti gangguan fungsi serotonin di otak, ciri-ciri kepribadian, pengaruh sosial media dan keluarga hingga teman, serta budaya dan pengalaman hidup.

    Pengalaman traumatis atau konflik emosional selama masa kecil serta tingkat kepercayaan diri yang rendah juga dapat meningkatkan risiko Anda mengalami bigorexia.

    Apa saja gejala gangguan ini?

    Tanda-tanda atau gejala bigorexia di antaranya adalah hasrat tak tertahankan untuk berolahraga atay pergi nge-gym secara kompulsif, kerap memprioritaskan olahraga dibanding kehidupan pribadi dan sosialnya, sering bolak-balik bercermin memandangi bentuk tubuh, bahkan hingga menyalahgunakan suplemen otot atau menggunakan suntik steroid, yang justru bisa membahayakan kesehatan.

    Bagaimana cara mengatasi bigorexia?

    Body dysmorphic disorder seringnya tidak disadari oleh si empunya tubuh sehingga mereka menghindari untuk membicarakan gejalanya. Tapi penting untuk segera berkonsultasi ke dokter begitu Anda menyadari gejala awalnya, baik pada diri sendiri maupun pada orang terdekat Anda.

    Dokter dapat mendiagnosis Anda dari riwayat medis dan pemeriksaan fisik atau merujuk ke ahlinya (psikiater, psikolog) untuk penilaian yang lebih baik. Terapi perilaku kognitif bersama dengan obat-obatan antidepresan seperti clomipramine cukup efektif dan paling sering dijadikan rencana pengobatan bigorexia.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Tania Savitri

    General Practitioner · Integrated Therapeutic


    Ditulis oleh Yuliati Iswandiari · Tanggal diperbarui 21/12/2020

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan