Banyak yang beranggapan bahwa pria harus menjadi sosok kuat, tangguh, dan agresif. Ketika menunjukkan perilaku berkebalikan, pria akan dianggap lemah dan tidak jantan. Anggapan itu merupakan bentuk toxic masculinity.
Ditinjau secara medis oleh dr. Nurul Fajriah Afiatunnisa · General Practitioner · Klinik Chika Medika
Banyak yang beranggapan bahwa pria harus menjadi sosok kuat, tangguh, dan agresif. Ketika menunjukkan perilaku berkebalikan, pria akan dianggap lemah dan tidak jantan. Anggapan itu merupakan bentuk toxic masculinity.
Sikap ini dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental. Apa saja dampak tersebut? Simak jawabannya dalam uraian berikut.
Toxic masculinity adalah anggapan yang mengharuskan pria memiliki ciri tertentu, misalnya kuat secara fisik, berkuasa, dan mendominasi. Jika tidak, kejantanan pria akan dipertanyakan.
Menurut studi berjudul The Structure of Male Role Norms, disebutkan bahwa toxic masculinity terbagi ke dalam tiga komponen berikut.
Di Indonesia sendiri, sikap ini masih bisa ditemukan dengan mudah dalam masyarakat. Berikut sejumlah contoh toxic masculinity yang masih sering terjadi.
Maskulinitas sendiri sebenarnya merupakan hal yang baik. Namun, ketika menjadi sesuatu yang toxic, sikap tersebut dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental.
Sejumlah perilaku dapat menjadi tanda seorang pria memiliki maskulinitas yang toxic. Berikut beberapa di antaranya.
Sejak kecil, pria terus diberi pesan bahwa mereka harus mandiri dan tangguh karena keduanya dianggap sebagai kunci kesuksesan hidup. Saat terlihat lemah, muncul ketakutan akan diejek.
Umumnya, tindak kekerasan dilakukan sebagai bukti kejantanan pria. Selain itu, kebanyakan pria juga menganggap bahwa kekerasan bisa meningkatkan maskulinitas mereka.
Pria dengan maskulinitas yang toxic selalu ingin mendominasi dalam pengambilan keputusan. Dominasi tersebut biasanya dilakukan dalam bentuk intimidasi, baik secara fisik atau verbal.
Jika menemui pria yang bersikap agresif pada wanita, Anda patut waspada. Pria dengan sikap ini biasanya cenderung melakukan tindakan-tindakan seperti:
Pria dengan sikap ini tidak mau menunjukkan perasaan mereka. Tindakan itu dilakukan karena mengungkapkan perasaan dinilai sebagai perilaku wanita dan membuat mereka terlihat lemah.
Pekerjaan rumah seperti mencuci, menyapu, atau memasak kerap dianggap sebagai kewajiban wanita. Anggapan ini membuat pria dengan maskulinitas toxic menolak melakukannya.
Toxic masculinity bisa berpengaruh buruk terhadap kesehatan fisik, mental, maupun kehidupan sosial seseorang. Tidak hanya kepada korban, sikap ini juga berdampak buruk bagi pelakunya.
Berikut dampak toxic masculinity yang perlu diwaspadai.
Orang dengan maskulinitas yang toxic cenderung mengabaikan kesehatannya. Mereka akan menolak melakukan pemeriksaan kesehatan rutin karena tidak ingin dianggap lemah.
Padahal, pemeriksaan kesehatan rutin merupakan tindakan yang wajib dilakukan. Dengan begitu, gangguan kesehatan yang Anda alami dapat dideteksi dan ditangani sedini mungkin.
Toxic masculinity sering kali mendorong terjadinya perilaku tidak sehat. Tindakan ini dilakukan agar mereka dianggap jantan sepenuhnya oleh orang lain.
Beberapa perilaku tidak sehat akibat maskulinitas yang toxic, meliputi:
Maskulinitas yang toxic membuat pria kerap memendam emosinya sendiri. Tindakan itu dilakukan supaya tidak dianggap lemah oleh orang lain.
Lama-kelamaan, sikap tersebut dapat meningkatkan risiko depresi dan gangguan kecemasan. Saat kondisinya sudah parah, percobaan bunuh diri menjadi tindakan yang tidak terhindarkan.
Banyak pria yang akhirnya dikucilkan karena dinilai tidak memenuhi syarat sebagaimana lelaki pada mestinya. Tak hanya pengucilan, tindakan ini juga sering berujung pada perundungan.
Umumnya, kedua tindakan tersebut lebih sering terjadi pada kelompok usia anak-anak atau remaja. Akibatnya, risiko terjadinya gangguan mental akan semakin meningkat.
Dampak yang diterima oleh masing-masing orang mungkin akan berbeda. Terlepas dari itu, sikap maskulinitas yang toxic tidak dibenarkan dan harus segera dihentikan.
Toxic masculinity dapat muncul sebagai dampak didikan orangtua yang salah atau akibat pengaruh lingkungan. Agar terhindar dari sikap ini, beberapa upaya pencegahan bisa dilakukan.
Berikut cara mencegah maskulinitas yang toxic.
Jika Anda mengalami masalah kesehatan mental akibat sikap ini, segera konsultasikan ke psikolog atau psikiater. Penanganan sedini mungkin dapat mencegah kondisi bertambah parah.
Catatan
Hello Health Group tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar