backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan
Konten

Toxic Masculinity, Ketika Pria Dipaksa Kuat dan Tangguh

Ditinjau secara medis oleh dr. Nurul Fajriah Afiatunnisa · General Practitioner · Universitas La Tansa Mashiro


Ditulis oleh Bayu Galih Permana · Tanggal diperbarui 07/09/2023

Toxic Masculinity, Ketika Pria Dipaksa Kuat dan Tangguh

Banyak yang beranggapan bahwa pria harus menjadi sosok kuat, tangguh, dan agresif. Ketika menunjukkan perilaku berkebalikan, pria akan dianggap lemah dan tidak jantan. Anggapan itu merupakan bentuk toxic masculinity.

Sikap ini dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental. Apa saja dampak tersebut? Simak jawabannya dalam uraian berikut. 

Apa itu toxic masculinity?

Toxic masculinity adalah anggapan yang mengharuskan pria memiliki ciri tertentu, misalnya kuat secara fisik, berkuasa, dan mendominasi. Jika tidak, kejantanan pria akan dipertanyakan.

Menurut studi berjudul The Structure of Male Role Norms, disebutkan bahwa toxic masculinity terbagi ke dalam tiga komponen berikut.

  • Ketangguhan: pria harus kuat secara fisik, tidak memikirkan perasaan, dan berperilaku agresif.
  • Antifeminitas: pria harus menolak segala sesuatu yang dianggap feminin, seperti menunjukkan perasaan, melakukan pekerjaan rumah tangga, atau menerima bantuan.
  • Kekuasaan: pria harus berkuasa, baik secara sosial maupun finansial, sehingga dapat dihormati oleh orang lain.

Di Indonesia sendiri, sikap ini masih bisa ditemukan dengan mudah dalam masyarakat. Berikut sejumlah contoh toxic masculinity yang masih sering terjadi.

  • Pria tidak boleh menangis.
  • Pria harus berani mengambil risiko.
  • Pria harus berani merokok atau minum minuman beralkohol.
  • Pria harus menyelesaikan masalah dengan adu pukul (kekerasan).
  • Pria tidak boleh melakukan pekerjaan wanita, seperti bersih-bersih atau memasak.

Maskulinitas sendiri sebenarnya merupakan hal yang baik. Namun, ketika menjadi sesuatu yang toxic, sikap tersebut dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental.

Ciri-ciri toxic masculinity

bersikap agresif pada wanita merupakan salah satu ciri toxic masculinity

Sejumlah perilaku dapat menjadi tanda seorang pria memiliki maskulinitas yang toxic. Berikut beberapa di antaranya.

1. Berusaha selalu terlihat tangguh

Sejak kecil, pria terus diberi pesan bahwa mereka harus mandiri dan tangguh karena keduanya dianggap sebagai kunci kesuksesan hidup. Saat terlihat lemah, muncul ketakutan akan diejek.

2. Sering melakukan kekerasan

Umumnya, tindak kekerasan dilakukan sebagai bukti kejantanan pria. Selain itu, kebanyakan pria juga menganggap bahwa kekerasan bisa meningkatkan maskulinitas mereka.

3. Selalu ingin mendominasi

Pria dengan maskulinitas yang toxic selalu ingin mendominasi dalam pengambilan keputusan. Dominasi tersebut biasanya dilakukan dalam bentuk intimidasi, baik secara fisik atau verbal.

4. Bersikap agresif pada wanita

Jika menemui pria yang bersikap agresif pada wanita, Anda patut waspada. Pria dengan sikap ini biasanya cenderung melakukan tindakan-tindakan seperti:

  • mengomentari wanita secara seksual,
  • melontarkan lelucon-lelucon seksis,
  • berani melakukan tindakan pelecehan seksual pada wanita, atau
  • menyalahkan perempuan dalam kasus pelecehan atau pemerkosaan.

5. Tidak menunjukkan perasaan

Pria dengan sikap ini tidak mau menunjukkan perasaan mereka. Tindakan itu dilakukan karena mengungkapkan perasaan dinilai sebagai perilaku wanita dan membuat mereka terlihat lemah.

6. Menolak melakukan pekerjaan rumah tangga

Pekerjaan rumah seperti mencuci, menyapu, atau memasak kerap dianggap sebagai kewajiban wanita. Anggapan ini membuat pria dengan maskulinitas toxic menolak melakukannya.

Dampak toxic masculinity

orang tua menghadapi anak yang menunjukkan gejala depresi

Toxic masculinity bisa berpengaruh buruk terhadap kesehatan fisik, mental, maupun kehidupan sosial seseorang. Tidak hanya kepada korban, sikap ini juga berdampak buruk bagi pelakunya. 

Berikut dampak toxic masculinity yang perlu diwaspadai.

1. Cenderung mengabaikan kesehatan

Orang dengan maskulinitas yang toxic cenderung mengabaikan kesehatannya. Mereka akan menolak melakukan pemeriksaan kesehatan rutin karena tidak ingin dianggap lemah.

Padahal, pemeriksaan kesehatan rutin merupakan tindakan yang wajib dilakukan. Dengan begitu, gangguan kesehatan yang Anda alami dapat dideteksi dan ditangani sedini mungkin.

2. Mendorong perilaku tidak sehat

Toxic masculinity sering kali mendorong terjadinya perilaku tidak sehat. Tindakan ini dilakukan agar mereka dianggap jantan sepenuhnya oleh orang lain.

Beberapa perilaku tidak sehat akibat maskulinitas yang toxic, meliputi:

  • merokok, 
  • minum alkohol secara berlebihan, 
  • menggunakan obat terlarang, hingga 
  • mengemudi kendaraan dengan kecepatan tinggi.

3. Meningkatkan risiko depresi dan gangguan kecemasan

Maskulinitas yang toxic membuat pria kerap memendam emosinya sendiri. Tindakan itu dilakukan supaya tidak dianggap lemah oleh orang lain.

Lama-kelamaan, sikap tersebut dapat meningkatkan risiko depresi dan gangguan kecemasan. Saat kondisinya sudah parah, percobaan bunuh diri menjadi tindakan yang tidak terhindarkan.

4. Dikucilkan dari kelompok tertentu

Banyak pria yang akhirnya dikucilkan karena dinilai tidak memenuhi syarat sebagaimana lelaki pada mestinya. Tak hanya pengucilan, tindakan ini juga sering berujung pada perundungan.

Umumnya, kedua tindakan tersebut lebih sering terjadi pada kelompok usia anak-anak atau remaja. Akibatnya, risiko terjadinya gangguan mental akan semakin meningkat.

Dampak yang diterima oleh masing-masing orang mungkin akan berbeda. Terlepas dari itu, sikap maskulinitas yang toxic tidak dibenarkan dan harus segera dihentikan.

Cara mencegah toxic masculinity

Toxic masculinity dapat muncul sebagai dampak didikan orangtua yang salah atau akibat pengaruh lingkungan. Agar terhindar dari sikap ini, beberapa upaya pencegahan bisa dilakukan.

Berikut cara mencegah maskulinitas yang toxic.

  • Tidak memberikan pemahaman yang salah pada anak, misalnya anak laki-laki harus menyukai olahraga seperti tinju, balap mobil, atau MMA.
  • Ajarkan anak untuk mengekspresikan emosi mereka dengan baik. Sebaliknya, memendam emosi justru berdampak negatif bagi mereka.
  • Tanamkan sikap menghormati orang lain, misalnya dengan berusaha mengerti keinginan orang lain dan tidak selalu berusaha mendominasi.
  • Beri contoh yang baik. Maskulinitas toxic bisa terjadi karena anak mencontoh orangtua. Maka dari itu, Anda harus bisa menjadi contoh yang baik.

Jika Anda mengalami masalah kesehatan mental akibat sikap ini, segera konsultasikan ke psikolog atau psikiater. Penanganan sedini mungkin dapat mencegah kondisi bertambah parah.

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

Ditinjau secara medis oleh

dr. Nurul Fajriah Afiatunnisa

General Practitioner · Universitas La Tansa Mashiro


Ditulis oleh Bayu Galih Permana · Tanggal diperbarui 07/09/2023

advertisement iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

advertisement iconIklan
advertisement iconIklan