Awalnya tampak biasa, Mirna (bukan nama sebenarnya), datang jauh-jauh dari Palembang ke Rumah Sakit Dharmais Jakarta bersama ibunya pada 2007 silam.
Anak perempuan berusia 10 tahun ini ingin menemui dokter kanker anak untuk menanyakan kondisi tubuhnya yang sebenarnya tak biasa.
Menggunakan jaket yang tampak kebesaran, tak ada hal aneh yang terlihat pada tubuh Mirna saat itu. Ia masuk ke ruangan dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA seperti anak-anak sehat pada umumnya.
Namun tak disangka, ketika jaketnya dilepas, lengan bawah sebelah kanan Mirna terlihat membengkak. Ukurannya begitu besar. Lengannya pun bak sebuah gada yang sering orang gunakan sebagai senjata.
Dengan kondisinya tersebut dan berbagai pemeriksaan yang dilakukan, Mirna divonis menderita kanker pada jaringan lunak alias rabdomiosarkoma.
Pengobatan medis dan alternatif bukan untuk dilakukan bersamaan
Diagnosis medis yang sulit dipercaya kerap jadi alasan mengapa masih ada pasien maupun keluarganya yang lebih memilih untuk menempuh jalan pintas melalui pengobatan tradisional demi kesembuhan.
Padahal, tidak bisa terprediksi seberapa jauh penyakit dapat bertambah parah di dalam tubuh tanpa adanya pemeriksaan dan penanganan yang tepat.
Harapan tak sesuai kenyataan
Guna mengatasi penyakitnya itu, dr. Edi menyarankan Mirna untuk menjalani prosedur kemoterapi. Tujuannya untuk membunuh serta menghentikan pertumbuhan sel kanker.
Sayangnya, Mirna dan keluarga tak langsung menyetujui. Mereka pun memilih pulang ke Palembang untuk berdiskusi bersama keluarga.
Singkat cerita, Mirna datang kembali bersama ibunya menemui dr. Edi setelah beberapa bulan kemudian. Saat itu, kondisi lengannya sudah mengecil.
Dikira menjalani kemoterapi, ternyata Mirna hanya minum jamu-jamuan alias menjalani pengobatan alternatif atau tradisional guna mengatasi penyakit kanker yang dideritanya.
Ibunya saat itu merasa bangga. Pengobatan alternatif yang dipilihnya diyakini sudah dapat menyembuhkan penyakit yang buah hatinya derita.
Nahas, selang beberapa waktu kemudian, ibunya memberi kabar ke dr. Edi bahwa Mirna sudah tiada. Ibunya menceritakan bahwa Mirna mengalami sesak napas sebelum ajal menjemputnya.
Dari kondisi yang diceritakan, dr. Edi menyimpulkan bahwa sel kanker Mirna sudah menyebar ke paru-paru. Jadi, meski lengannya sudah mengecil, sel kanker diam-diam tetap berkembang dan bahkan menyebar.
Satu di antara ‘ribuan’ pasien
Cerita Mirna begitu menyayat hati. Ironisnya, pengalaman menggunakan pengobatan tradisional kanker ini bukan hanya terjadi pada Mirna seorang.
Masih ada ratusan atau mungkin ribuan pasien kanker anak lainnya yang mengalami hal serupa.
Salah satunya bernama Saputra, seorang anak penderita kanker mata retinoblastoma. Ia didiagnosis menderita retinoblastoma stadium lanjut saat pertama kali datang ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) beberapa tahun silam.
Saat itu, sel kankernya diketahui sudah menyebar ke otak dan sumsum tulang belakang.
Sayangnya, meski kondisinya mengkhawatirkan dan sudah menjalani berbagai pemeriksaan medis, orangtuanya justru memilih untuk membawa Saputra ke pengobatan tradisional.
“Kalau Saputra, mau (pengobatan) alternatif kayak apa saja itu pasti dijalani. Pokoknya dia cari bagaimana pun caranya,” ujar Erwin Fauzi Djuhardi, Ketua Yayasan Sehati Anak Indonesia, saat menceritakan kondisi pasien yang dibantunya kepada Hello Sehat pada Rabu (8/2/2023).
Alih-alih sembuh, pengobatan alternatif yang dijalani Saputra justru tak memberikan efek apa pun. Matanya malah makin membengkak dan bahkan menonjol.
Pihak keluarga akhirnya memutuskan untuk membawa Saputra kembali berobat ke rumah sakit semula.
Kini, Saputra sudah selesai menjalani ragam pengobatan. Mulai dari kemoterapi hingga operasi pengangkatan bola mata. Ia pun sudah menggunakan protesa mata untuk mengganti bola matanya yang sudah diangkat.
Masih banyak yang percaya pengobatan tradisional
Pengalaman Mirna dan Saputra menjadi bukti bahwa pengobatan alternatif atau tradisional masih dipilih oleh banyak orang untuk mengatasi berbagai penyakit, termasuk kanker, yang diderita.
Hal ini juga terbukti melalui survei kecil-kecilan yang dilakukan tim Hello Sehat melalui akun instagram kami.
Dari hasil survei tersebut diketahui bahwa sebanyak 48% responden mengatakan pernah berobat ke pengobatan alternatif.
Bahkan, sebanyak 44% lainnya mengaku sering mendatangi pengobatan tersebut. Sementara hanya 8% responden yang belum pernah menjalaninya sama sekali.
Bukan sekadar datang, beberapa di antara mereka pun mengaku percaya terhadap berbagai pengobatan alternatif itu.
Dari hasil survei didapatkan fakta bahwa sekitar 37% responden masih percaya dengan pengobatan alternatif, sedangkan 14% lainnya tidak percaya sama sekali.
Yang terbanyak, yaitu sekitar 64% di antaranya, mengaku bimbang apakah ia perlu percaya atau tidak dengan jenis pengobatan nonmedis ini.
Meski kepercayaannya cukup tinggi, beberapa di antara responden tetap berpikir bahwa pengobatan alternatif saja tak cukup untuk mengatasi berbagai penyakit.
Sekitar 72% responden mengaku, perlu ada pemeriksaan medis untuk mengetahui kepastian penyakit yang diderita.
Sementara 19% lainnya berpikir bahwa perlu melakukan keduanya, yakni pengobatan alternatif dan medis sekaligus.
Fakta ini sejalan dengan tingginya pemahaman responden terhadap risiko atau bahaya yang mungkin timbul dari pengobatan alternatif.
Sebanyak 52% responden meyakini ada risiko yang bisa timbul dari pengobatan tradisional ini. Sementara 42% lainnya mengaku tak mengetahui apa pun dan 6% sisanya meyakini tak ada risiko yang bisa terjadi.
Risiko dari pengobatan kanker tradisional ditanggung sendiri
Tak bisa dipungkiri, berbagai jenis pengobatan, termasuk medis sekalipun, memiliki risiko atau efek sampingnya masing-masing.
Namun, keunggulan dari pengobatan medis adalah berbagai efek samping yang mungkin timbul sudah sebagian besar diketahui dan telah didalami melalui berbagai studi.
Jadi, para dokter dan tim medis lain sudah mengetahui cara mengantisipasi atau mengatasi sebagian besar efek samping yang terjadi dari pengobatan yang dijalani.
Ini berbeda dengan pengobatan alternatif yang terkadang tak diketahui risiko yang mungkin muncul.
Di satu sisi, jenis pengobatan alternatif mungkin menguntungkan, tapi diam-diam juga bisa menimbulkan bahaya seperti yang terjadi pada Mirna.
Berkaca pada kasus Mirna, dr. Edi menyimpulkan bahwa pengobatan tradisional untuk kanker mungkin sedikit banyak memberikan dampak.
“Ini makin menguatkan teori saya bahwa pengobatan alternatif untuk kanker mungkin mempunyai dampak yang positif terhadap tumornya secara lokal. Terbukti dengan ukuran tangannya yang mengecil setelah minum jamu,” kata dr. Edi saat diwawancara Hello Sehat pada Senin (13/3/2023).
Sayangnya, pengobatan tradisional ini diyakini tidak memiliki kemampuan untuk mengejar sel-sel kanker yang menyebar. Terbukti, sel kanker yang ada di lengan Mirna telah menyebar ke paru-paru, sehingga menyebabkan sesak napas dan akhirnya meninggal.
Namun, bila berkaca pada kasus Saputra, pengobatan alternatif justru benar-benar tak memberikan dampak positif apa pun. Malah merugikan.
Bukannya membaik, kondisi Saputra malah semakin parah. Ia justru baru bisa tertangani dengan baik setelah kembali ke pengobatan medis seperti yang disarankan sebelumnya.
“Itu hak mereka (untuk memilih pengobatan alternatif). Yang penting bagi saya, saya sudah sampaikan yang seharusnya. Makanya saya tidak marah kepada keluarga ini (Mirna) kan, tapi ya itu (ada risiko) yang harus mereka tanggung sebagai akibat menggunakan alternatif,” ujar dr. Edi.
Pasien diminta memilih
Lebih lanjut dr. Edi mengatakan dirinya selalu memberikan pilihan kepada pasien yang mempertimbangkan pengobatan alternatif.
Keduanya tak boleh digabungkan karena khawatir ada interaksi obat yang terjadi yang justru bisa membahayakan penderitanya.
Bila digabungkan, kedua pengobatan ini mungkin saja bisa saling menguatkan. Hanya saja, keduanya juga bisa saling meniadakan karena kemungkinan interaksi obat yang tak diketahui itu.
Namun, dari cerita dr. Edi, sebagian besar dari pasiennya masih memilih untuk menjalani pengobatan secara medis.
Pasien-pasien kecilnya serta para orangtua mereka luluh setelah mendengarkan berbagai pengalaman nahas tentang penderita kanker lain yang memilih jalur tradisional sebagai pengobatan utama.
“Mereka mau saya yang tangani. Mereka mau sama saya dan setelah mendengar penjelasan saya. Jadi mereka pilih kemo (kemoterapi),” kata dr. Edi.
Jalani pengobatan kanker yang seharusnya
Bagi yang sudah memahami kanker, mereka pasti tahu bahwa pengobatan kanker yang tepat hanya ada tiga yang utama. Ada kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan.
Bentuk pengobatan yang dilakukan tentu akan disesuaikan dengan jenis kanker anak serta kondisi dan stadium penyakit yang diderita. Namun, hingga saat ini, kemoterapi masih merupakan pilihan utama.
Pada kasus retinoblastoma pada anak, misalnya, pasien biasanya harus menjalani kemoterapi terlebih dahulu. Tujuannya untuk membasmi sel-sel kanker yang menyebar serta membuat benjolan atau tumor mengecil.
Jika dirasa penyebaran sel kanker sudah tak ditemukan, operasi pengangkatan mata baru akan dilakukan. Operasinya bisa mengambil bola matanya saja atau berikut dengan kelopak matanya.
Nantinya, mata yang bolong setelah prosedur operasi dapat dipasang protesa mata atau mata palsu. Fungsinya untuk membuat tampilan wajah tetap seperti orang normal pada umumnya.
Skema pengobatan di atas biasanya akan dokter rekomendasikan untuk mengobati retinoblastoma stadium lanjut. Sementara bila masih stadium awal, krioterapi sering kali sudah cukup untuk mengatasi penyakit ini.
Tak jauh berbeda dengan retinoblastoma, kanker rabdomiosarkoma juga melibatkan kemoterapi sebagai pengobatan utama.
Dengan menggunakan obat-obatan, kemoterapi akan menangani kanker dengan menghambat pertumbuhan selnya yang begitu cepat.
Namun masalahnya, obat kemoterapi tidak hanya menyasar sel kanker, tetapi juga memengaruhi sel-sel normal yang juga bertumbuh.
Inilah mengapa kemoterapi sering menimbulkan efek samping yang cukup mengganggu. Mulai dari mual muntah, tak nafsu makan, hingga rontoknya rambut yang sering kali menimbulkan kebotakan.
Kabar baiknya, efek samping ini umumnya dapat ditebak dan diatasi. Gejalanya pun hanya terjadi sementara hingga pengobatan selesai dilakukan.
Tentu ini berbeda dengan pengobatan alternatif atau tradisional yang tak begitu diketahui risikonya.
Pada akhirnya, salah mengambil jalan pengobatan justru bisa berujung pada kondisi yang membahayakan atau bahkan kematian.
[embed-health-tool-bmi]