“Selama saya jadi dokter kanker anak, bisa dikatakan semua pasien retinoblastoma yang datang sudah dalam keadaan stadium lanjut.”
Begitu kira-kira yang dikeluhkan dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA setelah selama kurang lebih 20 tahun bertugas menjadi dokter kanker anak.
Berapa banyak kasus retinoblastoma di Indonesia?
Diperkirakan 1 dari 15.000 kelahiran hidup pun menderita jenis kanker mata ini. Bukan cuma jumlah kasusnya, angka kematian jenis kanker ini juga terbilang tinggi.
Mereka yang divonis retinoblastoma datang dengan satu sisi mata yang menonjol dan membesar.
Penglihatannya sudah tidak ada. Sel kankernya pun sudah menyebar ke otak dan sumsum tulang.
Beberapa di antara mereka masih hidup dan bertahan hingga sekarang. Namun, sebagian besarnya harus terenggut nyawanya di usia yang begitu muda.
Ironisnya, kebanyakan dari mereka yang masih bertahan pun terpaksa harus kehilangan salah satu matanya.
Jika sudah stadium lanjut begini, upaya yang dilakukan dr.Edi memang hanya untuk menyelamatkan nyawa sang anak. Bukan penglihatan, apalagi matanya.
Terbanyak kedua
Retinoblastoma adalah jenis kanker mata yang dimulai di retina, yaitu bagian paling belakang dari mata.
Jenis kanker ini paling umum menyerang anak-anak, terutama yang berusia di bawah 5 tahun.
Di Indonesia, retinoblastoma merupakan jenis kanker pada anak dengan jumlah kasus terbanyak kedua setelah leukemia.
“Di beberapa rumah sakit, retinoblastoma termasuk nomor dua penyebab kematian akibat kanker pada anak,” ujar dr. Edi saat ditemui Hello Sehat di Tzu Chi Hospital pada Rabu pagi (8/2/2023).
Sejalan dengan fakta tersebut, angka harapan hidup retinoblastoma juga terbilang rendah. Jika ditemukan pada stadium lanjut, hanya sekitar 25% penderita yang punya harapan hidup hingga dua tahun.
Angkanya bisa lebih tinggi hingga mencapai 80% jika penyakit ini ditemukan lebih dini pada stadium awal.
Rendahnya angka ini membuat World Health Organization (WHO) menargetkan angka harapan hidup pengidap retinoblastoma dari yang saat ini sekitar 25% menjadi 60% pada tahun 2030.
“Artinya, angka 20-an% itu masih banyak stadium 4 yang datang ke kita (rumah sakit). Tahun 2030 itu diharapkan yang datang ke kita itu stadium awal, sehingga angka ketahanan hidupnya bisa 60%. Itu yang mau kita capai,” lanjut dr. Edi.
Meski tampak jauh, target ini masih mungkin dicapai. Apalagi, retinoblastoma merupakan jenis kanker anak yang bisa dideteksi lebih awal.
Gencar deteksi dini
Kasusnya terbilang tinggi dan penyakitnya pun sulit dicegah. Namun menariknya, retinoblastoma jadi satu-satunya kanker pada anak yang bisa dideteksi lebih dini.
Salah satu caranya adalah melakukan pemeriksaan sederhana dan secara rutin pada mata. Tapi, pemeriksaan yang dimaksud bukan berarti sering pergi ke dokter mata.
Pemeriksaan mata untuk mendeteksi dini retinoblastoma bisa dilakukan sambil memeriksa tumbuh kembang anak secara rutin di posyandu atau puskesmas.
Jadwal vaksin juga bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan pemeriksaan mata ini. “Ini namanya pemeriksaan lihat merah atau siret. Jadi dengan menggunakan oftalmoskop,” tutur dr. Edi.
Oftalmoskop adalah alat yang memang sering dokter atau tim medis gunakan untuk mengecek bagian belakang dan dalam mata, termasuk retina.
Untuk melakukan deteksi dini retinoblastoma, oftalmoskop hanya perlu diarahkan ke mata anak. Cahaya yang ada di alat ini kemudian dibiaskan ke mata.
Bila mata memantulkan cahaya merah, artinya tidak ada kecurigaan sel kanker yang terdeteksi. Namun, bila yang muncul berwarna putih seperti mata kucing dan tampak ada yang menghalangi mata, kondisi retinoblastoma bisa dicurigai.
Jika ini yang terjadi, pemeriksaan ke dokter mata mendesak untuk dilakukan. Nantinya, CT Scan akan dijalankan untuk mencari kemungkinan kalsifikasi pada mata yang merupakan ciri khas dari retinoblastoma.
“Belum pasti (terkena retinoblastoma). Bisa jadi itu (mata kucing) katarak. Nah, makanya kalau menjumpai seperti ini tetap pergi ke dokter untuk dikonfirmasi,” lanjut dr. Edi.
Dengan CT Scan, tanda kalsifikasi yang terlihat sudah cukup menyatakan bahwa seorang anak terkena retinoblastoma.
Aplikasi pembantu deteksi
Deteksinya cukup mudah dan sederhana. Sayangnya, tingkat kesadaran atau awareness orangtua dan banyak pihak lain masih terbilang rendah.
Artinya, tidak banyak orangtua yang tahu pentingnya pemeriksaan mata secara rutin dengan oftalmoskop ini. Lagipula, oftalmoskop itu sendiri mungkin tidak ada di semua fasilitas medis.
Meski kendala ini terjadi, pemeriksaan mata untuk deteksi dini retinoblastoma seharusnya masih tetap dilakukan dengan cara yang lebih sederhana.
Dr. Edi menceritakan, kini ada aplikasi di ponsel pintar yang bisa membantu mendeteksi kondisi mata yang tidak normal.
Aplikasi ini bernama Cradle yang dibuat oleh orangtua penyintas retinoblastoma di Amerika Serikat. Penggunaan Cradle pun terbilang mudah.
Cara menggunakan aplikasi Cradle untuk deteksi retinoblastoma
- Selayaknya berswafoto, ponsel hanya perlu diarahkan ke wajah, terutama mata.
- Jika muncul tanda kotak berwarna hijau bertuliskan “normal” pada layar ponsel, artinya tidak ada masalah pada mata yang perlu dicurigai.
- Bila memang ada masalah pada mata anak, terutama mata kucing, layar ponsel akan memunculkan tanda kotak berwarna merah.
“Jadi kalau belum (ada oftalmoskop), kita bisa pakai Cradle ini. Jadi tidak ada alasan tidak punya oftalmoskop untuk screening (mata),” kata dr. Edi sambil mempraktikkan penggunaan Cradle.
Perhatikan gejala
Pemeriksaan rutin memang dapat membantu deteksi dini. Namun, sebagai orangtua, aware terhadap gejala kanker juga bisa menjadi salah satu cara untuk mendeteksi penyakit lebih cepat.
Terkait deteksi dini retinoblastoma, dr. Edi menyampaikan beberapa gejala yang perlu diperhatikan dan diwaspadai.
Selain bintik putih pada mata, waspadai pula gejala mata juling atau strabismus. Terkadang, mata anak memang tidak memunculkan bintik putih pada awalnya.
Namun, salah satu mata malah terlihat jereng atau juling yang tak seperti biasanya. Bila begini kondisinya, orangtua perlu curiga dan bisa bawa anak segera ke dokter mata.
Ironisnya, orangtua yang kurang aware terhadap gejala kanker mata anak ini menganggap kondisi mata anaknya tak perlu diperiksakan.
Akibatnya, bila retinoblastoma yang terjadi, mata anak sudah menonjol dan membengkak. Bahkan, mata sudah rusak dan operasi pengangkatan mata menjadi salah satu jalannya.
Jadi, aware terhadap gejala-gejala kanker pada anak ini penting, terutama bagi anak yang memiliki riwayat keluarga dengan retinoblastoma.
Faktor keturunan
Meski tak semua kasusnya terkait genetik, bisa dibilang, faktor keturunan menjadi salah satu hal penting dalam deteksi dini retinoblastoma.
Bagaimana tidak, retinoblastoma merupakan satu-satunya kanker pada anak yang terbukti dapat diturunkan dalam keluarga.
“Artinya, apabila dalam satu keluarga ada yang anaknya kena retinoblastoma, anaknya yang berikutnya kemungkinan kena juga. Apalagi jika ayahnya yang kena, anaknya kemungkinan besar kena juga meski ibunya enggak,” tegas dr. Edi.
Ini berarti anak yang lahir dari orangtua penderita retinoblastoma perlu diperiksakan langsung secara rutin ke dokter mata.
Pemeriksaan rutin ini perlu dilakukan hingga usia anak 5 tahun, ketika retinoblastoma lebih mungkin terjadi.
Jika 5 tahun sudah berlalu, kelainan ini mungkin tidak akan pernah dijumpai. Artinya, anak tersebut bisa dibilang tak akan pernah terkena retinoblastoma.
Hal ini pun pernah dr. Edi sarankan pada salah satu pasiennya bernama Abiyu yang kini sudah menikah.
Sebagai seorang dokter, dr. Edi tentu senang dengan kualitas hidup yang Abiyu capai setelah selesai menjalani pengobatan.
Namun, sudah menjadi kewajiban bagi seorang dokter untuk mengingatkan kepada pasien tentang risiko yang mungkin akan dialami pasien dan keluarganya.
“Pesan saya ke dia (pasien dr. Edi), kalau nanti sudah punya anak, pastikan anak itu sejak lahir lapor ke dokter mata,” ujar dr. Edi.
Jika memang anaknya terkena, penyakit ini dapat terdeteksi lebih awal, sehingga pengobatannya akan lebih mudah dilakukan.
Semakin cepat terdeteksi, semakin mudah diobati
Deteksi dini memang dibutuhkan untuk meningkatkan angka harapan hidup penderita retinoblastoma.
Bukan tak mungkin, jika penyakit ini terdeteksi lebih cepat, pengobatannya lebih mudah dilakukan dan kemungkinan sembuhnya lebih besar.
Dr. Edi kembali menjelaskan, jika retinoblastoma ditemukan pada stadium satu, pengobatan yang diberikan cukup berupa krioterapi untuk membunuh sel kanker.
Sementara pengobatan untuk retinoblastoma stadium lanjut lebih kompleks. Ini seringkali berupa kemoterapi dalam beberapa seri serta operasi pengangkatan bola mata.
Pengobatannya pun akan terjadi lebih lama, mulai dari 3 bulan hingga tahunan, tergantung kondisi pasiennya.
Bila bola mata sudah diangkat, penggunaan protesa mata atau mata palsu perlu dilakukan, yang tentu tak kecil biayanya.
Meski tak selalu terkait medis, protesa mata dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri anak dan menjaga kualitas hidup mereka ke depannya.
Jadi, jangan sepelekan kondisi kesehatan mata anak, bahkan meski tak tampak ada bahaya.
Pemeriksaan rutin untuk deteksi dini retinoblastoma perlu diterapkan untuk mencegah hal-hal buruk yang tak diinginkan.
[embed-health-tool-bmi]