Lima tahun lalu saya mengidap Steven Johnson Syndrome (SJS), sebuah penyakit reaksi alergi yang sangat langka terjadi, yang membawa hidup saya diambang kematian. Inilah pengalaman saya menghadapi dan melalui Steven Johnson Syndrome hingga sembuh.
Pengalaman mengidap Steven Johnson Syndrome
Sudah berapa butir paracetamol saya tenggak sejak kemarin, tapi suhu tubuh malah kian tinggi. Untung ini hari sabtu, pikir saya. Maka saya memaksakan pergi dari kamar kos untuk pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Ibu segera menyiapkan makanan, obat demam, dan terus mengompres kepala saya. Meski telah meminum obat dan dikompres, suhu tubuh saya tak juga turun. Kondisi saya malah bertambah parah dengan mata yang memerah dan timbul bercak-bercak seperti ruam di kulit.
Malam itu juga Ibu segera membawa saya ke klinik 24 jam terdekat. Melihat gejala yang terlihat, dokter jaga di sana mengira saya hanya mengalami demam biasa. Saya pun pulang dengan dibekali resep obat tetes mata, obat demam, dan antibiotik.
Setelah sehari semalam, obat tersebut tak kunjung meredakan demam atau menghilangkan ruam di kulit. Bintik merah di kulit saya malah semakin meluas, mata saya membengkak, dan suhu tubuh saya mencapai 40°C. Sekali waktu bahkan termometer menunjukkan angka 42°C.
Meredam kekhawatiran, Ibu berkata, “Ini mungkin salah posisi atau mungkin termometernya rusak.” Melihat kondisi anaknya yang semakin payah, Ibu dan Bapak akhirnya membawa saya ke rumah sakit.
Saya masuk IGD di rumah sakit terdekat. Semula dokter menduga bahwa saya terkena tipes, campak, dan DB (Demam Berdarah) berbarengan, walaupun belum sempat dilakukan tes darah atau semacamnya. Saya masuk ruang rawat, diinfus, lalu diberi obat suntik.
Setelah semalam, kondisi saya tidak juga membaik. Saat terbangun di pagi hari, kondisi bercak-bercak di tubuh saya semakin buruk. Bercak tersebut menjadi lepuhan seperti bekas luka bakar, bibir dan mata saya pun bengkak sampai sulit terbuka.
Saya tidak bisa makan dan minum apapun, bahkan seteguk air putih saja tidak bisa masuk karena mulut saya bengkak dan tenggorokan sakit. Saya merasa amat payah dan lemas.
Setelah diobservasi lebih lanjut, dokter merujuk saya untuk ke rumah sakit yang lebih besar, yang memiliki dokter spesialis mata, spesialis penyakit dalam, dan spesialis kulit. Akhirnya jam 9 malam saya mendapat rumah sakit rujukan, Rumah Sakit Ciputra.
Saya langsung masuk UGD, diperiksa, dipasang infus, dipasang kateter untuk makan, dan kateter untuk buang air. Tak berselang lama, malam itu juga saya segera dipindahkan dari UGD ke ruang ICU (intensive care unit). Seketika tubuh saya dipenuhi selang-selang sampai tempelan-tempelan alat perekam denyut jantung.
Di sini lah dokter mandiagnosis bahwa saya mengalami Steven Johnson Syndrome, gangguan serius pada kulit, selaput lendir, mata, dan alat kelamin. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh reaksi terhadap obat-obatan tertentu atau pada kasus yang lebih langka bisa juga disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri.
Saking langkanya, penyakit ini hanya terjadi pada 1 atau 2 orang per satu juta orang setiap tahunnya.
Sindrom ini termasuk dalam kondisi darurat medis yang memerlukan penanganan cepat. Saat itu dokter bilang, jika sedikit saja saya terlambat dirujuk, kondisi saya bisa berakibat sangat fatal.
Proses penyembuhan: kuku copot dan kulit mengelupas
Dua hari di ICU, suhu tubuh saya mulai normal dan badan terasa ringan, tapi saya masih kesulitan membuka mata karena bengkak dan kotoran mata yang membuat lengket. Setiap hari beberapa dokter berbeda bolak-balik mengecek keadaan saya.
Saat itu kondisi mata saya sangat mengkhawatirkan. Mata saya tak bisa terbuka ternyata bukan hanya karena bengkak, tapi juga karena ada luka lepuhan seperti yang ada di sekujur tubuh. Kondisi tersebut membuat mata saya mendapat pengobatan intensif agar bisa segera terbuka.
Setiap 2 jam sekali mata saya ditetesi cairan. Dokter juga menyarankan agar saya berusaha sekuat mungkin agar bisa membuka mata dalam waktu dekat. Sebab, jika dalam beberapa hari saya belum bisa membuka mata maka harus dilakukan operasi pembukaan mata.
Entah di hari ke-3 atau 4, saya akhirnya mulai bisa membuka mata meski belum sempurna dan masih perlu beradaptasi dalam melihat cahaya terang. Tak hanya mampu membuka mata, saya juga mulai bisa menggerakkan mulut saya. Di hari ke-7, saya mulai bisa minum dan konsumsi makanan lembut seperti bubur.
Setelah seminggu dirawat di ruang ICU, di hari ke-8 saya dipindahkan ke ruang perawatan biasa karena kondisi sudah stabil dan sudah bisa makan dari mulut. Saya bersyukur saya bisa melewati kondisi kritis yang tak pernah saya kira sebelumnya.
Dari hari ke hari keadaan saya mulai membaik. Berbagai selang dan alat bantu buang air mulai dilepas. Bercak merah di kulit saya berubah menjadi hitam seperti luka bakar yang mengering. Setelah bisa berjalan, makan, dan buang air dengan normal, akhirnya orang tua saya meminta izin untuk pulang setelah 15 hari dirawat di ICU dan ruang perawatan.
Dokter mengizinkan saya pulang dengan beberapa syarat dan jadwal kontrol ke dokter mata, penyakit dalam, serta dokter kulit. Saya mengiyakan karena saya tak mau kejadian serupa terjadi kembali. Saya tak pernah menyangka saya mengalami penyakit langka seperti Sindrom Steven Johnson.
Selama proses penyembuhan, saya melihat kulit saya mulai mengelupas dan kuku-kuku jari tangan yang terlepas dengan sendiri. Untungnya proses ganti kulit dan tumbuhnya kuku baru berlangsung selama sekitar satu minggu.
Namun efek jangka panjang dari Sindrom Steven Johnson ini membuat mata saya sangat sensitif terhadap cahaya. Sampai saat ini saya harus meneteskan obat tetes mata setiap dua jam sekali. Saya juga selalu memakai kacamata gelap walau berada di dalam ruangan.
Teman-teman yang tidak mengetahui kondisi saya seringkali heran melihat penampilan saya. “Kok pakai sunglass di dalam ruangan?” tanya mereka.
Sejak pandemi COVID-19 merebak dan menyebar luas, saya harus semakin berhati-hati dibanding orang lain karena tidak bisa mengonsumsi obat sembarangan. Selain itu, saya juga belum bisa menerima vaksin COVID-19 karena sampai saat ini belum tahu kandungan obat apa yang memicu saya mengalami Steven Johnson Syndrome.
Saya hanya berharap agar pandemi ini cepat usai.
Anggie Paramitha (26) bercerita untuk Hello Sehat.
[embed-health-tool-bmr]