backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Seperti Apa Kaitan Vaginismus dengan Masalah Psikis?

Ditinjau secara medis oleh dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H. · General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Aprinda Puji · Tanggal diperbarui 06/10/2021

Seperti Apa Kaitan Vaginismus dengan Masalah Psikis?

Hampir semua penyakit bisa memengaruhi kesehatan mental penderitanya, termasuk vaginismus. Isu ini penting untuk dipahami, baik bagi pengidap vaginismus, pasangan, maupun anggota keluarga. Dengan memahami kaitan vaginismus dan masalah psikis, penderita penyakit ini bisa sembuh dan mendapat dukungan yang ia butuhkan dari orang sekitar mereka. Ingin tahu lebih jauh? Mari simak ulasan lengkapnya berikut ini!

Hubungan vaginismus dan masalah psikis

Vaginismus adalah kondisi menegangnya otot-otot di sekitar vagina secara tiba-tiba sehingga menyulitkan wanita untuk melakukan pentrasi seksual atau pemeriksaan organ seksnya. Ketika otot vagina tiba-tiba mengencang, hal ini menimbulkan rasa nyeri luar biasa saat berhubungan intim atau bahkan gagalnya proses penetrasi. Meski vaginismus merupakan penyakit fisik, tapi tidak menutup kemungkinan jika kondisi ini akan berdampak pada kondisi mental pengidapnya.

Berdasarkan pengamatan ahli kesehatan, ada dua hubungan yang terjalin antara vaginismus dengan masalah kesehatan mental seperti di bawah ini.

1. Masalah psikis bisa sebagai faktor pendukung timbulnya vaginismus

Korban perkosaan

Masalah mental mungkin menempati posisi abu-abu pada penyakit vaginismus. Sebab, sebagian orang berpendapat bahwa gangguan psikis dapat menjadi penyebab terhambatnya penetrasi vagina.

Namun literatur medis terkini menyebut bahwa trauma akibat pengalaman kekerasan seksual atau pikiran negatif tentang hubungan intim hanyalah faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya vaginismus, bukan merupakan penyebab utama yang mendasarinya.

Jadi, perlu dipertegas bahwa gangguan psikis bukanlah penyebab dari vaginismus. Hingga kini penyebab dari vaginismus tidak diketahui secara pasti, seperti dikutip dari situs kesehatan yang dikelola Cleveland Clinic.

Gangguan psikis disebut bukan sebagai penyebab, karena tidak semua pasien vaginismus pernah mengalami kekerasan seksual atau memiliki pikiran negatif tentang seks.

Hal tersebut dipaparkan dr. Robbi Asri Wicaksono, SpOG, pada acara Vaginismus Awareness Day yang diselenggarakan oleh Komunitas Pejuang Vaginismus (15/9), “Dari 300 pasien yang saya tangani bersama dr. Elvin, tidak ada satu pun pasien yang sebelumnya mengalami kejadian buruk.”

Menurutnya, vaginismus bukanlah kelainan pikiran, melainkan masalah fisik pada vagina pasien. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan jika masalah psikis memainkan peran dalam meningkatkan risiko dari hambatan penetrasi vagina, seperti yang dilaporkan berbagai jurnal ilmiah.

2. Vaginismus bisa sebabkan masalah psikis pada penderitanya

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa masalah psikis bisa jadi faktor risiko dari vaginismus. Hubungan keduanya tak hanya itu. “Bagi saya dari literatur ilmiah yang saya punya, yang saya jadikan referensi, dan dari pengalaman saya menangani pasien-pasien, ternyata vaginismus bisa menyebabkan masalah psikis,” ucap dr. Robbi.

Dari pendapat dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang bertugas di RSIA Limijati, Bandung ini, Anda bisa melihat adanya benang merah antara vaginismus dengan masalah mental, seperti gangguan kecemasan, depresi, relasi yang buruk, dan masalah keharmonisan dalam membangun rumah tangga.

Hal tersebut bisa terjadi sebab kondisi vaginismus menimbulkan gejala yang mengganggu bagi si pasien. Apalagi ketika penetrasi penis ke vagina gagal terjadi, yang timbul bukan hanya rasa nyeri, tapi juga kekecewaan. Semakin sering kegagalan penetrasi terjadi, tentu rasa kecewa akan semakin membesar, bahkan bisa menghilangkan kepercayaan diri si pasien.

Semua emosi negatif tersebut bisa bermanifestasi menjadi kecemasan dan stres, yang akhirnya meningkatkan berbagai masalah psikis. Hal tersebut kian memburuk ketika pasien harus menghadapi tekanan dari suami yang menginginkan kehidupan seks normal atau harapan keluarga yang menginginkan adanya keturunan.

Hal tersebut menjadi beban berat yang harus dipikul oleh pejuang vaginismus. Dia tidak hanya harus mengobati penyakitnya namun juga menanggung beban mental yang dapat menyebabkan stres bahkan depresi.

Untuk itu perlu adanya dukungan yang kuat dari pasangan, keluarga, atau kerabat terdekat agar pasien bisa lebih fokus dalam menyembuhkan penyakitnya.

Cara mengatasi masalah psikis pada pengidap vaginismus

tes bernstein

Bagi Anda pejuang vaginismus, tidak perlu khawatir dengan mitos soal vaginismus yang beredar. Terutama yang menyebutkan bahwa penyakit vaginismus tidak bisa disembuhkan. Sekarang ini tersedia berbagai pengobatan vaginismus yang mumpuni, salah satunya terapi dilatasi.

“Terapi dilatasi sendiri adalah metode penyembuhan kekakuan otot pada vaginismus dengan bukti ilmiah paling valid dan jumlah pasien paling banyak,” jelas dr. Robbi.

Penting bagi Anda untuk memahami bahwa mengatasi penyakit ini dapat juga mengobati masalah psikis yang dialami pasien. Itulah sebabnya, pengobatan vaginismus kerapkali dikombinasikan dengan terapi psikis, meliputi psikoterapi, konseling dengan psikolog, terapi relaksasi, dan hipnoterapi.

Untuk pengobatan mana yang paling cocok, konsultasikan dengan dokter yang menangani Anda. Perlu diingat bahwa Anda mungkin tidak langsung sembuh dalam sekali pengobatan, sehingga pada beberapa orang pengobatan membutuhkan waktu dan proses bertahap. Anda harus bersabar, percaya diri, dan jangan menyerah.

Begitu juga dengan pasangan yang ingin membantu pasien untuk sembuh dari vaginismus. Serta keluarga, jangan lelah untuk berikan dukungan yang terbaik pada pasien agar ia bisa terbebas dari gangguan disfungsi seksual pada wanita ini.

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.



Ditinjau secara medis oleh

dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Aprinda Puji · Tanggal diperbarui 06/10/2021

ad iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

ad iconIklan
ad iconIklan