Infeksi HIV pada ibu hamil bukanlah persoalan yang dapat diabaikan. Pasalnya, ibu hamil yang positif HIV berpeluang besar menularkan virus ke bayinya.
Lalu, apa yang menjadi penyebab penularan HIV pada bumil? Apa risikonya bagi calon bayi sejak masih di dalam kandungan? Simak pembahasan selengkapnya di bawah ini.
Penyebab HIV pada ibu hamil
HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang menyerang sel T (sel CD4) dalam sistem imun yang bertugas melawan infeksi.
Virus ini menyebar melalui pertukaran cairan tubuh, seperti darah, air mani, cairan praejakulasi, dan cairan vagina yang sangat lumrah terjadi saat hubungan intim.
Menurut laporan Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2024, cakupan tes HIV untuk ibu hamil masih terbilang cukup rendah.
Dari sekitar 4,8 juta ibu hamil pada tahun 2024, hanya ada sekitar 1,6 juta (33%) ibu hamil yang dites HIV, dengan 1.543 di antaranya diketahui positif terinfeksi HIV.
Penularan HIV ini dapat dipengaruhi oleh frekuensi hubungan intim yang rutin dengan suami yang positif HIV, baik yang terdiagnosis dan diketahui maupun tidak.
Penetrasi vagina tanpa pengaman menjadi jalur penularan HIV yang umum di antara pasangan heteroseksual.
Setelah masuk ke dalam tubuh, virus dapat tetap aktif menginfeksi tetapi tidak menunjukkan gejala HIV/AIDS yang berarti setidaknya selama 10–15 tahun.
Selama masa jendela ini, seorang ibu rumah tangga mungkin saja tidak pernah mengetahui bahwa dirinya terjangkit HIV hingga pada akhirnya positif hamil.
Selain dari hubungan intim, seorang perempuan juga bisa terinfeksi HIV dari penggunaan jarum suntik yang tidak steril sebelum kehamilan.
Bahaya infeksi HIV pada ibu hamil dan bayi
Sistem imun yang lemah atau rusak akibat infeksi HIV kronis membuat ibu hamil sangat rentan terhadap infeksi oportunistik, seperti pneumonia, toksoplasmosis, tuberkulosis (TBC), penyakit kelamin, hingga kanker.
Kumpulan penyakit ini menandakan bahwa HIV telah berkembang menjadi AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome.
Pengidap HIV/AIDS umumnya hanya bertahan hidup selama tiga tahun bila tidak melakukan pengobatan sama sekali.
Tanpa penanganan yang tepat, masing-masing infeksi tersebut juga berisiko menyebabkan komplikasi kehamilan. Ambil contohnya pada kasus toksoplasmosis.
Parasit penyebab toksoplasmosis bisa menginfeksi bayi lewat plasenta sehingga menyebabkan keguguran, bayi lahir mati (stillbirth), serta dampak buruk lainnya bagi ibu hamil dan bayi.
Tanpa pengobatan, bumil yang positif HIV juga punya risiko 25–30% untuk menularkan virus HIV ke tubuh janin melalui plasenta selama masa kehamilan.
Penularan HIV dari ibu ke anaknya juga bisa terjadi selama proses persalinan normal, bila bayi terpapar darah, air ketuban, cairan vagina, atau cairan tubuh ibu lainnya.
Tidak hanya itu, penularan HIV dari ibu ke bayi juga bisa berlangsung selama periode menyusui eksklusif karena HIV dapat ditularkan melalui ASI.
HIV dari ibu juga bisa ditularkan ke anaknya melalui makanan yang dikunyahkan terlebih dahulu oleh ibu. Meski demikian, risiko dari jalur penularan ini sangatlah rendah.
Tes HIV pada ibu hamil
Segeralah berkonsultasi dengan dokter bila Anda terkena HIV saat hamil atau sudah mengidap infeksi ini sejak sebelum kehamilan.
Dokter dapat menyarankan Anda untuk menjalani tes HIV secepatnya, bahkan langsung pada jadwal cek kandungan pertama bila memungkinkan.
Tes HIV lanjutan juga dapat direkomendasikan dokter pada trimester ketiga kehamilan dan setelah kelahiran bayi Anda.
Pemeriksaan yang umum dilakukan adalah tes antibodi HIV. Tes ini bertujuan mencari antibodi HIV pada sampel darah ibu hamil.
Status HIV pada bumil baru bisa dipastikan ketika dokter mendapatkan hasil positif dari tes antibodi HIV.
Tes kedua berupa tes konfirmasi HIV dilakukan untuk memastikan bahwa ibu memang terinfeksi HIV. Jika tes kedua juga positif, berarti Anda positif terinfeksi HIV selama kehamilan.
Pemeriksaan HIV pada bumil juga bisa mengetahui keberadaan penyakit menular seksual lain, seperti hepatitis C dan sifilis. Selain itu, pasangan Anda juga harus menjalani tes HIV.
Pengobatan HIV pada ibu hamil
Ibu hamil yang mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV pada awal kehamilan memiliki waktu lebih untuk merencanakan pengobatan demi melindungi kesehatan diri, pasangan, dan bayinya.
Pengobatan HIV dilakukan melalui terapi obat antiretroviral (ART). Kombinasi obat ini bertujuan untuk mengendalikan dan menurunkan jumlah viral load HIV dalam darah ibu hamil.
Seiring waktu, kepatuhan terhadap pengobatan HIV bisa meningkatkan daya tahan tubuh ibu dan mencegah penularan infeksi HIV ke bayi dan pasangannya.
Beberapa obat anti-HIV dilaporkan bisa tersalurkan dari tubuh ibu hamil ke janin lewat plasenta. Obat anti-HIV dalam tubuh bayi dapat melindunginya dari infeksi HIV.
Cara mencegah penularan HIV dari ibu ke anak
Untungnya, ibu hamil dapat menekan risiko penularan ke bayinya dengan menerapkan langkah pencegahan HIV yang tepat.
Melalui pengobatan dan rencana yang tepat, risiko penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dikurangi sebanyak 2% sepanjang masa kehamilan, persalinan, melahirkan, dan menyusui.
Jika hasil tes HIV Anda positif, berikut ini adalah hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko penularan infeksi virus ke bayi Anda.
1. Rutin minum obat
Jika didiagnosis terkena HIV selama kehamilan, Anda direkomendasikan untuk segera memulai perawatan dan terus melanjutkannya setiap hari.
Pengobatan HIV pada ibu hamil harus dilakukan sesegera mungkin setelah positif HIV. Namun, obat antiretroviral (ART) tidak hanya digunakan selama kehamilan.
Untuk mengatasi gejala HIV dan mencegah timbulnya komplikasi HIV, pengobatan HIV pada ibu hamil perlu dijalani seumur hidup.
Setelah kelahirannya, bayi juga akan diberikan obat HIV selama 4–6 minggu untuk mengurangi risiko infeksi HIV yang mungkin masuk ke dalam tubuh selama proses persalinan.
2. Melindungi bayi selama persalinan
Jika Anda sudah rutin minum obat HIV sejak jauh sebelum kehamilan, ada kemungkinan viral load HIV sudah tidak terdeteksi di dalam darah Anda.
Itu artinya, Anda dapat merencanakan persalinan normal melalui vagina karena risiko penularan HIV ke bayi selama persalinan sangatlah kecil.
Namun, bila dokter melihat Anda masih berisiko menularkan virus, Anda akan disarankan untuk melahirkan bayi lewat operasi caesar.
Prosedur ini memiliki risiko penularan HIV ke bayi yang lebih kecil daripada persalinan normal.
3. Melindungi bayi selama menyusui
Air susu ibu (ASI) mengandung HIV. Itu sebabnya, dokter akan menyarankan Anda untuk menyusui bayi dengan susu formula.
Akan tetapi, bila ingin tetap memberikan ASI eksklusif, Anda harus melakukan terapi ART secara rutin setidaknya selama enam bulan.
Jika Anda tidak yakin apakah Anda harus menyusui atau tidak, bicarakan dengan dokter untuk mendapatkan saran lebih lanjut.
Kesimpulan
- HIV pada ibu hamil dapat menular ke bayi selama kehamilan, persalinan, dan menyusui sehingga deteksi dini melalui tes HIV sangatlah penting.
- Pengobatan dengan obat antiretroviral (ART) secara rutin bisa menekan viral load dalam tubuh, mengurangi risiko penularan HIV ke bayi, dan meningkatkan daya tahan tubuh.
- Selain minum obat secara rutin, pertimbangkan metode persalinan yang aman serta pilihlah alternatif menyusui yang aman untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.
[embed-health-tool-ovulation]