Saat ini, sudah banyak orangtua yang sadar akan pentingnya imunisasi pada anak untuk mencegah berbagai penyakit menular. Namun, penting juga untuk mengetahui adanya keadaan yang tidak memperbolehkan anak diimunisasi.
Pasalnya, alih-alih menjadi lebih sehat, imunisasi yang dilakukan pada kondisi tertentu justru bisa membuat anak sakit atau vaksin yang diberikan tidak dapat bekerja secara optimal. Ketahui apa saja keadaan yang tidak memperbolehkan anak diimunisasi di ulasan berikut.
Keadaan yang tidak memperbolehkan anak diimunisasi
Imunisasi adalah langkah penting dalam melindungi anak dari penyakit menular.
Namun, ada beberapa kondisi medis tertentu yang dapat menjadi kontraindikasi atau alasan untuk tidak melakukan imunisasi pada anak.
Meski demikian, bukan berarti anak tidak perlu melakukan imunisasi. Beberapa anak biasanya hanya perlu tunda imunisasi hingga penyakit sembuh atau diizinkan oleh dokter.
Berikut ini kondisi yang menjadi kontraindikasi imunisasi pada anak.
Kondisi | Kontraindikasi |
---|---|
Alergi dosis vaksin sebelumnya | Vaksin yang sama |
Alergi neomisin | Vaksin polio inaktif (IPV), DtaP-IPV-Haemophilus influenzae tipe B, vaksin campak-gondongan-rubella (MMR) dan vaksin cacar air |
Alergi streptomisin | IPV |
Alergi gelatin | Vaksin cacar air dan vaksin MMR |
Alergi ragi roti | Vaksin Hepatitis B |
Alergi telur | Vaksin influenza |
Polyethylene glycol (PEG) | Beberapa vaksin mRNA |
Penurunan sistem imun kongenital (bawaan), seperti defisiensi imun gabungan yang parah | Vaksin MMR, vaksin varicella, vaksin polio oral (OPV) dan vaksin bacille Calmette-Guérin (BCG) |
Penurunan sistem imun yang didapat, seperti HIV | OPV, vaksin BCG dan vaksin cacar air; tindakan pencegahan dengan MMR |
Kondisi imunosupresi, seperti leukemia limfoblastik akut pada kemoterapi | Vaksin MMR, vaksin cacar air, vaksin BCG dan OPV |
Penggunaan steroid sistemik dosis tinggi | Tunda vaksin MMR, vaksin cacar air, vaksin BCG dan OPV |
Agar lebih jelas, simak penjelasan masing-masing keadaan yang biasanya tidak memperbolehkan anak diimunisasi.
1. Reaksi alergi parah
Keadaan yang tidak memperbolehkan anak diimunisasi meliputi riwayat reaksi alergi parah (anaphylaxis) karena risiko reaksi serius terhadap kandungan dalam vaksin.
Anaphylaxis adalah kondisi yang mengancam jiwa, yang ditandai oleh gejala seperti pembengkakan saluran napas, penurunan tekanan darah yang cepat, dan syok.
Kondisi ini bisa dipicu oleh alergi terhadap bahan-bahan, seperti protein telur (digunakan dalam beberapa vaksin), gelatin, ragi roti, neomisin, streptomisin, atau polyethylene glycol (PEG) yang ada dalam beberapa vaksin mRNA.
Vaksin yang mengandung bahan yang diketahui memicu alergi pada anak ini sebaiknya dihindari, dan alternatif vaksin atau pendekatan medis dapat dipertimbangkan dengan konsultasi dokter.
Anak dengan riwayat alergi terhadap bahan tertentu di dalam vaksin mungkin memerlukan pemeriksaan alergi sebelum imunisasi.
Beberapa vaksin juga dapat diberikan di bawah pengawasan medis ketat. Dalam kasus seperti ini, pengawasan ketat selama 30 menit setelah vaksinasi diperlukan untuk memantau dan menangani reaksi bila terjadi.
2. Penurunan sistem imun
Keadaan di mana sistem kekebalan tubuh yang sangat lemah, seperti akibat penurunan imun bawaan (kongenital), HIV, atau transplantasi organ, tidak memperbolehkan anak diimunisasi dengan vaksin hidup yang dilemahkan.
Hal ini juga sebaiknya diwaspadai pada anak yang tidak menderita penurunan imun bawaan (kongenital) dan HIV, tetapi memiliki riwayat penyakti tersebut di dalam keluarga.
Vaksin hidup, seperti vaksin MR (campak-rubella) atau varicella, mengandung virus atau bakteri yang dilemahkan tetapi masih aktif.
Pada anak dengan kekebalan tubuh yang lemah, virus atau bakteri tersebut dapat berkembang biak dan menyebabkan infeksi serius.
Pasalnya, tubuh anak tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melawan patogen, bahkan dalam bentuk yang dilemahkan.
Hal ini berarti vaksin tidak memberikan perlindungan yang diharapkan, sehingga efektivitasnya menurun.
Selain itu, anak yang sedang menjalani terapi imunosupresif, seperti kemoterapi atau dosis tinggi kortikosteroid, juga sebaiknya tidak menerima vaksin hidup sampai terapi dihentikan dan sistem imun pulih.
Sebagai alternatif, melansir dari Food and Drug Administration, anak-anak ini mungkin dianjurkan menerima vaksin yang tidak aktif (inactivated vaccines) atau vaksin berbasis komponen tertentu dari patogen yang lebih aman untuk sistem kekebalan mereka.
Jadwal vaksinasi anak juga dapat disesuaikan dengan tingkat keparahan gangguan sistem imun yang dialami.
3. Penyakit akut
Anak-anak dengan penyakit akut yang sedang berlangsung atau demam pada anak yang berat sebaiknya tunda imunisasi sampai kondisi mereka stabil dan tidak lagi dalam fase akut.
Pasalnya, kondisi tubuh mereka yang sedang berjuang melawan infeksi dapat memengaruhi respons imun terhadap vaksin.
Imunisasi bertujuan untuk merangsang sistem imun secara maksimal. Namun, saat tubuh sedang menghadapi penyakit akut, respons imun terhadap vaksin dapat menurun, sehingga efektivitas vaksin mungkin tidak optimal.
Anak yang sakit akut pun mungkin lebih rentan terhadap efek samping vaksin, seperti demam atau reaksi lokal, yang dapat memperburuk gejala penyakit yang sedang dialami
Dalam beberapa kasus, penyakit akut bahkan bisa menjadi tanda kondisi medis yang lebih serius.
Maka dari itu, menunda vaksinasi memungkinkan tenaga medis untuk fokus pada diagnosis dan pengobatan penyakit tersebut sebelum melanjutkan jadwal imunisasi.
Namun, penting untuk dicatat bahwa penyakit ringan, seperti demam, pilek, atau batuk ringan, biasanya tidak termasuk keadaan yang tidak memperbolehkan anak diimunisasi.
Untuk lebih jelasnya, konsultasikan kepada dokter jika anak sedang mengalami penyakit sedang atau berat guna menentukan waktu terbaik melakukan imunisasi.
4. Gangguan saraf progresif
Gangguan neurologis aktif atau yang belum stabil termasuk keadaan yang tidak memperbolehkan anak diimunisasi sampai gangguan tersebut terkendali.
Hal ini bertujuan untuk mencegah risiko kerusakan lebih lanjut pada sistem saraf.
Gangguan saraf progresif, seperti epilepsi yang tidak terkendali atau ensefalopati progresif, dapat memengaruhi fungsi otak dan dapat diperburuk oleh demam atau reaksi sistem imun yang sering muncul setelah vaksinasi.
Dalam beberapa kasus, vaksin yang mengandung virus hidup dapat memicu reaksi yang lebih kuat atau berisiko pada anak-anak dengan kondisi saraf yang mendasarinya.
Sebagai contoh, vaksinasi DTaP (difteria, tetanus, dan pertusis aseluler) tidak direkomendasikan jika anak memiliki riwayat ensefalopati tanpa penyebab jelas dalam waktu 7 hari setelah dosis vaksin sebelumnya.
Para ahli menyarankan orangtua untuk berdiskusi dengan dokter spesialis anak atau ahli saraf mengenai jenis dan waktu vaksinasi yang sesuai.
Dalam beberapa situasi, vaksinasi dapat ditunda atau disesuaikan untuk memastikan keamanan anak.
5. Reaksi berat terhadap dosis sebelumnya
Efek samping serius setelah vaksinasi sebelumnya juga termasuk keadaan yang tidak memperbolehkan anak diimunisasi.
Dalam beberapa kasus, anak mungkin mengalami kejang demam setelah vaksinasi, terutama dengan vaksin yang dapat menyebabkan demam ringan sebagai efek samping.
Meski biasanya tidak berbahaya, kondisi ini bisa menjadi lebih serius jika disertai ensefalopati.
Maka dari itu, ensefalopati atau ensefalitis setelah vaksin juga perlu diwaspadai. Ini adalah kondisi serius di mana otak mengalami peradangan atau kerusakan.
Ensefalopati progresif setelah vaksinasi sangat jarang tetapi dapat terkait dengan vaksin seperti DTaP pada anak-anak yang sebelumnya sudah memiliki gangguan neurologis tidak stabil atau ensefalopati progresif.
Anak yang mengalami reaksi berat harus diperiksa oleh dokter untuk menentukan kandungan tertentu di dalam vaksin yang menyebabkan reaksi.
Jika diperlukan, vaksinasi dapat dilakukan di bawah pengawasan medis ketat di lingkungan dengan peralatan darurat.
Konsultasikan kepada dokter anak untuk informasi lebih lanjut mengenai jadwal imunisasi anak Anda.
Kesimpulan
[embed-health-tool-vaccination-tool]