Jadi menurut Cooper, banyak tidaknya PR yang dibebankan kepada siswa harusnya diukur dari kapasitas dan kemampuan siswa itu sendiri. Karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa “banyaknya PR yang dibebankan kepada siswa mampu meningkatkan prestasi anak” nyatanya tidak selalu benar.
Cooper juga merekomendasikan agar siswa diberi waktu tidak lebih dari 10 sampai 15 menit per malam untuk mengerjakan PR saat duduk di bangku SD. Namun di setiap tahun, baiknya sang anak secara perlahan mengalami peningkatan waktu pengerjaan PR yang tidak lebih dari 10 sampai 15 menit.
Solusi: mengganti PR dengan hal yang menyenangkan
Beragam perdebatan mengenai PR terhadap prestasi akademik siswa sebenarnya menyiratkan jika ada cara yang lebih baik bagi siswa untuk menghabiskan waktu setelah jam pulang sekolah daripada harus menyelesaikan setumpuk PR.
Jadi, apa yang harus mereka lakukan? Menurut Gerald LeTendre profesor pendidikan dari Universitas Pennsylvania, belajar memainkan alat musik, mengembangkan bakat, aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti klub atau olahraga lebih baik ketimbang mengerjakan setumpuk PR yang sifatnya akademis.
Selain jauh lebih bermanfaat, kegiatan tersebut juga juga memiliki tujuan jangka panjang yang lebih banyak. Pasalnya banyak orang tua yang menginginkan anak-anak mereka menjadi individu yang berpengetahuan luas, kreatif, dan bahagia – bukan hanya anak-anak yang pintar secara akademis semata.
Penghapusan PR untuk siswa di Indonesia
Di Indonesia, penghapusan PR untuk siswa sebenarnya sudah mulai diterapan. Dilansir dari laman Kompas, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi membuat gebrakan baru dengan memberikan aturan melarang guru memberikan PR untuk siswa-siswa sekolah yang tertuang dalam Surat Edaran Bupati Purwakarta No 421.7/2014/Disdikpora. Surat yang ditandatangani pada tanggal 1 September 2016 lalu ini pun disosialisasikan ke pelaksana pendidikan seperti guru dan kepala sekolah di wilayah Purwakarta.
Pak Dedi memberlakukan kebijakan ini lantaran selama ini ia menganggap jika PR yang diberikan kepada siswa lebih banyak berupa materi akademis yang tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah diajarkan di sekolah. Oleh sebab itu, diharapkan natinya tugas PR peserta didik bisa lebih aplikatif dengan cara mengganti PR dalam bentuk kerja kreatif produktif agar merangsang dan menumbuhkan potensi, minat peserta didik, bukan justru menjadikan beban pada siswanya.
Kebijakan yang dibuat Bupati Purwakarta ini pun diapresiasi oleh Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Bahkan Pak Muhadjir memiliki wacana ingin meneruskan langkah tersebut menjadi aturan nasional. Hmmm.. kita lihat saja perkembangan soal kebijakan ini nanti, ya!
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar