backup og meta

Self-Diagnosis, Upaya Mendiagnosis Diri Sendiri yang Berbahaya

Self-Diagnosis, Upaya Mendiagnosis Diri Sendiri yang Berbahaya

Pernahkah Anda merasa tidak enak badan, lalu mencari sendiri penyebab dan obatnya di internet? Hati-hati, hal ini mungkin termasuk ke dalam perilaku self-diagnosis yang bisa membahayakan kesehatan Anda.

Apa itu self-diagnosis?

salah diagnosis

Self-diagnosis adalah upaya mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang didapatkan secara mandiri, misalnya dari internet atau pengalaman sakit teman dan keluarga di masa lalu.

Diagnosis sebenarnya hanya boleh ditetapkan oleh tenaga medis profesional. Pasalnya, proses menuju diagnosis yang tepat sangatlah sulit.

Dokter akan menetapkan diagnosis setelah melakukan pemeriksaan. Diagnosis ditentukan berdasarkan gejala, keluhan, riwayat kesehatan, dan faktor lain yang Anda alami.

Bahkan, dua orang dokter pun dapat memberikan diagnosis berbeda pada pasien yang sama. Ini bisa terjadi saat pasien mencari opini kedua dalam diagnosis kanker, misalnya.

Saat mendiagnosis diri sendiri, Anda menyimpulkan suatu gangguan kesehatan fisik maupun psikologis dengan berbekal informasi yang Anda miliki.

Padahal, tenaga medis profesional saja perlu mengulik seluk-beluk suatu masalah kesehatan sebelum menetapkan diagnosis Anda.

Anda bahkan mungkin perlu menjalani pemeriksaan lanjutan karena dugaan terhadap suatu penyakit tidak bisa disimpulkan begitu saja.

Selain lingkungan sekitar, kemajuan teknologi informasi juga turut andil dalam fenomena self-diagnosis.

Banyaknya sumber informasi kesehatan yang beredar membuat beberapa orang memilih mencari penyebab keluhannya di internet. 

Sayangnya, sumber yang dijadikan rujukan terkadang bukanlah sumber kredibel yang telah diamini oleh dokter dan pakar.

Bahkan, penelitian dari California Health Care Foundation pada 2013 menemukan bahwa di antara orang-orang yang mencari informasi terkait kondisi kesehatan mereka, hanya setengahnya yang benar-benar berkonsultasi dengan dokter.

Anda tetap harus berkonsultasi dengan dokter untuk memastikan kondisi yang Anda alami. Informasi tadi sebaiknya dijadikan bekal untuk pertanyaan kepada dokter saat konsultasi.

Bahaya self-diagnosis

sakit kepala tambah parah

Terdapat beberapa bahaya nyata yang dapat timbul terkait perilaku mendiagnosis diri sendiri alias self-diagnosis. Berikut beberapa di antaranya.

1. Diagnosis yang salah

Beberapa gangguan kesehatan, baik fisik maupun mental, dapat memiliki gejala yang serupa. Salah satu contohnya yaitu batuk.

Batuk dapat menjadi tanda dari beragam masalah kesehatan, mulai dari flu hingga gangguan pernapasan. Bahkan, ada juga yang mengalami batuk akibat asam lambung naik.

Ketika mengira-ngira apa yang terjadi pada diri Anda, bisa jadi perkiraan tersebut meleset dari yang sebenarnya. Akibatnya, Anda tidak mendapatkan pengobatan yang tepat.

2. Masalah yang lebih serius tidak terdeteksi

Gejala psikologis yang Anda alami bisa jadi merupakan dampak dari masalah kesehatan fisik.

Misalnya, apa yang Anda kira sebagai serangan panik mungkin diakibatkan oleh detak jantung tidak beraturan atau masalah pada kelenjar tiroid.

Pada contoh kasus lainnya, tumor otak dapat memengaruhi bagian otak yang mengatur emosi dan kepribadian orang yang mengidapnya.

Orang yang melakukan self-diagnosis mungkin mengira dirinya sedang mengalami gangguan kepribadian, padahal ada tumor berbahaya yang bersarang dalam otaknya.

3. Salah minum obat

obat antidepresan tidak manjur

Jika Anda menetapkan diagnosis yang keliru, kemungkinan pengobatannya juga akan salah.

Risiko terhadap kesehatan pun bertambah besar bila Anda mengonsumsi obat secara asal atau menjalani metode pengobatan yang tidak disarankan secara medis.

Sekalipun ada obat yang tidak berbahaya, minum obat secara keliru tidak akan menyembuhkan keluhan yang Anda alami.

Sebagai gambaran, obat antidepresan tidak akan mampu mengatasi gejala depresi bila penyebab yang mendasarinya berasal dari tumor pada otak.

4. Memicu masalah yang lebih parah

Self-diagnosis terkadang menyebabkan masalah kesehatan yang sebenarnya tidak Anda alami. Sebagai contoh, saat ini Anda mengalami insomnia yang sebenarnya disebabkan konsumsi kafein berlebihan.

Akan tetapi, semua informasi yang Anda terima dari sekitar menyatakan bahwa gangguan tidur ini menandakan gangguan mental, seperti depresi.

Apabila Anda terus-menerus merasa khawatir, Anda malah makin berisiko mengalami depresi yang tadinya tidak terjadi.

Langkah yang bisa diambil setelah self-diagnosis

Jika tidak disikapi dengan bijak, informasi kesehatan yang seharusnya bermanfaat justru dapat menimbulkan kekhawatiran berlebihan.

Apabila Anda masih ragu untuk melakukan konsultasi medis, berikut beberapa cara yang dapat ditempuh setelah Anda melakukan self-diagnosis.

  • Tetap tenang dan perhatikan gejala lain yang Anda alami untuk menegaskan diagnosis.
  • Tanyakan seputar keluhan Anda pada teman sebaya. Bisa jadi mereka merasakannya juga dan ternyata ini bukanlah tanda dari gangguan kesehatan yang serius.
  • Coba gali informasi yang lebih banyak lagi, misalnya dengan membaca jurnal-jurnal kesehatan yang bisa mendukung diagnosis Anda.

Pada dasarnya, perilaku mendiagnosis diri sendiri tidak hanya menimbulkan kekeliruan, tetapi juga berbahaya bagi kesehatan tubuh dan psikologis Anda.

Saat mengalami gejala suatu penyakit, yang perlu Anda lakukan adalah berkonsultasi dengan dokter maupun psikolog atau psikiater untuk mengetahui penyebab pastinya.  

Hindari self-diagnosis dan sampaikan semua kekhawatiran yang Anda rasakan kepada dokter agar mereka dapat menentukan diagnosis dengan tepat.

Kesimpulan

  • Self-diagnosis adalah upaya mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang didapatkan secara mandiri.
  • Perilaku mendiagnosis diri sendiri tentu membahayakan kesehatan fisik maupun kesehatan mental orang yang melakukannya.
  • Hal ini bisa membuat Anda salah mendiagnosis dan melakukan perawatan hingga kondisi berkembang makin parah.
  • Apabila Anda mengalami keluhan tertentu, ada baiknya untuk konsultasi dengan dokter, psikiater, atau psikolog guna mengetahui diagnosis yang tepat.

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.

Pillay, S., & Schrader, J. (2010). The Dangers of Self-Diagnosis. Psychology Today. Retrieved January 10, 2023, from https://www.psychologytoday.com/us/blog/debunking-myths-the-mind/201005/the-dangers-self-diagnosis

Lesser, B., Koehler, N., & Dietrich, R. (2023). The Issues and Risks of Self-Diagnosis. Dual Diagnosis. Retrieved January 10, 2023, from https://dualdiagnosis.org/dual-diagnosis-treatment/dangers-self-diagnosis/

Hayden, E. (2017). Are You Really Dying? Discovering the Dangers of Self-Diagnosis. Rasmussen University. Retrieved January 10, 2023, from https://www.rasmussen.edu/degrees/nursing/blog/dangers-of-self-diagnosis/

Pew Survey of Americans’ Online Health Habits. (2013). California Health Care Foundation. Retrieved January 10, 2023, from https://www.chcf.org/publication/pew-survey-of-americans-online-health-habits/

The Diagnosis Difference. (2013). Pew Research Center Science & Society. Retrieved January 10, 2023, from https://www.pewresearch.org/science/2013/11/26/the-diagnosis-difference/

Versi Terbaru

02/02/2023

Ditulis oleh Satria Aji Purwoko

Ditinjau secara medis oleh dr. Nurul Fajriah Afiatunnisa

Diperbarui oleh: Angelin Putri Syah


Artikel Terkait

Perilaku Menyimpang, dari Isu Sosial hingga Kesehatan Mental

Terapi Perilaku Kognitif


Ditinjau secara medis oleh

dr. Nurul Fajriah Afiatunnisa

General Practitioner · Universitas La Tansa Mashiro


Ditulis oleh Satria Aji Purwoko · Tanggal diperbarui 02/02/2023

ad iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

ad iconIklan
ad iconIklan