backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Perjalanan Pengidap Skizofrenia Hadapi Bullying

Ditinjau secara medis oleh dr. Nurul Fajriah Afiatunnisa · General Practitioner · Universitas La Tansa Mashiro


Ditulis oleh Ilham Fariq Maulana · Tanggal diperbarui 30/03/2022

    Perjalanan Pengidap Skizofrenia Hadapi Bullying

    Pengalaman bullying dan skizofrenia membuat saya cukup kesulitan menjalani hidup secara normal. Namun, di usia ke 29 ini saya telah membuktikan bahwa pengidap skizofrenia juga bisa hidup normal. Inilah pengalaman saya sebagai penyintas dan kini dipercaya sebagai Ketua RT di lingkungan sekitar.

    Awalnya gangguan kecemasan, lalu menjadi skizofrenia

    pengalaman komunitas skizofrenia

    Perkenalkan nama saya Arisyi Zulqisthi, tahun ini saya berusia 29 tahun. Pada 2019 saya didiagnosis mengidap gangguan kecemasan dengan tipe Gangguan Anxietas Fobik (F40). Tapi di tahun berikutnya gangguan kecemasan ini kemudian meningkat menjadi skizofrenia (F20) di tahun 2020.

    Saya mulai merasa ada masalah pada diri saya sejak 2012, ketika saya bekerja di sebuah restoran. Saat itu saya sering sekali merasa cemas memikirkan apakah selang gas sudah dicabut atau apakah listrik sudah dimatikan.

    Pikiran itu membuat saya waswas tiap kali pulang kerja, hingga saya berulang kali memeriksa dan memastikan ulang kondisi restoran. Rasa cemas akan terjadi kebakaran di restoran terus hinggap di pikiran saya.

    Hingga akhirnya kecemasan ini membuat saya tidak bisa tidur dan harus datang pagi-pagi untuk memastikan semua baik-baik saja. Padahal tidak ada masalah apapun, semua hanya ada di pikiran saya saja. 

    Kondisi ini terus saya alami. Kecemasan saya bertambah, bukan hanya memikirkan restoran tapi juga rumah.

    Saat itu rumah saya tengah direnovasi. Di kepala saya timbul pikiran bahwa rumah saya akan roboh. Apalagi jika hujan turun, saya merasa sangat ketakutan dan berpikir bahwa fondasi rumah tidak kuat lalu rumah ini akan hancur.

    Semua pikiran itu terus menghantui saya dan membuat saya tidak bisa tidur sama sekali. Setelah bertahun-tahun mengalami kondisi itu, saya berinisiatif untuk bertemu dengan psikiater

    Psikiater yang memeriksa saya waktu itu tak langsung memberitahu penyakit apa yang tengah saya hadapi. Akhirnya saya mencari-cari informasi sendiri melalui internet berdasarkan dari hasil diagnosis yang saya dapatkan, apa itu F40. 

    Saya juga membaca-baca artikel seputar kesehatan mental. Di luar hasil pemeriksaan, saya kemudian melakukan self diagnosis dan merasa sebenarnya saya mengidap skizofrenia. Tapi saya mencoba untuk tidak terlalu mengambil pusing dan berusaha memperbaiki sendiri kondisi tersebut. 

    Gejala skizofrenia yang saya alami

    halusinasi adalah

    Saya kembali memeriksakan diri, sampai akhirnya benar dinyatakan bahwa saya mengidap skizofrenia oleh psikiater. Saat itu saya sudah lebih sering mengalami gejala skizofrenia seperti halusinasi visual dan halusinasi pendengaran.

    Saya kerap merasa melihat bayangan hitam. Kemudian saya juga merasa mendengar seperti ada suara seorang kakek-kakek yang berbisik ke telinga tepat ketika saya mau terlelap. “Hayo loh, hayo loh,” ucap suara itu membuat saya ketakutan dan kembali terjaga semalaman. 

    Masa-masa itu menjadi momen terberat saya ketika mengidap skizofrenia. Tak hanya sulit tidur akibat suara yang ada di pikiran, saya juga sering sekali merasa terus diawasi.

    Pikiran saya seolah terus mengatakan bahwa saya diawasi, semua gerak-gerik saya dipantau. Seakan-akan ada CCTV yang terus mengikuti apapun yang saya lakukan. Padahal tidak ada apapun atau siapapun yang mengawasi.

    Kecemasan dan pikiran-pikiran buruk yang seperti menguasai diri saya ini membuat saya berulang kali memeriksa apakah pintu sudah terkunci, apakah selang gas sudah saya lepas, apakah listrik sudah saya matikan. Selain itu saya juga jadi lebih gampang mencurigai orang lain atau paranoid.

    Ketika berbicara dengan orang lain, di pikiran saya timbul kecurigaan bahwa segala omongan dan perkataan saya tengah direkam atau bahwa lawan bicara saya mengajak berkelahi. Namun, ternyata hal tersebut hanya timbul dalam pikiran saya saja, bukan realita sebenarnya. 

    Suatu ketika, pernah seorang pengendara motor melintas ketika saya tengah merokok. Lantas ia mengucek matanya, hal ini kemudian membuat saya khawatir apakah bara rokok saya terkena matanya. 

    Padahal bisa jadi memang pengendara tersebut matanya tengah gatal, bukan karena terkena bara rokok saya. Kondisi ini membuat saya mengingat pesan dokter untuk mengobservasi terlebih dulu sebelum mengambil kesimpulan dan bertindak gegabah.

    Kisah pengalaman bullying dan skizofrenia

    bullying kisah skizofrenia

    Penyebab dan pemicu kondisi skizofrenia sulit diketahui dengan pasti. Tapi saya menyadari bahwa sejak kecil sebenarnya saya kerap mengalami halusinasi. 

    Misalnya, saya pernah melihat Ibu tengah duduk, tiba-tiba di mata saya ia berubah menjadi sosok pocong. Kejadian-kejadian ini membuat saya ketakutan, saking takutnya saya sampai tidak bisa tidur.

    Selain itu, di masa kecil saya pernah mengalami trauma akibat menjadi korban bullying. Saya selalu diejek dan dirundung oleh teman-teman sekolah saya. Kondisi tersebut menjadi salah satu pengalaman paling traumatis yang pernah saya alami.

    Emosi yang terpendam dan rasa takut terus-menerus sejak kecil ini barangkali menjadi faktor yang memengaruhi kondisi mental saat beranjak dewasa. Emosi saya jadi tidak mudah dikontrol, kecemasan terus menghantui, dan ketakutan hingga sulit tidur.

    Berbagai pengalaman tersebut sempat membuat saya ingin bunuh diri, mengakhiri hidup karena merasa hidup tidak berarti. Namun, kini saya perlahan bisa berdamai dengan diri sendiri, menyadari nilai penting diri sendiri. 

    Saya juga kini mulai sering berinteraksi dengan orang lain agar tidak sering menyendiri, karena ini  berpotensi menimbulkan halusinasi. Saya juga mencoba melakukan kegiatan yang mampu meningkatkan mood

    Menjalani pengobatan skizofrenia demi hidup normal

    Setelah didiagnosis mengidap skizofrenia, saya rutin minum obat yang diberikan dokter. Kini dosis obat yang saya konsumsi adalah dosis ringan untuk perawatan.

    Selain itu, minimal sebulan sekali saya bertemu dengan psikiater untuk berkonsultasi dan menerima resep obat yang baru.

    Kemudian saya bergabung dengan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) setelah bertemu dengan psikiater pada tahun 2019. Kebetulan juga karena lokasi komunitas berada sangat dekat dari rumah. 

    Di sini saya dapat menemukan teman-teman yang bisa saling memahami dan mendukung kondisi masing-masing. Berbagi dan menambah pengetahuan, baik melalui webinar dan pelatihan. 

    Saya bersyukur bisa berbagi pengalaman bullying dan skizofrenia ini. Pasalnya, saya memahami bahwa masih banyak masyarakat yang memberikan stigma buruk bagi pengidap skizofrenia. 

    Saya berharap agar makin banyak orang yang memahami permasalahan penyakit mental dan membantu untuk memberikan pengobatan dengan segera. 

    Bagi teman-teman pengidap skizofrenia, rutinlah minum obat yang diberikan dan konsultasi dengan dokter. Saat ini biaya pengobatan skizofrenia sudah ditanggung  sepenuhnya oleh BPJS Kesehatan, jadi teman-teman tidak perlu terlalu khawatir masalah biaya. Yakinlah, kita juga bisa hidup dengan normal. 

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Nurul Fajriah Afiatunnisa

    General Practitioner · Universitas La Tansa Mashiro


    Ditulis oleh Ilham Fariq Maulana · Tanggal diperbarui 30/03/2022

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan