Ketika masih kecil, Anda mungkin pernah berpura-pura sakit agar tidak perlu pergi sekolah. Beberapa orang bahkan masih juga melakukannya ketika sudah dewasa. Namun, jika Anda terlalu sering berpura-pura sakit dengan tujuan mendapatkan perhatian, ini bisa menandakan sindrom Munchausen.
Apa itu sindrom Munchausen?
Munchausen syndrome atau sindrom Munchausen adalah gangguan mental yang membuat seseorang berpura-pura sakit, melebih-lebihkan penyakitnya, atau sengaja membuat dirinya sakit.
Gangguan mental ini dikenal juga sebagai sindrom pura-pura sakit atau factitious disorder. Mereka yang mengalaminya akan berusaha menunjukkan gejala penyakit tertentu, baik secara fisik maupun mental.
Mereka bahkan tidak akan ragu untuk pergi ke rumah sakit atau menjalani berbagai tes untuk meyakinkan orang lain bahwa mereka sedang sakit.
Dalam kondisi yang lebih parah, pengidap sindrom Munchausen mungkin juga melukai diri sendiri supaya mereka sakit atau demi menunjukkan gejalanya.
Tujuan utama mereka adalah untuk mendapatkan perhatian, rasa iba, dan perlakuan baik dari orang-orang di sekitarnya, bukan untuk mendapatkan keuntungan secara finansial.
Berbeda dengan pengidap hipokondria yang tidak menyadari bahwa gejala penyakitnya itu fiktif, seseorang dengan factitious disorder sebenarnya sadar sepenuhnya bahwa mereka tidak mengidap penyakit apa pun.
Tanda dan gejala sindrom Munchausen
Seseorang dengan sindrom pura-pura sakit akan secara sengaja menimbulkan atau membesar-besarkan gejala penyakitnya. Tidak sedikit juga dari mereka yang terlihat meyakinkan.
Maka, tidak heran jika beberapa orang tua mungkin sedikit kesulitan untuk mengetahui apakah anak-anak mereka benar-benar sakit atau hanya berpura-pura.
Oleh karena itu, cobalah untuk memperhatikan gejala lainnya seperti yang disebutkan dalam laman Cleveland Clinic berikut.
- Menyampaikan gejala penyakit yang tidak konsisten.
- Menjelaskan adanya gejala baru setelah hasil tes negatif.
- Merasakan gejala penyakit yang tidak berkaitan satu sama lain.
- Meminta rujukan untuk penanganan medis lebih lanjut meskipun sebenarnya tidak disarankan.
- Memiliki banyak bekas luka operasi.
- Enggan membawa keluarga atau teman saat melakukan pemeriksaan.
- Memiliki pengetahuan yang sangat luas akan berbagai jenis penyakit.
- Sering periksa ke dokter atau rumah sakit yang berbeda-beda.
- Memiliki riwayat tes kesehatan, prosedur medis, hingga tindakan operasi yang tidak saling berhubungan.
- Menolak ketika diajak ke konselor, psikolog, terapis, atau psikiater.
- Memiliki kebiasaan berbohong atau mengarang cerita.
- Memiliki masalah dengan identitas atau kepercayaan diri.
- Mengalami kekambuhan suatu penyakit tanpa penyebab yang jelas.
Untuk meyakinkan orang lain tentang penyakitnya, beberapa orang dengan sindrom ini bahkan bisa minum obat di depan orang-orang sekitarnya tetapi ternyata menyimpannya di pipi.
Mereka mungkin juga melukai dirinya sebelum berobat supaya didiagnosis dengan suatu penyakit dan berhasil mendapatkan perhatian orang-orang sekitar.
Penyebab Munchausen syndrome
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti mengenai penyebab sindrom Munchausen. Namun, beberapa faktor berikut bisa meningkatkan risikonya.
- Trauma masa kecil yang membuat seseorang kurang perhatian dan berusaha mendapatkannya dengan pura-pura sakit.
- Penyakit kronis pada masa kanak-kanak yang membuat seseorang terbiasa menerima banyak perhatian saat kecil. Jadi meskipun sudah sembuh, mereka tetap menginginkannya.
- Gangguan kepribadian antisosial, ditandai dengan kecenderungan seseorang untuk berbohong dan bertindak impulsif tanpa memperhatikan keselamatan diri sendiri dan orang lain.
- Gangguan kepribadian ambang yang membuat seseorang tidak bisa mengontrol perasaannya sendiri. Sering kali disertai perilaku impulsif yang membahayakan diri sendiri.
- Gangguan kepribadian narsistik yang membuat seseorang menganggap dirinya istimewa dan khawatir jika ada yang menganggapnya tidak berharga.
Tahukah Anda?
Seseorang yang memiliki keinginan besar untuk bekerja di bidang kesehatan dan tidak berhasil mewujudkannya juga berisiko lebih besar mengidap Munchausen syndrome.
Komplikasi sindrom pura-pura sakit
Seseorang dengan factitious disorder bisa melakukan apa pun demi terlihat sakit dan mendapat perhatian.
Jika dibiarkan, kondisi tersebut bisa benar-benar membahayakan kesehatan karena menimbulkan komplikasi seperti berikut.
- Kecanduan alkohol atau obat-obatan.
- Cedera atau kematian karena kondisi medis yang dibuat-buat.
- Masalah pada kesehatan karena pengobatan, operasi, atau prosedur medis lain yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
- Kehilangan organ atau bagian tubuh lain karena operasi yang tidak dibutuhkan.
- Gangguan pada kehidupan sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan pekerjaan dan hubungan sosial.
- Melakukan kekerasan.
Mengingat risiko komplikasi yang ada, maka penting untuk mengenali seseorang dengan gangguan ini sehingga Anda bisa membantu memberikan pertolongan.
Diagnosis Munchausen syndrome
Mendiagnosis factitious disorder bisa terbilang cukup sulit. Pasalnya, pasien tidak akan jujur dengan kondisi kesehatannya.
Oleh karena itu, dokter perlu menyingkirkan diagnosis penyakit fisik atau mental sebelum memutuskan kondisi ini.
Jika mendapati gejala fisik yang disampaikan ternyata palsu atau dibuat-buat, dokter akan merujuk pasien ke dokter spesialis jiwa.
Dengan begitu, pasien akan didiagnosis dengan mengacu pada DSM-5 (diagnostic and statistical manual of mental disorders).
Seorang psikiater juga akan berusaha menyingkirkan diagnosis gangguan mental lainnya sebelum memutuskan bahwa pasiennya mengidap Munchausen syndrome.
Pengobatan sindrom pura-pura sakit
Supaya pengobatan berhasil, pasien harus terlebih dahulu sadar bahwa apa yang selama ini dilakukannya keliru.
Ia juga perlu memahami bahwa dirinya memerlukan pengobatan untuk kesehatan mental, bukan pengobatan yang selama ini didapatkannya dari keluhan yang dibuat-buat.
Oleh karena itu, penting untuk membawa pasien ke psikolog atau psikiater. Tenaga profesional akan melakukan pendekatan terlebih dahulu dan menyadarkan pasien akan pentingnya pengobatan.
Teknik psikoterapi seperti cognitive-behavioral therapy (CBT) merupakan salah satu bentuk terapi yang banyak diberikan pada pasien gangguan mental ini.
Terapi keluarga mungkin juga dibutuhkan supaya perilaku pasien tidak dibenarkan oleh orang-orang di sekitarnya.
Dokter mungkin juga meresepkan obat antidepresan atau gangguan kecemasan jika pasien menunjukkan gejala penyakit kejiwaan lainnya.