backup og meta
Kategori
Tanya Dokter
Simpan
Cek Kondisi
Konten

Ingin Punya Satu Anak Saja? Ini yang Perlu Diperhatikan

Ditinjau secara medis oleh dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H. · General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Satria Aji Purwoko · Tanggal diperbarui 10/07/2023

Ingin Punya Satu Anak Saja? Ini yang Perlu Diperhatikan

Banyak keluarga saat ini memilih untuk hanya punya satu anak karena berbagai alasan. Namun, sayangnya, tak sedikit kalangan mencibir keputusan ini karena membuat si kecil yang tidak memiliki saudara kandung merasa kesepian.

Lantas, apakah hal tersebut benar adanya?

Salahkah bila hanya memiliki satu anak saja?

anak tunggal

“Kapan mau nambah anak lagi?” atau “Masa’ si kakak nggak mau punya adik?”. Pertanyaan itu sering terlontar dan tanpa disadari bisa mengganggu kesehatan mental orangtua.

Secara umum, keinginan untuk punya lebih sedikit anak atau anak tunggal saja kian meningkat. Hal ini tergambar dalam sebuah studi dalam Jurnal Kependudukan Indonesia (2019).

Dalam studi tersebut, dijelaskan bahwa memiliki keturunan yang banyak artinya Anda membutuhkan lebih banyak biaya untuk pemenuhan sandang, pangan, kesehatan, pendidikan, dan hiburan keluarga.

Pada masa sekarang pun, banyak keluarga memandang nilai keturunan yang dimilikinya lebih kepada kualitas, bukan sekadar jumlahnya saja.

Seorang psikolog sosial asal Amerika Serikat, Susan Newman, Ph.D., juga menyebutkan sejumlah alasan orangtua lebih memilih punya putra/putri tunggal, seperti dikutip dari situs Psychology Today.

Berbagai alasan tersebut di antaranya keuangan, ketidaksuburan, usia menikah yang lebih tua, masalah medis, dan keinginan sederhana untuk memiliki satu anak saja.

Lalu, salahkah diri Anda bila hanya ingin punya satu anak? Tentu tidak ada jawaban yang benar atau salah karena hal ini merupakan keputusan pribadi setiap keluarga. 

Beberapa keluarga mungkin memilih untuk memiliki anak tunggal karena alasan-alasan tertentu, sedangkan yang lain mungkin memilih untuk punya lebih banyak anak

Penting untuk diingat bahwa setiap keluarga itu unik. Hal-hal yang dapat dijalani dan berhasil pada satu keluarga mungkin tidak berlaku untuk yang lainnya.

Only-child syndrome, apakah masih perlu diwaspadai?

Only-child syndrome adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan karakteristik negatif yang dikaitkan dengan anak tunggal.

Gagasan mengenai sindrom ini mungkin berasal dari karya sejumlah psikolog pada tahun 1800-an, termasuk E. W. Bohannon dari Clark University, Amerika Serikat.

Pada kuesioner yang dibuat olehnya, mayoritas responden memberikan kesan negatif pada individu yang hidup tanpa saudara kandung.

Dijelaskan bahwa individu tanpa saudara kandung cenderung memiliki sifat negatif, di antaranya:

  • egois, 
  • bossy (senang menyuruh)
  • manja
  • tidak mampu menyesuaikan diri, 
  • kurang terampil bersosialisasi, dan 
  • merasa kesepian.

Pandangan negatif terhadap putra/putri tunggal juga disampaikan oleh G. Stanley Hall, psikolog dan presiden pertama American Psychological Association.

Dia menuliskan bahwa menjadi anak tunggal adalah “penyakit psikologis”. Hal ini muncul akibat kesan anak tunggal yang suka cari perhatian dan selalu memperoleh apa yang ia inginkan.

Meski begitu, tidak ada studi terbaru yang menunjukkan adanya suatu hal yang menyebabkan anak tunggal memiliki karakteristik negatif tersebut.

Stereotipe negatif yang timbul akibat only-child syndrome ini pun sudah banyak ditentang oleh tokoh psikologi modern karena tidak akurat.

Tips membesarkan anak tunggal dalam keluarga

cara mengasah otak anak agar cerdas

Ada beberapa kekhawatiran yang mungkin timbul saat Anda dan pasangan memutuskan punya satu anak saja. Namun di balik itu, ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh.

Sebuah studi dalam Frontiers in Psychology (2021) menemukan anak tunggal punya hubungan lebih dekat dengan ibu dan ayah mereka daripada anak-anak yang bersaudara banyak.

Dengan pola asuh yang tepat, anak-anak yang hidup tanpa saudara kandung bisa tidak manja atau merasa lebih kesepian dibandingkan dengan anak-anak lainnya.

Berikut beberapa tips yang bisa Anda lakukan.

1. Ajak teman-temannya bermain di rumah

Jadikan rumah sebagai pusat bermain putra/putri Anda. Ajaklah temannya, baik dalam ruang lingkup tetangga atau sekolah, untuk mampir dan bermain di rumah Anda.

Selain itu, Anda juga bisa mengikutsertakan mereka dalam kegiatan di luar rumah, misalnya les musik atau klub sepak bola agar dia tidak pernah merasa kekurangan teman.

2. Biarkan anak bermain sendiri

Saat orangtua hanya punya satu putra atau putri, mereka cenderung memberikan perhatian berlebihan. Sesekali, tidak ada salahnya untuk memberikan si kecil waktu sendirian di rumah.

Tanpa masukan terus-menerus dari orangtuanya, hal ini akan mendorong kemandirian dan kemampuan anak tunggal untuk bisa menghibur dirinya sendiri.

3. Jangan menaruh harap berlebihan

Meski Anda mengikutsertakan anak ke dalam kegiatan yang dapat melatih minat dan bakatnya, jangan pernah memaksakan kehendak pada anak secara berlebihan.

Hal tersebut mungkin malah menjadi beban berat yang harus ia tanggung. Sebaiknya, biarkan ia mengejar mimpinya dan Anda cukup memfasilitasinya dengan baik.

4. Selalu libatkan si buah hati dalam percakapan

Orangtua sebaiknya selalu melibatkan putra atau putrinya dalam percakapan. Komunikasi yang baik bisa membantu orangtua mengetahui apa yang mereka suka dan tidak suka lakukan.

Jangan perlakukan mereka layaknya bocah kecil. Lakukan percakapan layaknya orang dewasa untuk membantu mereka memperkaya kosa kata dan pengetahuannya. 

Kesimpulan

  • Keinginan untuk punya satu anak saja bisa disebabkan beberapa alasan, seperti kondisi keuangan, usia orangtua yang sudah lebih tua, ketidaksuburan, hingga masalah medis.
  • Anak yang hidup tanpa saudara kandung tidak selalu mengalami only-child syndrome, asalkan mendapatkan pola asuh yang baik dan benar.
  • Selalu melibatkan buah hati dalam percakapan dan aktif mengajak temannya untuk bermain bersama merupakan beberapa hal yang bisa Anda lakukan.

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

Ditinjau secara medis oleh

dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Satria Aji Purwoko · Tanggal diperbarui 10/07/2023

advertisement iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

advertisement iconIklan
advertisement iconIklan