backup og meta
Kategori
Cek Kondisi

2

Tanya Dokter
Simpan

Premium

Berayun dari Dukun ke Dokter

Ditinjau secara medis oleh dr. Damar Upahita · General Practitioner · None


Ditulis oleh Reikha Pratiwi · Tanggal diperbarui 03/04/2023

    Berayun dari Dukun ke Dokter

    Hari ketiga lebaran di tahun 2013 menjadi momen yang tak terlupakan. Di hari itu kami menyadari ada yang salah dengan mata anak kami, Raka, yang baru berusia 10 bulan. Matanya tampak juling dengan warna bola mata kuning seperti mata kucing. Raka didiagnosis menderita kanker mata. Ini menjadi pengalaman kanker pertama di keluarga kami.

    Menuju ke akhir artikel

    Artikel ini hanya tersedia untuk member Hello Sehat. Silakan masuk atau daftar untuk melanjutkan baca.

    Tak ingin anak kami kehilangan matanya, kami mencoba pengobatan kanker alternatif terlebih dulu, berdasarkan saran dari salah satu anggota keluarga, bukan dari pengalaman atau apa yang saya percayai sendiri.

    Saya tak menyangka, Ibu Dukun akan mencolok mata anak saya. 

    Kepercayaan pada pengobatan tradisional

    Wellcome Global Monitor 2020 menemukan bahwa tingkat kepercayaan orang-orang di Indonesia terhadap ilmuwan dan sains cenderung sama dengan keyakinan pada pengobatan tradisional.

    Mencoba pengobatan alternatif demi mata anakku 

    Hari itu menjadi salah satu momen yang paling menegangkan untuk kami karena merupakan pengalaman kanker pertama dalam riwayat keluarga kami.

    Setelah mengetahui kondisi yang dialami Raka, dokter berkata bahwa anak kami kemungkinan akan kehilangan bola matanya. Kami tak rela, sungguh tak rela. 

    Berharap ada cara lain di luar apa yang direkomendasikan dokter, kami memilih pulang berniat berdiskusi dengan keluarga terlebih dulu. “Bawa aja ke pengobatan alternatif di daerah Sumedang,” ucap kakak saya malam itu.

    Katanya, pengobatan alternatif itu ampuh dan terkenal. Banyak pasien datang ke sana untuk meminta disembuhkan dari berbagai penyakit. 

    Tanpa pikir panjang, besoknya saya dan istri membawa Raka ke sana dengan menyewa mobil dari tetangga.

    Namun, hari itu ternyata praktik pengobatan alternatif masih tutup dan baru dibuka keesokan harinya. Kami terpaksa menginap semalam agar Raka bisa segera menjalani pengobatan di hari Minggu besok. 

    Pagi berikutnya, kami kembali ke rumah tempat praktik pengobatan alternatif tersebut. Sudah banyak pasien berusia tua datang meminta kesembuhan kepada Ibu Dukun (sebutan sementara untuk Ibu tua yang melakukan pengobatan alternatif) di sana. Hanya Raka satu-satunya pasien muda di sana. 

    Tiba giliran masuk kamar praktik, saya merasa dagdigdug. Saya masuk menggendong Raka, sedangkan istri saya menunggu di luar karena ia merasa tak sanggup dan terlalu takut untuk masuk. 

    Sembari memangku Raka, saya melihat pasien lain yang saat itu sedang “diobati”. 

    Di ruangan yang cukup kecil itu terdapat dua kasur di masing-masing sisinya. Di salah satu kasur, seorang ibu sedang menjalani “pembedahan”.

    Bagian samping tubuhnya dari bawah ketiak hingga sekitar tulang rusuk disayat tipis. Katanya, itu untuk mengatasi penyakit ginjal yang dia alami. 

    Saya tak tega menyaksikannya. Dia berteriak kesakitan karena menjalani pembedahan tanpa anestesi. Saya merasa takut, apa yang akan dilakukan kepada anak saya? 

    Pengobatan ibu tersebut hanya dilakukan selama 5 menit. Setelah darah keluar, ia langsung diperban.

    Tiba giliran Raka, si Ibu Dukun menutup mata anak saya dengan kain. Saya hanya memegangi Raka saja saat itu, tetapi tidak berani melihat dengan jelas apa yang Ibu Dukun itu lakukan. 

    Ibu Dukun itu terlihat seperti mencolok langsung mata kiri Raka yang didiagnosis terkena kanker. Raka menjerit dan menangis saat itu juga.

    Ia kemudian menunjukkan sesuatu seperti gumpalan daging atau gajih kecil berwarna keputihan. 

    Gumpalan tersebut kemudian dipindahkan menggunakan pinset dan diletakkan di wadah kecil yang telah disiapkan.  

    “Ini, Pak, yang bikin anak Bapak kanker,” ucap Ibu Dukun yang dipercaya sebagai ahli pengobatan alternatif tersebut.

    Saya hanya boleh memperhatikan gumpalan tersebut dan dilarang menyentuhnya. Sementara itu, Raka masih terus menangis kesakitan dan tidak bisa diam. 

    Mata Raka kemudian ditutup menggunakan perban dari kain kassa. Proses itu hanya berlangsung kurang lebih 10 menit.

    Selama itu pula Raka menangis. Saya tak tega, tapi mencoba tenang dan berharap kanker mata Raka benar-benar sembuh. 

    Perban mata Raka tidak boleh dibuka selama seminggu. Setelah itu, Raka harus menjalani kontrol kembali untuk memastikan. 

    Keluar dari ruangan itu, saya merasa benar-benar lemas. Kami baru bisa pulang pada Senin, keesokan harinya. Itu menjadi pengalaman pengobatan kanker kami sekeluarga.  

    Setelah pengobatan alternatif kanker, ternyata… 

    pengalaman kanker
    Sumber: Dokumentasi Hello Sehat

    Selama di rumah, saya dan istri berusaha sangat berhati-hati agar penutup mata Raka tidak copot dengan sendirinya. Saya takut jika tiba-tiba penutup mata tersebut tidak sengaja tercopot. 

    Setelah satu minggu berlalu, saya dan keluarga akhirnya kembali lagi ke Sumedang untuk melakukan kontrol. Menurut Ibu Dukun, Raka dinyatakan sembuh dari kanker mata tanpa harus kehilangan bola mata. 

    Saya dan istri harusnya bisa merasa senang dan lega setelah mengetahui hasil dari pengobatan alternatif yang sudah Raka jalani. 

    Namun, setelah 2—3 hari kembali ke rumah, kami menyadari bahwa masih ada gejala yang sama di mata kiri Raka. Matanya masih terlihat seperti pakai softlens

    Tidak tunggu lama, saya kembali membawa Raka ke RS Hermina untuk melakukan pemeriksaan mata.

    Hasilnya, kanker di mata Raka masih ada. Saya lemas mendengarnya. Pengalaman kami melawan kanker ini ternyata belum usai. 

    Kembali menjalani pengobatan medis

    Sebelum dibawa ke pengobatan alternatif, Raka memang diperiksa terlebih dulu di RS Hermina. Saat itu ia diperiksa oleh dr. Darwin Gozali, Sp.M. 

    Di hari itu kami tahu bahwa Raka menderita retinoblastoma. Istri saya langsung menangis. Kami tak terima, kami tak mengerti mengapa anak kami bisa mengalami hal tersebut. Tak pernah ada riwayat kanker mata di keluarga saya maupun istri. 

    Saya juga bertanya kepada dr. Maisy Jayasaputra, Sp.Rad, dokter radiologi di RS Hermina, tentang kemungkinan kanker ini bersifat keturunan atau diwariskan. 

    Dr. Maisy menerangkan bahwa kanker pada anak ini memang dapat disebabkan oleh faktor keturunan, tetapi bisa juga tidak.

    fakta retinoblastoma

    Kanker mata bisa terjadi secara random dengan sendirinya pada 1 dari 15.000 anak yang lahir tiap tahunnya. Jadi, tidak harus ada faktor keturunan. 

    Ternyata, keluarga kami harus menjadi salah satu yang mendapat pengalaman kanker pertama dari kejadian kanker mata random ini.

    Setelah menduga kondisi mata Raka, dr. Darwin menyarankan untuk segera merujuk Raka ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) guna memastikan kondisi Raka. 

    Tanpa pikir panjang lagi, saya dan istri langsung menuju RSCM setelah mendapat surat rujukan. Kami masih sulit percaya dan belum bisa sepenuhnya menerima dugaan tersebut.

    Setelah menjalani pemeriksaan di RSCM, dipastikan mata kiri Raka mengalami retinoblastoma. Dokter menjelaskan bahwa Raka harus menjalani operasi pengangkatan mata. 

    Itu artinya, Raka akan kehilangan salah satu matanya. Saat kembali diperiksa, kanker di mata Raka ternyata masih ada. Namun, tidak ada efek negatif lain pada mata Raka setelah menjalani pengobatan alternatif tersebut. 

    Teman saya menyarankan saya untuk berobat ke Rumah Sakit Kanker Dharmais karena rumah sakit tersebut memang difokuskan untuk pengobatan kanker.

    Saya dan istri pun memutuskan untuk melakukan pengobatan secara medis. Kami tak lagi mau mengingat pengalaman menjalani pengobatan kanker alternatif sebelumnya. 

    Pada akhirnya, Raka saya bawa ke RSK Dharmais. Untungnya, biaya pengobatan di RSK Dharmais bisa dibantu oleh program pemerintah DKI Jakarta saat itu, yaitu Kartu Jakarta Sehat (KJS).

    Meskipun di tahun berikutnya program tersebut harus diganti ke program BPJS dengan biaya yang ditanggung lebih sedikit dibandingkan program sebelumnya. 

    Di RSK Dharmais, saya mencoba menghubungi teman yang merupakan kepala laboratorium untuk dibantu dicarikan kamar.

    Namun, untuk bisa mendapat kamar, Raka harus melakukan tes Basic Metabolic Panel (BMP) terlebih dulu.

    Tes ini dilakukan dengan mengambil cairan tubuh melalui dengkul dan area tulang ekor yang menggunakan bor khusus.

    Dari hasil tes tersebut, diketahui bahwa kanker mata Raka sudah mencapai stadium 4. Sel kanker di dalam tubuhnya juga sudah mulai menyebar ke tulang punggung dan darah. 

    Meski sebelumnya sulit dipercaya, saya dan istri merasa lebih lega setelah akhirnya Raka bisa ditangani di RSK Dharmais. Di situ pula saya bertemu dengan Erwin, ketua Yayasan Sehati Anak Indonesia.  

    Selain membantu memenuhi kebutuhan biaya yang tidak ditanggung oleh BPJS, Yayasan Sehati juga membantu kami memahami lebih dalam kondisi Raka. Kami juga merasa lebih kuat dan mendapat support dari Yayasan Sehati. 

    Walaupun masih sedikit ada rasa tak tega dan tak rela Raka kehilangan salah satu matanya, Erwin membantu kami bahwa ada cara untuk mengganti mata Raka yang mesti diangkat karena kanker. 

    Perjalanan panjang demi kesembuhan Raka

    pengalaman kanker
    Sumber: Dokumentasi Hello Sehat

    Di RSK Dharmais, Raka ditangani oleh dr. Widiarti P. Riono, Sp.M, selaku dokter spesialis mata,  serta dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA dan dr. Anky Tri Rini Kusumaning Edhy, Sp.A (K) sebagai dokter spesialis anak konsultan hematologi onkologi.

    Sebelum dilakukan pengobatan, Raka menjalani MRI untuk mengetahui kondisi tubuhnya secara keseluruhan. Setelah itu, pengobatan dimulai dengan melakukan kemoterapi sebulan sekali di tanggal yang sama setiap bulannya.

    Terapi ini membuat rambut putra saya botak dan tidak bisa tumbuh panjang. Dua minggu setelah terapi, rambut Raka mulai terlihat tumbuh kembali.

    Namun, tidak lama setelah itu rambutnya sudah rontok lagi karena Raka harus kembali menjalani kemoterapi.   

    Saat kemoterapi ke-3 di bulan Desember 2013, saya ingat sekali akhirnya bola mata Raka mulai menciut menjadi sangat kecil hingga berukuran seujung tangan. 

    Di kemoterapi ke-4 pada bulan selanjutnya akhirnya dr. Widiarti menyatakan bahwa kondisi Raka siap untuk menjalani operasi pengangkatan bola mata.

    Operasi dilakukan saat Raka memasuki usia 2 tahun setengah. Untuk menjalani operasi tersebut, Raka juga perlu melakukan pemeriksaan toraks terlebih dahulu. 

    Saat hasil pemeriksaan tersebut menyatakan kondisi Raka aman untuk menjalani operasi, prosedur pengangkatan bola mata pun dilakukan di bulan Maret 2014. 

    Operasi dilakukan dengan mengangkat bola mata Raka yang sudah menciut dan menggantinya dengan daging dari bagian tubuh Raka yang lain agar kelopak mata Raka bisa menonjol seperti mata normal, tidak masuk ke dalam. 

    Pada Raka, daging pengganti bola mata diambil dari bagian bokongnya. Operasi ini membuat Raka harus rela kehilangan mata kirinya dan hanya bisa melihat dengan mata kanannya. 

    Meski tumor pada salah satu mata sudah diangkat, Raka tetap harus menjalani kemoterapi hingga 8 bulan berikutnya untuk membersihkan seluruh sel kanker di dalam tubuhnya. 

    Tidak ada pengobatan lain yang perlu dijalani oleh Raka. Dokter hanya meresepkan obat minum tambahan untuk membantu menghilangkan efek samping setelah kemoterapi, seperti mual dan muntah. 

    Akhirnya, setelah genap 1 tahun Raka melakukan kemoterapi, tepatnya di bulan Agustus 2014, semua dokter yang menangani Raka menyatakan Raka sudah sembuh dari kanker mata atau retinoblastoma.

    Setelah dinyatakan sembuh, Raka hanya perlu melakukan kontrol secara rutin hingga ia berusia 5 tahun. 

    Awalnya, memang sulit untuk menerima kenyataan bahwa Raka harus kehilangan salah satu matanya. Namun bersyukur, kini Raka bisa beraktivitas seperti anak-anak seusianya. Ia bisa bermain dan bersekolah tanpa halangan.

    Saya dan istri sangat senang saat Raka akhirnya bisa dinyatakan bersih dari sel kanker setelah perjuangan bertahun-tahun menjalani pengalaman kanker ini.

    Irwan bercerita untuk pembaca Hello Sehat.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Damar Upahita

    General Practitioner · None


    Ditulis oleh Reikha Pratiwi · Tanggal diperbarui 03/04/2023

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan