backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Hilang Penciuman dan Pengecapan Bisa Jadi Gejala COVID-19

Ditinjau secara medis oleh dr. Patricia Lukas Goentoro · General Practitioner · Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI)


Ditulis oleh Diah Ayu Lestari · Tanggal diperbarui 03/03/2023

    Hilang Penciuman dan Pengecapan Bisa Jadi Gejala COVID-19

    Baca semua artikel tentang coronavirus (COVID-19) di sini.

    Gejala umum coronavirus (COVID-19) yang sudah diketahui sejauh ini antara lain demam, batuk kering, dan sesak napas. Ada pula laporan gejala tidak umum seperti diare dan sakit tenggorokan. Namun, perkumpulan dokter THT Inggris, ENT UK, baru-baru ini melaporkan gejala lain dari COVID-19 yang perlu diwaspadai, yakni hilang penciuman dan pengecapan.

    COVID-19 adalah penyakit infeksi yang menyerang sistem pernapasan. Oleh sebab itu, gejalanya pun tidak jauh dari gangguan pernapasan serta berkurangnya kemampuan indera terkait. Lalu, apa yang harus Anda lakukan bila mengalami hilang penciuman dan pengecapan selama menghadapi pandemi COVID-19?

    Hilang penciuman dan pengecapan pada pasien coronavirus (COVID-19)

    penyakit anosmia

    Laporan terkait gejala baru coronavirus disampaikan oleh beberapa dokter THT dari The Royal College of Surgeons, Inggris. Pada laporan tersebut, disebutkan bahwa hilang penciuman atau anosmia memang kerap terjadi saat seseorang terinfeksi virus.

    Sebanyak 40% kasus anosmia pada orang dewasa disebabkan oleh infeksi virus pada saluran pernapasan atas. Berdasarkan laporan gejala yang dialami pasien di beberapa negara, ternyata sekitar 10-15% pasien COVID-19 juga mengalami kondisi yang sama.

    Selain hilang penciuman, pasien COVID-19 juga dapat mengalami gejala berupa hilang pengecapan atau dysgeusia. Tingkat keparahannya berbeda pada tiap orang. Ada yang kemampuan mengecap dan menciumnya hanya berkurang, serta ada yang hilang sama sekali.

    Gejala hilang penciuman sudah pernah dilaporkan oleh sejumlah negara. Pada sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature Februari lalu, di Korea Selatan ada sekitar 30% dari 2.000 pasien positif COVID-19 yang mengalami gangguan penciuman.

    [covid_19]

    Sementara di Jerman, hasil survei University Hospital Bonn menunjukkan sekitar 70% pasien mengeluhkan hilangnya penciuman dan pengecapan selama beberapa hari. Kasus serupa juga ditemukan di Iran, Amerika Serikat, Prancis, dan Italia bagian utara.

    Menurut Dr. Claire Hopkins selaku presiden British Rhinological Society, hal ini perlu ditanggapi dengan waspada. Pasalnya, orang yang mengalami gejala hilang penciuman kemungkinan besar merupakan pasien tidak terdeteksi yang tanpa sadar memperluas penyebaran coronavirus.

    Mereka tidak mengalami gejala umum seperti demam, dan malah mengalami gangguan pada indra penciuman dan pengecapan. Sayangnya, hilang penciuman dan pengecapan belum dikenali sebagai gejala COVID-19 sehingga ada banyak orang yang tidak menyadari dirinya terjangkit coronavirus.

    Apa yang harus Anda lakukan bila mengalami gejala ini?

    World Health Organization (WHO) maupun Centers for Disease Control and Prevention (CDC) hingga kini belum mengonfirmasi hilang penciuman dan pengecapan sebagai gejala COVID-19. Pasalnya, temuan ini masih perlu dikaji lebih lanjut.

    Penetapan gejala secara sembarangan juga bisa menimbulkan kecemasan pada orang-orang yang memang telah lama menderita anosmia. Padahal, kondisi mereka mungkin disebabkan oleh alergi, infeksi sinus, atau pertumbuhan polip pada hidung.

    Jika semua orang yang mengalami anosmia diminta menjalani karantina diri, akan ada banyak kasus coronavirus yang bersifat false positive. Ini berarti seseorang yang menunjukkan gejala COVID-19 dianggap positif walaupun kenyataannya keliru.

    Kendati belum ditetapkan sebagai gejala COVID-19, setiap orang yang merasa mengalami hilang penciuman dan pengecapan secara mendadak tetap diminta untuk waspada. Terlebih lagi bila Anda tidak memiliki riwayat kondisi penyebab anosmia, seperti:

    • Sinus dan polip pada hidung
    • Cedera hidung atau cedera saraf hidung
    • Rutin meminum obat-obatan dengan efek samping anosmia
    • Terpapar bahan kimia beracun
    • Pernah menjalani terapi radiasi pada kepala atau leher
    • Menderita penyakit Alzheimer, Parkinson, dan multiple sclerosis
    • Mengalami gangguan hormon, kurang gizi, atau lahir dengan cacat bawaan

    Apabila Anda mengalami hilang penciuman dan pengecapan, tidak menunjukkan gejala COVID-19, tetapi berisiko terjangkit COVID-19, sebaiknya lakukan karantina diri selama 14 hari. Anda tergolong berisiko bila pernah berkontak erat dengan penderita.

    Sementara itu, jika Anda mengalami hilang penciuman dan pengecapan, tetapi berisiko rendah dan tidak menunjukkan gejala apa pun, ENT UK menyarankan untuk melakukan karantina diri selama setidaknya tujuh hari.

    ENT UK dalam laporannya menyampaikan bahwa upaya ini dilakukan demi mencegah penularan dari pasien COVID-19 yang tidak menunjukkan gejala. Dengan demikian, tenaga medis akan mampu mendeteksi pasien baru dan menangani pasien dalam perawatan.

    Selama masa karantina, jangan lupa menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan pakai sabun. Batasi kontak dengan orang lain, gunakan masker saat sakit, dan perbanyak konsumsi makanan bergizi seimbang untuk menjaga daya tahan tubuh.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Patricia Lukas Goentoro

    General Practitioner · Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI)


    Ditulis oleh Diah Ayu Lestari · Tanggal diperbarui 03/03/2023

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan