Cemas..menangis..pikiran negatif. Daya ingat menurun..sulit fokus konsen.kehilangan arah tujuan .perasaan tak berdaya . Berkecil hati dan mengeluh
... Lihat LainnyaEgois dan enggan peduli kepada anak istri.
Saya istri 41 tahun menikah dengan suami 45tahun. Kami sudah 3x bertengkar besar dan berujung suami minta cerai. Saat surat cerai di ttd, mertua dan suami saya selalu minta maaf dan berubah namun berulang hingga ke4 kali ini. Inti masalahnya selalu sama.saya merasa suami terlalu berambisi untuk mencari uang,hingga terlalu menganggap anak istri beban yg hanya butuh di nafkahi. ( Ini mulai terjadi saat saya memutuskan resign dari kantor karena anak saya masih kecil, meskipun saya sudah mencoba bisnis namun suami suka marah jika saya sibuk dengan bisnis saya meskipun tugas sayasebagai istri tidak lalai). Secara finansial kami berkecukupan bahkan suami punya tekad untuk menutupi biaya hidup kedua ortunya ( namun belum bisa full) , jdi selalu merasa anak istrinya terlalu banyak menggunakan nafkah nya dibanding untuk ortunya. Beberapa bulan ini, temperamen nya sering terjadi, menutup komunikasi dengan saya. Beliau menyibukan diri dengan HP dan hobi mobilnya.Padahal beliau pulang dari kantor jam 16.00. Saya dan ke2 anak saya merasa tidak ada figure ayah/ suami.suami di rumah sibuk dengan dunia nya, jika di ajak ngobrol santai baru 5menit saja sudah tidak sabar dan banyak emosi lalu menghindar jadi saya tidak pernah ada kesempatan ngobrol,anak-anak juga nyaris tidak ada interaksi dengan ayahnya. Hal ini dari dulu memang sering terjadi, tapi masih bisa di bicarakan dan beliau janji berubah meski hanya bbrp saat berubah lagi.Namun akhir akhir ini emosi dan egois nya semakin tidak terkendali.Seringkali minta di hargai,kata-kata nya wajib di turuti. Tapi beliau tidak mau peduli dengan perasaan anak istri sama sekali, beliau suka sekali berpikir bahwa anak istri harus sesuai apa yang beliau inginkan dan pikirkan. Beliau sangat pandai membolak balikan perkataan dan sangat cerewet sekali untuk ukuran laki- laki. Beliau sangat menjaga gengsi agar selalu terlihat baik dan kaya. Jadi saat saya membutuhkan dukungan psikolog/ penengah saat puncak konflik begini, beliau marah dan mengancam bercerai jika saya ke psikolog. Namun saya bingung, beliau juga sering mendiamkan saya dan memutus komunikasi / mencari solusi. Jadi akhir akhir ini setiap kali ada konflik, beliau hanya diam beberapa hari dan mengajak bicara baik hanya saat ingin HB saja, setelah itu kembali dengan sikap ketus dan diam nya. Puncaknya sebulanan ini, beliau byk ketus nya dan kebetulan kuantitas HB menurun sebulan 1x karena sedang DE. Apakah ini ada kaitannya dengan faktor usia dan penurunan kemampuan sexual nya ya Dok?. Saya sempat mencoba memberi dukungan dengan pengobatan dan berusaha membesarkan hatinya. Saya bilang menua itu wajar dialami. dan nafkah bathin tidak hanya HB tapi pelukan / perhatian kecil saja juga sudah membahagiakan, yang penting mesti perbaiki komunikasi dan belajar untuk sholat, karena beliau kebetulan yang paling susah ibadah.. tapi sepertinya kali ini beliau marah besar dan sempat memberi ancaman2, juga meminta saya untuk berpisah karena beliau bilang tidak peduli lagi dengan hubungan ini. Saya bingung , apakah saya perlu memberi waktu untuk komunikasi lagi? Secara beliau tidak mau ke ahli/ konselor/ psikolog karena malu. Karena kalau hanya di diamkan begini pasti beliau selalu ketus,dan menganggap tidak ada masalah, sedangkan kata- kata ketus beliau terlalu menyakiti hati saya dan membuat saya tersulut emosi hingga cekcok adu mulut makin sering terjadi. Mohon pencerahan nya dokter, saya ingin kehidupan yang sehat,namun jika sulit dipertahankan kapan saya harus tinggalkan ya dok.
2 komentar
Terbaru
Halo, terima kasih untuk pertanyaannya.
Kami bisa mengerti kondisi anda. Kami turut prihatin dan sedih atas apa yang anda alami.
Untuk membina hubungan sehat dan membangun cinta diperlukan pula membangun pola komunikasi yang sehat dan terbuka. Anda dan pasangan perlu saling mengkomunikasikan kondisi yang anda alami, sehingga dapat saling memahami pula. Selain itu, upayakan untuk dapat saling mendengarkan tanpa menghakimi. Anda dan pasangan juga dapat saling menghargai, serta saling mendukung menjadi versi terbaik diri masing-masing. Hal tersebut penting untuk diperhatikan karena membina hubungan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya di salah satu pihak saja.
Menghadapi pasangan yang sulit diajak berkomunikasi dan kurang mampu mengelola emosi memiliki tantangan tersendiri. Sebaiknya anda tetap tenang dan tidak mudah terpancing karena hanya akan semakin memperburuk keadaan. Anda dapat menggunakan energi yang anda miliki untuk mengontrol hal yang dapat anda kendalikan (misalnya respon anda terhadap pasangan), daripada fokus pada hal yang tidak dapat anda kendalikan (misalnya perilaku pasangan). Anda juga memiliki hak untuk menetapkan batasan toleransi atas sikap pasangan anda. Jika memang diperlukan untuk mengambil jarak sejenak, maka hal tersebut boleh untuk dilakukan tetapi tetap dikomunikasikan dengan pasangan. Setiap keputusan yang anda ambil, sebaiknya diputuskan dalam kondisi yang tenang dan pikiran yang jernih. Selain itu, anda juga dapat mencari waktu yang tepat untuk membicarakan permasalahan anda dengan pasangan, kemudian bersama-sama mencari solusi yang terbaik. Tidak ada salahnya melibatkan pihak ketiga yang dianggap bijaksana dan netral sebagai penengah.
Jangan ragu untuk memeriksakan diri/ pasangan anda atau melakukan konseling bersama pasangan ke psikolog jika keluhan berlanjut atau bertambah parah agar segera tertangani.
Langkah pertama yang bisa diambil istri adalah mencoba untuk membuka jalur komunikasi dengan suami. Meskipun suami sering marah dan menghindar, penting untuk menyampaikan perasaan dan kekhawatiran dengan cara yang tenang dan tidak konfrontatif. Istri bisa mencoba untuk memilih waktu yang tepat ketika suami dalam suasana hati yang lebih baik untuk membahas masalah ini. Jika suami menolak untuk berbicara atau mencari bantuan, istri perlu mempertimbangkan untuk mencari dukungan dari seorang profesional, seperti konselor pernikahan. Meskipun suami mungkin menolak bantuan, istri bisa mendapatkan wawasan dan strategi untuk menghadapi situasi ini dengan lebih baik. Konseling dapat membantu istri memahami perasaannya sendiri dan memberikan alat untuk berkomunikasi lebih efektif dengan suami. Istri juga harus menjaga kesejahteraan emosionalnya sendiri. Menghadapi situasi yang sulit seperti ini bisa sangat melelahkan, jadi penting untuk mencari dukungan dari teman, keluarga, atau kelompok dukungan. Berbicara dengan orang lain yang memahami situasi dapat memberikan perspektif dan dukungan yang dibutuhkan. Jika suami terus menolak untuk berkomunikasi atau mencari bantuan, istri harus mempertimbangkan apa yang terbaik untuk dirinya dan anak-anak. Mempertahankan hubungan yang sehat dan positif adalah penting, dan jika suami tidak bersedia berpartisipasi, istri mungkin perlu mengevaluasi kembali situasi dan mempertimbangkan langkah-langkah yang lebih tegas, termasuk kemungkinan perceraian jika itu menjadi pilihan terakhir. Akhirnya, istri harus ingat bahwa pernikahan adalah kemitraan yang memerlukan usaha dari kedua belah pihak. Jika suami tidak mau berkompromi atau berusaha untuk memperbaiki hubungan, istri perlu memikirkan masa depannya dan kebahagiaan anak-anak.
Related content