Pada Rabu, 23 Juli 2025, Royal Philips sebagai salah satu perusahaan di bidang teknologi kesehatan baru saja menggelar acara bertajuk “Building Trust in Healthcare AI” berdasarkan hasil riset dalam Future Health Index tahun 2025 yang dilakukan di lebih dari 16 negara, termasuk Indonesia.
Acara ini dihadiri oleh Astri Ramayanti Dharmawan (Presiden Direktur Philips Indonesia), Setiaji, S.T., M.Si (Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan & Ketua Tim Transformasi Teknologi dan Digitalisasi Kesehatan (TTDK), Kementerian Kesehatan RI), Dr. dr. Iwan Dakota, Sp.JP(K), MARS (Direktur Utama Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita (Pusat Jantung Nasional Harapan Kita)), serta dr. Benedictus Reinaldo Widaja, MBChB (UK) (Presiden Direktur Mandaya Hospital Group).
Potensi AI dalam membantu bidang kesehatan Indonesia
Survei Future Health Index tahun 2025 pada lebih dari 1.900 tenaga kesehatan dan 16.000 pasien di 16 negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa sampai saat ini, ketersediaan tenaga kesehatan masih menjadi salah satu permasalahan di hampir seluruh negara di dunia.
Di Indonesia, kebutuhan dokter spesialis yang mencapai 29.000 baru terpenuhi sekitar 2.700. Karena hal ini, sebanyak 77% pasien mengaku membutuhkan waktu hingga 19 hari untuk mendapat pelayanan dari dokter spesialis.
Hal ini membuat pasien memiliki risiko lebih besar mendapatkan perawatan intensif karena kondisinya memburuk.
Tanpa adopsi AI yang disesuaikan, sebanyak 57% tenaga kesehatan memperkirakan akan terjadi penumpukan pasien yang semakin parah.
Karena itulah, potensi AI, khususnya di bidang skrining dan diagnostik diharapkan bisa mempercepat pelayanan kesehatan.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa masih banyak kekhawatiran tentang penerapan AI di bidang kesehatan Indonesia, khususnya terkait tanggung jawab hukum, dukungan teknologi yang memadai, dan panduan penggunaan yang jelas.
Dari sisi pasien, keamanan privasi data masih menjadi konsen utama. Pasien juga mengkhawatirkan bahwa AI akan mengurangi interaksi tatap muka.
Penggunaan AI sesuai aturan WHO
Sejalan dengan hasil survei dan kekhawatiran berbagai pihak, Kementerian Kesehatan RI sebenarnya sudah mulai membangun ekosistem AI yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, yaitu Program Satu Sehat.
“Kita saat ini sudah punya Satu Sehat sebagai penghimpun data-data kesehatan. Dengan data ini, inovasi digital kesehatan akan dikembangkan melalui Regulatory Sandbox. Dengan kolaborasi bersama pihak dalam Regulatory Sandbox, Kementerian Kesehatan akan mengupayakan telekonsultasi, telemonitoring, telemedicine, bahkan mungkin telesurgery dengan keamanan data pribadi dan juga akurasi yang terjaga,” tutur Setiaji, S.T., M.Si.
Setiaji juga menambahkan bahwa penerapan AI di bidang kesehatan Indonesia telah sesuai dengan aturan yang sudah dibuat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Di sektor kesehatan sebenarnya sudah ada international guideline yang diterbitkan oleh WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), di mana ada enam aturan yang harus diikuti. Dari aturan ini, proses validasi tetap dilakukan oleh petugas medis dan atas persetujuan pasien.”
Enam aturan tersebut meliputi melindungi otonomi manusia, mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan, memastikan transparansi dan kejelasan, memastikan kesetaran, serta mempromosikan AI yang berkelanjutan.
Setiaji memaparkan bahwa saat ini ada tiga fokus pemanfaatan AI di Indonesia, yaitu imaging, genomic, dan virtual assistant.
“Dengan bantuan AI, pembacaan hasil imaging, seperti X-ray, USG, dan MRI bisa menjadi lebih jelas sehingga mudah dianalisis. Di luar negeri, saat ini sudah ada AI yang bisa mendeteksi 30 penyakit paru-paru dari hasil imaging. Kedua, pengobatan berbasis genomik (informasi genetik) sehingga analisis penyakit bisa dilakukan lebih mendalam. Ketiga adalah kehadiran virtual assistant, tapi khusus kesehatan. Di sini, kita menggunakan gabungan keilmuan dokter dan ahli IT,” imbuhnya.
Penerapan AI di rumah sakit swasta dan umum Indonesia

Dalam penerapan langsung ke masyarakat, Dr. dr. Iwan Dakota menjelaskan bahwa pihaknya telah menerapkannya ke beberapa bidang, baik yang langsung terkait dengan pasien maupun tidak.
“Kalau yang terkait dengan pasien itu ada diagnosa dan terapuetik. Contoh diagnosa itu pemeriksaan dengan MRI, CT scan, bahkan ekokardiografi semua sudah pakai AI. Sekarang sedang mengembangkan AI yang terkait deteksi penyakit jantung untuk yang belum terkena penyakit jantung,” ujar Dr. dr. Iwan.
Penerapan AI di bidang kesehatan Indonesia tersebut telah terbukti dapat memangkas waktu pemeriksaan sehingga petugas medis bisa menangani lebih banyak pasien.
“Dulu hasil pemeriksaan pemantauan jantung bisa butu satu hari penuh, bahkan dua hari. Kalau sekarang dalam hitungan menit sudah bisa tahu hasilnya.”
Sementara untuk terapeutik, Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita sudah berhasil menjalankan operasi katup jantung serta bypass dengan bantuan robotik.
“Di ruangan kateterisasi, kita menggunakan teknologi AI untuk menentukan ukuran penyempitan pembuluh jantung dengan lebih tepat dibandingkan penglihatan manual manusia,” lanjutnya.
Sama seperti RSJPD, Mandaya Hospital Group juga sudah menerapkan teknologi AI, khususnya di bidang administratif dan diagnostik.
“Dari hal klinis, imaging itu penting untuk mendapatkan gambar terbaik dengan teknologi AI. Dengan begitu, dokter lebih mudah mendiagnosis penyakit. Nomor dua, dari segi bagaimana kita membantu dokter dan perawat supaya mengurangi waktu untuk mengurus kebutuhan administratif sehingga lebih banyak memberikan action,” ungkap dr. Benedictus Reinaldo Widaja, MBChB (UK).
Di Mandaya, AI juga digunakan untuk pelayanan pascaperawatan, misalnya bertanya tentang kondisi pasien setelah minum obat tertentu, di mana hal ini sulit dilakukan secara manual.
Jika kondisi pasien memburuk, tentu saja tenaga kesehatan tetap perlu turun langsung. Artinya, tujuan AI adalah membantu, bukan menggantikan peran tenaga medis.
Tantangan penerapan AI di bidang kesehatan Indonesia
Penerapan AI di bidang kesehatan tentu tidak bisa dilakukan secara instan karena ada banyak tantangan yang perlu dilalui.
“Tantangan pertama yaitu, building trust mengenai hasil pemeriksaan dengan AI pada pasien. Kedua, upaya kita untuk inklusivitas (karena saat ini robotik belum berlaku bagi pasien non-BPJS), ketiga pelatihan terhadap petugas medis. Lalu yang keempat adalah financial support karena penggunaan AI membutuhkan teknologi mutakhir yang tidak murah,” ungkap Dr. dr. Iwan.
RSJPD juga mengaku terus menunjukkan transparansi mengenai penggunaan teknologi AI pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengadakan pertemuan dengan keluarga pasien setiap hari selasa.
Sejalan dengan Dr. dr. Iwan, Dr. Bens menilai ada dua penting dalam penerapan AI di dunia kesehatan.
“Pertama, harus akurat dan tepat dari segi medis. Sementara itu, yang nomor dua adalah menghemat waktu. Ketika tenaga medis harus melakukan pekerjaan administratif, kita akan kehilangan waktu untuk berinteraksi dengan keluarga.”
Perkembangan AI tentu juga disertai pertumbuhan vendor penyedia layanan ini. Oleh karena itu, pihak rumah sakit juga mengaku harus berhati-hati untuk memilihnya karena investasi AI memakan biaya yang tidak sedikit.
Pihak rumah sakit juga memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan teknologi ini pada setiap pihak dan menambah kekuatan tim IT.
Dr. dr. Iwan juga mengingatkan bahwa teknologi ini tidak bisa langsung diadopsi, melainkan harus diadaptasi. Pasalnya, ada beberapa standar kesehatan dari luar negeri yang tidak bisa disamakan dengan masyarakat Indonesia.
“Sebagai contoh, standar imaging pengukuran lebar aorta untuk menentukan gangguan jantung di ras Asia dan Kaukasia itu berbeda. Contoh lainnya, AI mungkin menyarankan clopidogrel untuk obat pengencer darah, padahal sebagian besar orang Asia resisten terhadap obat tersebut. Jadi, tetap harus tahu apakah tools AI perlu dikustomisasi atau tidak,” ujar Dr. dr. Iwan.
Sementara itu, terkait keamanan data pribadi pasien, Setiaji menjelaskan bahwa Kementerian Kesehatan terus berupaya menerapkan AI sesuai aturan WHO seperti di atas.
Ketika memasukkan data di AI, sebisa mungkin telah diminimalkan pemberian data pribadi, seperti nama dan sebagainya. Artinya, data yang lebih banyak dihimpun adalah informasi general, seperti nama obat, kondisi kesehatan, dan lain sebagainya.
Data pasien rumah sakit juga dijaga sesuai Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Ke depannya, pemerintah sedang mengupayakan pembuatan aturan khusus tentang penggunaan data untuk penerapan AI di bidang kesehatan Indonesia.
[embed-health-tool-bmi]