Penyakit epilepsi atau ayan menyebabkan tubuh kejang hingga hilang kesadaran yang bisa muncul kapan saja. Untungnya, gejala ini bisa dikurangi frekuensinya dengan minum obat. Di samping itu, para ahli kesehatan juga meminta pasien epilepsi untuk menjalani diet ketogenik agar pengobatan menjadi lebih efektif. Namun, benarkah efektif? Lantas, bagaimana panduan untuk menjalani diet ini? Penasaran dengan jawabannya? Mari simak ulasannya berikut ini.
Diet ketogenik bagian perawatan untuk pasien epilepsi
Kejang yang menjadi gejala epilepsi dapat muncul lebih dari sekali. Sebagian penderitanya, mungkin akan kehilangan kesadaran sepenuhnya saat gejala ini berlangsung. Namun jenis epilepsi tertentu, gejala kejang yang muncul mungkin sangat singkat sehingga kadang tidak disadari oleh penderitanya.
Nah, cara tepat untuk mengurangi frekuensi kejang dan gejala epilepsi lainnya adalah mengharuskan pasien untuk minum obat antiepilepsi. Contoh obat yang digunakan antara lain sodium valproate, carbamazepine, lamotrigine, levetiracetam, atau topiramate. Sayangnya, tidak semua pasien merespons obat-obatan tersebut.
Jika hal ini terjadi, biasanya dokter akan meminta pasien epilepsi untuk menjalani terapi, salah satunya adalah diet ketogenik. Marcelo Campos, MD, dari Harvard Health Publishing menyebutkan bahwa diet ketogenik sudah digunakan sejak lama untuk mengobati epilepsi untuk pasien yang resisten dengan obat-obatan, terutama anak-anak. Diet ini juga menjadi pengobatan alternatif untuk pasien yang tidak bisa menjalani operasi epilepsi.
Seberapa efektif diet ketogenik untuk pasien epilepsi?
Tanpa pengobatan, epilepsi yang tidak bisa disembuhkan dapat membahayakan jiwa. Pasalnya, kondisi ini dapat menimbulkan komplikasi berupa kerusakan otak atau kematian mendadak.
Itulah sebabnya, jika pasien tidak merespons pengobatan epilepsi, dokter akan merekomendasikan terapi diet ketogenik. Diet ketogenik sendiri adalah diet rendah karbohidrat tapi tinggi lemak. Pada diet ini, sumber energi utama yang biasanya berasal dari karbohidrat diubah menjadi lemak.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya ketosis, yakni kondisi tubuh yang kekurangan karbohidrat sebagai bahan bakar energi. Kekurangan karbohidrat membuat kadar glukosa turun sehingga tubuh mulai memecah lemak untuk dijadikan sebagai energi. Proses ini kemudian menghasilkan zat keton. Semakin banyak lemak yang digunakan, maka makin banyak pula zat keton yang dihasilkan.
Menurut studi pada jurnal Frontiers in neuroscience tahun 2019, penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien epilepsi mendapatkan manfaat dari diet ini. Manfaatnya adalah frekuensi gejala epilepsi, seperti kejang dapat berkurang.
Mekanisme manfaat diet ketogenik untuk pasien epilepsi sebenarnya tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi, beberapa teori menyebutkan bahwa kejang berkurang kemungkinan karena adanya perubahan metabolisme dalam darah dan cairan cerebrospinal ketika diet dilakukan. Teori lain menyebutkan bahwa hasil zat keton yang dihasilkan ketika diet dapat membantu menormalkan aktivitas listrik otak.
Panduan menjalani diet ketogenik untuk pasien epilepsi
Meskipun menunjukkan manfaat, tidak semua pasien epilepsi berhasil menjalani terapi diet ini. Contohnya, orang yang memiliki gangguan makan atau kondisi yang bisa mengakibatkan masalah jika mengonsumsi diet dalam jumlah tinggi mungkin tidak dianjurkan menjalani diet keto. Begitu juga pada pasien epilepsi dengan penyakit pankreas, masalah hati, gangguan tiroid, dan yang tidak memiliki kantong empedu.
Supaya tidak salah langkah, ikuti beberapa panduan menjalani diet keto untuk penderita ayan berikut ini.
1. Patuhi aturan diet keto dengan benar
Diet ketogenik diterapkan pada pasien epilepsi dengan aturan 70% hingga 80% lemak, 20% protein, dan 5% hingga 10% karbohidrat.
Pada keadaan yang normal, lemak hanya diperlukan sekitar 25-40% dari kebutuhan kalori per hari. Sementara, pada anak yang mengalami epilepsi, pemberian lemak dalam sehari bisa mencapai 80-90% dari kebutuhannya.
Tentu, karena rendah karbohidrat, makanan untuk pasien epilepsi seperti nasi, jagung, atau kentang, sudah tidak ada lagi di dalam menu makanan. Sebagai penggantinya, anak dengan epilepsi akan diberikan lauk-pauk penuh lemak. Ini biasanya mencakup banyak daging, telur, sosis, keju, ikan, kacang-kacangan, mentega, minyak, biji-bijian, dan sayuran berserat.
2. Penerapan diet harus diawasi dokter atau ahli gizi
Penerapan diet ketogenik untuk pasien epilepsi, sebaiknya dilakukan dibawah pengawasan ahli gizi. Alasanya, perhitungan zat gizi pada diet ini harus dilakukan dengan tepat. Apalagi jika pasien memiliki alergi pada makanan tertentu, dokter atau ahli gizi akan membantu menentukan pilihan makanan yang aman untuk dikonsumsi.
Tidak hanya anak-anak, diet ini juga bisa diterapkan pada bayi. Hanya saja proses penerapan diet harus diawasi ketat. Pertama, si kecil akan berikan cairan bebas gula. Dalam waktu 24 jam, diet baru dimulai.
Gula darah akan dipantau secara ketat dalam 48 jam pertama setelah memulai diet dan hipoglikemia dapat terjadi selama memulai diet keto. Kebutuhan suplemen, seperti kalsium dan vitamin juga akan dipenuhi selama proses pengawasan.
Efek samping diet ketogenik pada pasien dengan epilepsi
Menjalani diet ini membuat pasien tidak mengonsumsi makanan yang tidak seimbang. Akibatnya, akan ada efek samping yang mungkin terjadi. Beberapa efek samping yang mungkin dialami, antara lain:
- Kepadatan tulang rendah sehingga berisiko mengalami patah tulang.
- Sembelit (susah buang air besar) karena kurangnya asupan serat dari buah maupun sayur.
- Memiliki kadar kolesterol yang tinggi.
- Sakit perut, sakit kepala, kelelahan, dan pusing. Kondisi ini disebut dengan “flu keto’.
- Mengalami gangguan tidur.
- Berat badan tidak naik, atau justru berat badan turun.
- Pertumbuhan anak jadi lebih lambat dari anak seusianya.
- Berisiko mengalami batu ginjal.
Adanya efek samping ini, membuat dokter atau ahli kesehatan perlu mengevaluasi dan mempertimbangkan mana yang banyak manfaatnya ataukah efek sampingnya.
[embed-health-tool-bmi]